Posisi Jaminan Fidusia dalam Akad Murabahah
Putusan Terpilih MA 2016:

Posisi Jaminan Fidusia dalam Akad Murabahah

Perjanjian fidusia yang bersifat assessoir tidak dapat dikategorikan telah membelokkan akan murabahah kepada perjanjian fidusia.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi transaksi murabahah. Foto: RES
Ilustrasi transaksi murabahah. Foto: RES
Seseorang tertarik membeli suatu barang karena penjual secara jujur dan terbuka menyebutkan harga resmi dan nilai keuntungan yang dia peroleh dari penjualan itu. Transaksi jual beli dimana penjual menyebutkan adanya nilai lebih sebagai keuntungan bagi pemilik modal (shahib al mal) lazim disebut sebagai perjanjian murabahah.

Perjanjian murabahah merupakan salah satu instrumen akad dalam bisnis ekonomi syariah. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai murabahah (Fatwa No. 04/DSN-MUI/IV/2000). Artinya, akad murabahah dibenarkan bagi mereka yang menyatakan tunduk pada hukum ekonomi syariah.

Meskipun aman secara syar’i, bukan berarti tak ada potensi konflik para pihak dalam bisnis dengan menggunakan perjanjian (akad) murabahah. Sebagai contoh adalah perkara yang ditangani dan diputus Mahkamah Agung, dan kemudian dijadikan salah satu dari 11 putusan terpilih Mahkamah Agung Tahun 2016. Putusan terpilih itu adalah putusan No. 452K/Ag/2016. (Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions 2016)

Seseorang telah membeli mobil secara kredit dari perusahaan pembiayaan dengan menggunakan akad murabahah. Angsuran si pembeli berjalan lancar hingga pembayaran ketujuh. Begitu memasuki tahap pembayaran kedelapan, pembeli tak mampu lagi. Alih-alih membayar, mobil yang dibeli pun hilang dibawa kabur orang yang meminjam. Kedua pihak akhirnya bersengketa. Perusahaan pembiayaan melaporkan pembeli mobil ke polisi. Sebaliknya, pembeli menggugat perusahaan pembiayaan ke Pengadilan Agama Yogyakarta.
Menurut UU Perbankan Syariah, ‘akad murabahah’ adalah akad pembiayaan suatu barang dengan  menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih  sebagai keuntungan yang disepakati.

Fokus perdebatan adalah perjanjian jaminan fidusia pada akad murabahah. Bolehkah akad murabahah diganti dengan jaminan fidusia? Penggugat mendalilkan sekalipun belum bisa melunasi kredit mobil, masalah seharusnya diselesaikan berdasarkan prinsip syariah tentang murabahah. Itu juga sesuai dengan Pasal 55 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penggugat menuding tergugat sengaja membelokkan akad murabahah ke dalam perjanjian jaminan fidusia yang tak sesuai prinsip syariah. (Baca juga: Eksekusi Jaminan atas Fasilitas Pembiayaan yang Bermasalah).

Pengadilan Agama menolak gugatan itu. Upaya hukum banding dan kasasi dari penggugat juga kandas. Pertimbangan hakim kasasi melahirkan dua kaedah hukum. Pertama, jika suatu perjanjian  telah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi kedua belah pihak; dan perjanjian tidak dapat dipersoalkan dengan alasan salah satu pihak telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kedua, pada akad murabahah dapat diletakkan perjanjian jaminan fidusia. Dalam hal ini akad murabahah adalah pernanjian pokok sedangkan perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian assessoir. Perjanjian fidusia yang bersifat assessoir tidak dapat dikategorikan telah membelokkan akan murabahah kepada perjanjian fidusia. (Baca juga: Begini Dunia Internasional Menerapkan Sistem Pendaftaran Jaminan Fidusia).

Hakim mendasarkan pertimbangan pada Pasal 127 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) juncto Fatwa No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Pasal 127 KHES menyebutkan “penjual dapat meminta kepada pembeli untuk menyediakan jaminan atas benda yang dijualnya pada akad murabahah”.

Pakar hukum ekonomi syariah, Mirza Karim, berpendapat tidak ada larangan penjaminan dalam pembiayaan syariah, termasuk jaminan fidusia. Jika seseorang meminjam uang ke bank, itu berarti bank menalangi dan barang yang dibeli dari pinjaman itu menjadi milik peminjam, kemudian barang itu menjadi objek jaminan. “Itu adalah hal yang biasa,” ujarnya kepada Hukumonline.

Menurut Mirza, sudah tepat jika mobil yang dibeli dengan akad murabahah dijaminkan. Termasuk pakai jaminan fidusia. “Sudah tepat itu, baik dari sisi syariah maupun hukum nasional," jelas Mirza yang ditemui di kantornya.

Selain akad, masalah eksekusi jaminan hak tanggungan syariah juga menjadi perhatian kalangan hakim. Sebuah penelitian mengenai masalah ini telah dilakukan Puslitbang Hukum dan Peradilan Litbang Diklat Mahkamah Agung. Hasil penelitian ini menegaskan masalah eksekusi ini wewenang Pengadilan Agama, tetapi pakai hukum acara peradilan umum.
Tags:

Berita Terkait