Pemerintah “Ancam” Wajib Pajak Nakal di Periode Ketiga Tax Amnesty
Utama

Pemerintah “Ancam” Wajib Pajak Nakal di Periode Ketiga Tax Amnesty

Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan ancaman oleh Pemerintah tersebut.

Oleh:
M DANI PRATAMA HUZAINI
Bacaan 2 Menit
Berurutan: Pengamat Perpajakan, Ronny Bako (kiri), DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sidhi Widyapratama,  Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, dan Direktur Penyuluhan, pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama (Paling Kanan). Foto: DAN
Berurutan: Pengamat Perpajakan, Ronny Bako (kiri), DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sidhi Widyapratama, Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, dan Direktur Penyuluhan, pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama (Paling Kanan). Foto: DAN
Pemerintah terus menggenjot program amnesti pajak atau Tax Amnesty yang kini memasuki bulan terakhir. Direktorat Jenderal Pajak mencatat, sampai akhir Februari 2017, baru 691 ribu wajib pajak yang ikuti amnesti.  Jumlah itu dirasa jelas tak memuaskan.Pasalnya, dari jumlah itu Ditjen Pajak menghitungbahwawajib pajak yang mengikuti amnesti pajak baru 6 % dari keseluruhan wajib pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Hal ini berarti masih ada 94 % wajib pajak yang belum ikut program amnesti pajak.

Oleh karena itu, Ditjen Pajak menggiring wajib pajak untuk ikut program ini dengan mengirim pesan singkat dan surat elektronik. Selain imbauan untuk ikut sukarela, Ditjen Pajak juga mengundang wajib pajak tertentu untuk mengkonfirmasi data harta yang belum dilaporkan dalam SPT. Untuk memperkuat tekanan, Ditjen Pajak sering mengutip Undang-Undang Pengampunan Pajak bagi wajib pajak yang belum maupun sudah ikut program ini, yakni ancaman sanksi administratif. (Baca Juga: Pasca Tax Amnesty, Pemerintah Diminta Tegas Lakukan Law Enforcement)

“Kami tidak keberatan kalau ada yang mengatakan bahwa pada periode ketiga ini kami mengancam. Kalau periode pertama kemarin kami mengimbau, periode kedua kami mengingatkan, sehingga periode ketiga ini kami mengancam,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masayarkat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama, pada Talkshow Bisnis yang diselenggarakan Radio PAS FM, Rabu (8/3), di Jakarta.

Hestu mengatakan demikian merujuk kepada pembagian periode pemberlakuan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang telah memasuki periode akhir. Ancaman yang dimaksudkan oleh Hestu adalah apa yang sudah diatur oleh Pasal 18 UU Pengampunan pajak.  
Pasal 18
(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.
(2)  Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
(3) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
(4)  Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
 
Untuk itu, Pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah dalam rangka penindakan waijb pajak yang belum memenuhi kewajibannya pasca berkahirnya masa berlaku UU Pengampunan Pajak. (Baca Juga: Mau Membedah Aturan Tax Amnesty? Jasa Auditor Hukum Bisa Digunakan)

“Kita melanjutkan penghimpunan data terus dari berbagai institusi, kita melanjutkan imbauan-imbauan yang kemarin sudah kita luncurkan, kita memperkuat SDM kita, tenaga pemeriksa kita sekarang 5000 dan  akan ditambah menjadi 10.000, dan kita sedang mempersiapakn regulasi menyangkut pasal 18,” terang Hestu.

Oleh karena itu, Hestu menganjurkan kepada setiap wajib pajak untuk benar-benar memanfaatkan kesempatan pengampunan pajak sebelum berakhir masa berlakunya. Hestu juga memapakan, untuk memudahkan proses penegakan sanksi sebagaimana yang telah di atur oleh UU Pengampunan Pajak, maka Direktorat Jenderal Pajak membuat strategi dengan cara mengkalsifikasikan masyarakat wajib pajak kedalam dua kelompok. (Baca Juga: Ditjen Pajak Siap Panggil Google untuk Klarifikasi Data Penghasilan)

Kelompok pertama, masyarakat wajib pajak yang bisa lebih tenang dengan beberapa alasan yakni, pengahasilannya dibawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP); wajib pajak yang sudah membayar pajak dengan baik; dan wajib pajak yang sudah mengikuti Tax Amnesty dan telah mendeklarasikan seluruh asetnya.

Sementara kelompok yang kedua, adalah masayarakat atau wajib pajak yang harus lebih berhati-hati. Kenapa? Karena mereka adalah wajib pajak yang mempunyai penghasilan tapi tidak pernah bayar pajak dan belum mengikuti Tax Amnesty. ”Nah kepada mereka inilah pasal 18 itu akan kami kenakan secara konsisten.” Tegas Hestu.

Direktorat Jenderal Pajak saat  ini juga sudah mensiapkan daftar wajib pajak yang akan menjadi target pemeriksaan pasca pengampunan pajak berakhir, 31 Maret 2017. Prioritas utamanya adalah warga negara yang terindikasi kuat tidak patuh pajak, dan tidak mengikuti pengampunan pajak. Target tersebut terdiri dari wajib pajak orang pribadi dan badan.

Jika dilihat dari latar belakang sektor usahanya sangat beragam, diantaranya sektor energi, pertambangan, perkebunan, dan kelautan. Sementara itu jumlah wajib pajak terdaftar di Ditjen Pajak tercatat sebanyak 32,9 juta orang, dan sebanyak 29,3 juta orang diantaranya wajib melaporkan surat pemberitahuan SPT. Dari jumlah itu, hanya sekitar 12 koma 6 juta orang yang lapor SPT.

Pengamat Perpajakan, Ronny Bako, pada kesempatan yang sama menanggapi penjelasan DJP, menyatakan bahwa, kepada masyarakat harus berikan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan ancaman oleh Pemerintah tersebut. hal ini tujuannya agar tidak menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman masayarakat tentang konsep ancaman Pemerintah tersebut. “Sebenarnya ancaman yang dimaksud adalah ancaman yang dalam Undang-Undang, bukan ancaman secara fisik,” terangnya.

Sementara, Wakil Ketua Industri Keuangan Non Bank, DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia(APINDO), Sidhi Widyapratama, pada kesempatan yang sama menyampaikan kepada  para pengusaha agar tidak terlalu khawatir dengan adanya ancaman Pemerintah tersebut.

“Selama implementasi ancaman tersebut sesuai aturan, bukan sekedar menakut-nakuti, mengintimidasi. Jadi selama dilaksanakan sesuai aturan itu konsekuensi. Bagi yang ikut Tax Amnesty bisa lebih tenang, kalau ikut TA (Tax Amnesty) tapi setengah-setengah nanti tidak tenang karena takut ketahuan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait