Lindungi Buruh Migran, ASEAN Butuh Instrumen Hukum yang Mengikat
Berita

Lindungi Buruh Migran, ASEAN Butuh Instrumen Hukum yang Mengikat

Penyusunannya dilakukan ASEAN Committee on Migrant Workers

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pos pemeriksaan TKI di bandara. Foto: MYS
Pos pemeriksaan TKI di bandara. Foto: MYS
Isu buruh migrant masih menjadi salah satu persoalan yang dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Pembahasan di tingkat regional sudah berkali-kali dilakukan. Bahkan sudah ada kesepahaman antar negara Asia Tenggara, yang dikenal sebagai Cebu Declaration 2017.

Deklarasi Cebu pula yang mendorong terbentuknya ASEAN Forum Migrant Labour (AFML). Pjs Direktur Eksektuif HRWG, Muhammad Hafiz, mengatakan AFML rutin digelar setahun sekali dan diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, asosiasi pengusaha (PJTKI/PPTKIS), serikat buruh dan masyarakat sipil.

Pada tahun 2008 dibentuk pula ASEAN Committee on Migrant Workers (ACMW) yang salah satu tugasnya menyusun instrumen kerangka perlindungan hak-hak buruh migran di ASEAN.

ACMW terdiri dari beberapa negara yang mewakili negara pengirim (Indonesia-Filipina) dan negara penerima (tujuan) buruh migran (Singapura-Malaysia). Hafiz menilai antara negara pengirim dan penerima buruh migran belum mencapai kesepakatan mengenai substansi yang dimasukan dalam instrumen perlindungan itu. Sehingga sampai saat ini instrumen tersebut tak kunjung terbit.

“ASEAN butuh instrumen hukum yang mengikat antar negara anggotanya dalam rangka memberi perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh migran,” kata Hafiz di sela acara diskusi publik di Jakarta, Rabu (08/3). (Baca juga: Masuki MEA, Perlindungan Tenaga Kerja Makin Penting).

Hafiz mengingatkan salah satu prinsip yang digunakan ASEAN dalam mengambil sebuah keputusan bersama yakni konsensus. Jika ada satu negara yang keberatan atau menolak, maka keputusan itu tidak bisa tercapai.

Direktur Pengembangan Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Roostiawati, mengatakan tidak mudah mencapai kesepakatan antar negara ASEAN untuk membentuk instrumen hukum tersebut. Masih ada pandangan yang berbeda antara negara pengirim dan penerima buruh migran. Walau begitu, pemerintah terus melakukan upaya agar perlindungan buruh migran di tingkat regional bisa dilakukan.

Ada beberapa substansi yang masih jadi tantangan dalam pembahasan di ACMW diantaranya soal pemenuhan hak bagi semua buruh migran termasuk yang tidak berdokumen. Sekalipun instrumen itu berhasil diterbitkan, Roostiawati berpendapat perlu ada mekanisme yang perlu dilakukan bagi negara ASEAN yang tidak tunduk pada konvensi tersebut. “Kami berharap instrumen ini bukan hanya sekedar terbit, tapi juga bisa diimplementasikan,” ujarnya. (Baca juga: Revisi UU PPTKILN Perlu Merujuk Konvensi Internasional).

Roostiawati mengatakan ACMC menargetkan instrumen perlindungan bagi buruh migran di kawasan ASEAN itu selesai pada tahun 2017. ACMC menyadari instrumen ini sangat ditunggu karena diharapkan memberi perlindungan yang baik bagi buruh migran.

Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan data World Bank menunjukkan sirkulasi migrasi terbesar ada di Asia Tenggara. Arus remiten yang dibawa buruh migran sangat tinggi di Asia Tenggara dan salah satu yang menempati posisi 10 besar yaitu Indonesia. Ironisnya, hal itu tidak dibarengi dengan adanya instrumen hukum yang memadai di regional ASEAN untuk memberi perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran.

Wahyu berpendapat capaian buruh migran tersebut seolah dilupakan oleh ASEAN. Itu bisa dilihat dari kesepakatan jenis pekerjaan yang ada dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tidak mencantumkan buruh migran terutama yang bekerja di sektor domestik. “Ini membuktikan masih ada diskriminasi terhadap buruh migran. Padahal buruh migran berkontribusi besar membangun negara-negara di ASEAN,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait