Dinilai Bertentangan dengan UU, KAHMI Uji Materi PP Holding BUMN
Berita

Dinilai Bertentangan dengan UU, KAHMI Uji Materi PP Holding BUMN

Keberadaan BUMN dalam sistem perekonomian nasional merupakan implementasi dari amanat konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 33.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama beberapa pihak lain mendaftarkan permohonan uji materiil (judicial review)  Peraturan Pemerintah (PP) No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP No.44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas ke Mahkamah Agung.

KAHMI menganggap bahwa PP No. 72 Tahun 2016 yang menjadi dasar pembentukan holding atau penggabungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertentangan dengan beberapa undang-undang, di antaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN serta tidak melibatkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mempunyai fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

“Permohonan uji materi ini merupakan wujud sumbangsih kami untuk melakukan koreksi atas kebijakan Pemerintah yang tidak tepat. Gugatan ini diajukan oleh KAHMI dan beberapa pihak selaku Pemohon dan selaku Termohon adalah Presiden Republik Indonesia,” kata Ketua Tim Hukum KAHMI, Bisman Bakhtiar, dalam rilis yang diterima hukumonline, Jumat (10/3).

Menurut Bisman, yang menjadi dasar permohonan uji materi adalah keberadaan BUMN dalam sistem perekonomian nasional merupakan implementasi dari amanat konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 33 yang menegaskan tentang penguasaan negara dalam aspek perekonomian. (Baca Juga: Sejumlah Aturan Perundang-Undangan yang 'Ditabrak' PP 72/2016)

Lebih lanjut, keberadaan BUMN diharapkan memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional dan penerimaan negara, serta mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik dan berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan-kekuatan ekonomi swasta besar.

“Oleh karena itu, keberadaan BUMN harus dijaga agar tetap menjadi milik negara dan menghindarkan dari pengalihan kepemilikan/privatisasi yang tidak sesuai dengan undang-undang,” ujar Bisman. (Baca Juga: 7 Poin Catatan FITRA Terhadap PP Penyertaan Modal BUMN)

Berikut isi pokok permohonan uji materi PPNo. 27Tahun 2016 yang diajukan KAHMI:

1. Ketentuan tentang “barang milik negara” sebagai sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari APBN (Pasal 2 ayat (2) huruf b). ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN karena akan menjadi dasar hukum pencucian aset negara  yang akan dialihkan ke pihak lain dengan melalui penyertaan modal pada BUMN.

2. Ketentuan tentang Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain  dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN (Pasal 2A PP 72/2016). Ketentuan ini bertentangan dengan UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Selain itu,  bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013. Isi PP ini juga merupakan perlawanan Pemerintah pada Rekomendasi Panja Aset Komisi VI DPR RI Tahun 2014. Ketentuan ini berpotensi sebagai legitimasi privatisasi diam-diam oleh Pemerintah tanpa melibatkan DPR RI, karena pada prinsipnya saham dan kekayaan BUMN merupakan kekayaan/keuangan negara sehingga jika terjadi peralihan harus dengan proses APBN dan persetujuan DPR RI agar dapat dipertanggungjawabkan.

3. Ketentuan tentang menyamakan anak perusahaan BUMN dengan BUMN untuk mendapatkan kebijakan khusus negara/pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Ketantuan ini  bertentangan UU BUMN dan konstitusi UUD 1945. Karena yang disebut BUMN adalah jika sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan yang bisa mendapatkan kebijakan khusus negara termasuk pengelolaan sektor strategis seperti pengelolaan sumber daya alam hanya BUMN.

“Sesuai konstitusi bahwa sumber daya alam harus dikelola oleh negara melalui BUMN sebagai sebagai bentuk penguasaan negara dalam aspek pengelolaan,” terang Bisman.

Bisman menegaskan bahwa PP No.72 Tahun 2016 telah mendegradasikan keberadaan negara dalam kepemilikan pada BUMN dan menjauhkan penguasaan negara terhadap BUMN, sehingga berpotensi menjadi legitimasi dalam privatisasi, penjualan dan penghilangan BUMN tanpa melalui ketentuan dalam UU BUMN dan UU Keuangan Negara serta tanpa pengawasan DPR RI. (Baca Juga: PP 72/2016 Hanya Atur Holding Company, Tidak Bahas Privatisasi)

“Oleh karena itu, kami menyampaikan permohonan kepada MA untuk menyatakan PP 72/2016 ini tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, kami juga minta agar Presiden untuk tidak membuat kebijakan apapun terkait dengan holding BUMN agar tidak berakibat hukum dikemudian hari,” ujarnya.

Sebelumnya, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, berpendapat PP 72/2016 harus dibaca lengkap bersama-sama dengan PP 44/2005 yang diubahnya. PP 72/2016 hanya mengubah beberapa pasal yaitu Pasal 1, Pasal 2, penjelasan Pasal 9, penjelasan Pasal 26, serta menyisipkan pasal 2A. Artinya, pasal lainnya dalam PP 44/2005 masih berlaku.

Azis mengakui yang menjadi perdebatan utama dari PP 72/2016 memang terletak pada ketentuan baru di pasal 2Ayang mengizinkan saham milik negara pada BUMN dialihkan untuk Penyertaan Modal Negara kepada Perusahaan swasta tanpa melalui mekanisme APBN. Artinya, Pemerintah tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR dalam pengalihan saham negara tersebut ke swasta. Padahal pengalihan saham BUMN ke swasta diatur sebagai bentuk privatisasi yang oleh UU harus atas persetujuan DPR.

Jika mengacu pada UU BUMN, terhadap kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari APBN untuk dijadikan Penyertaan Modal Negara pada BUMN memang tidak lagi dikelola menggunakan mekanisme APBN namun berdasarkan prinsip korporasi. Hanya saja dengan ketentuan UU Keuangan Negara dibatasi bahwa jika mengenai privatisasi harus dengan persetujuan DPR.

Dalam penjelasan PP 72/2016 menafsirkan saham milik negara sebagai kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari APBN untuk Penyertaan Modal Negara, sehingga pengalihan saham dimaksud untuk dijadikan penyertaan pada BUMN atau swasta tidak lagi melalui mekanisme APBN.

“Kemungkinan pengalihan saham BUMN ke non BUMN tanpa mekanisme APBN tanpa persetujuan DPR, Saya berkesimpulan harus dibaca lengkap PP 44/2005 karena PP 72/2016 ini hanya mengubah beberapa pasal dan menambah satu pasal baru, boleh dikatakan PP ini hanya berhubungan dalam rangka pembentukan holding BUMN, jadi tidak ada sebetulnya yang membahas soal pengalihan saham BUMN pada swasta,” jelas Aziz.

Aziz mengatakan bahwa jika melihat Pasal 18 PP 44/2005, ketentuan UU mengenai privatisasi tetap berlaku dalam setiap penjualan saham milik negara pada BUMN dan swasta. Sedangkan pengalihan aset BUMN untuk Penyertaan Modal Negara pada BUMN lain atau swasta, pendirian BUMN baru, dijadikan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, pemisahan anak perusahaan BUMN menjadi BUMN, atau restrukturisasi perusahaan tunduk pada perundang-undangan di bidang perseroan terbatas.

“PP 72/2016 tidak mengatur konsep privatisasi, konteksnya adalah di pasal 3 (PP 44/2005) tadi, PP 44/2005 harus dibaca seutuhnya,” lanjutnya.

Di samping itu, Aziz juga mengatakan bahwa substansi PP 72/2016 ini secara tidak langsung memberikan penafsiran baru bagi definisi BUMN. Dalam beberapa tambahan di pasal 2A telah membuat anak perusahaan BUMN bisa disebut BUMN juga.

Tags:

Berita Terkait