6 Catatan Penting untuk Mahkamah Konstitusi
Berita

6 Catatan Penting untuk Mahkamah Konstitusi

Salah satunya adalah MK harus melakukan penguatan kelembagaan berupa kualitas putusan.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Zainal Arifin Mochtar. Foto: RES
Zainal Arifin Mochtar. Foto: RES
Lembaga ‘Penjaga Konstitusi’ kembali mengalami guncangan besar. Mahkamah Konstitusi (MK) silih berganti mengalami cobaan besar, akibat dampak penangkapan mantan Ketua MK Akil Mochtar pada 2013 silam yang belum reda, kini salah satu hakim konstitusi Patrialis Akbar mengalami hal serupa ditangkap oleh petugas KPK. Mendung menuju badai kembali bergelayut di langit MK.

Atas serangkaian cobaan tersebut, sejumlah catatan berupa masukan untuk penguatan lembaga MK terus disuarakan. Harapannya, penguatan kelembagaan MK bisa jadi bahan dalam revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Catatan-catatan tersebut, ke depan dapat mendorong perbaikan dan penguatan di internal MK.

Ketua PUKAT FH UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan, setidaknya ada enam catatan yan harus diperbaiki oleh MK. “Pertama, problem rekrutmen hakim konstitusi harus menguatkan prinsip dasar yang disebut dalam Pasal 19 dan Pasal 20 UU MK yakni transparan, partisipasif, obyektif dan akutanbel,” katanya di Jakarta, Kamis (9/3).

Prinsip ini  wajib dilakukan dalam proses seleksi di semua cabang kekuasaan yang mengusulkan hakim konstitusi, baik Presiden, DPR maupun Mahkamah Agung (MA). Kemudian, perlu ada aturan detail yang mengatur bagaimana keempat prinsip ini dituangkan dalam proses pemilihan, sehingga tidak sekedar memberikan kepada Presiden, DPR, MA untuk memilih dengan cek kosong.

“Pada titik rekrutmen ini, mau tidak mau juga harus mengubah UU MK untuk mengawal dan mendetailkan sistem seleksi yang lebih baik dan meminimalisasi politisasi adalah penting. Sederhananya UU MK harus diubah menjadi wajah lebih baik,” ujarnya.

Kedua, MK harus ada penguatan pengawasan. Menurutnya, judicial independency punya keterkaitan erat dengan judicial integrity. Ia menjelaskan, kalau tinggi integritasnya maka harus bisa tinggi independensinya. Artinya, memberikan ruang-ruang pengawasan pada porsi yang cukup. (Baca juga:Ikhtiar Jaga Integritas, Begini Masukan Sejumlah Tokoh kepada MK)

Terkait hal ini, keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dan KPK sangat diperlukan. Tujuannya, pengawasan bisa lebih berjalan efektif. “Standar yang harus dibuat MK bukan standar biasa, tapi kemudian standar yang mendekati prinsip sinar ketuhanan seperti yang dikatakan Ketua MK Prof Arief, memang harus sangat tinggi dan sangat sempurna,”ungkapnya.

Ketiga, lanjut Zainal, terkait dengan kualitas putusan. Belakangan, Zainal mengatakan, putusan MK mengalami penurunan kualitas bahkan sering dengan analisa hukum yang tidak jelas. Bahkan bisa dikatakan agak menyederhanakan persoalan. “Putusan MK timingnya juga sering telat, problem telat ini saya tidak tahu seberapa panjang prosesnya. Ada juga putusan MK yang sudah diputus dalam RPH tapi tidak kunjung diumumkan, sehingga menimbulkan orang lain untuk menjual putusan,” ujarnya.

Perlu ada kejelasan jangka waktu putusan dari RPH ke pengumuman. Jika tidak jelas, ini menjadi peluang besar koruptif. “Saya lihat memang tidak semua putusan MK, ada beberapa putusan yan diapresiasi baik tetapi ada juga putusan MK yang tidak jelas, misalnya dari mana standingnya tetapi tiba-tiba diputus seperti itu,” katanya.

Zainal menjelaskan, kalau MK mau memutus sesuatu, sekurang-kurangnya MK harus menjelaskan konteks kenapa digunakan metode penafsiran itu. Namun yang terjadi malah berbeda-beda. Kadang dalam sebuah putusan sangat tekstual, yang hanya berdasarkan teks. Tapi beberapa putusan lain, teksnya tak dilihat hanya kontekstual yang dilihat.

“MK sering kali bergeser seenaknya begitu saja, tapi saya yakin ada proses pendalaman di dalamnya. Dengan bergeser seperti itu publik bisa menjadi apa saja, apalagi MK sering kali tidak pas mengutip putusan terdahulunya,” ujarnya. (Baca Juga: MK-MA Ingatkan Pembentukan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada)

Keempat, Zainal mengatakan, MK seharusnya mengambil porsi menjadi solusi. Pada beberapa hal MK memilih tidak menjadi sebuah solutif pada perkara. Ada beberapa perkara yang harus diputus cepat, karena putusan cepat itu menyelesaikan beberapa problem, tapi MK memilih lama di situ. Ia berharap MK mengambil penyelesaian problem yang diperkarakan.

“Saya ingat di zaman Pak Jimly (Asshiddiqie) dulu hanya satu minggu ketika memutuskan soal persyaratan Pilpres, di zaman Pak Mahfud (MD) putusan cepat tentang syarat KTP untuk mengikuti Pilpres, tapi belakangan jarang dilakukan padahal ada beberapa yang bisa diselesaikan dengan putusan cepat,” tuturnya.

Kelima, MK harus memberikan contoh. Perilaku-perilaku hakim MK menjadi pembicaraan, bukan saja pembicaraan orang yang ada di luar MK tetapi yang ada di dalam MK sendiri. Ini menjadi catatan besar. Kalau orang dalam sendiri memberikan catatan besar pada perilaku hakimnya, bagaimana orang luarnya. Contoh ini penting, selaku Negarawan, hakim konstitusi seharusnya berpijak pada tugas utamanya dan bukan mengenyampingkan untuk sesuatu kepentingan yang masih bisa diperdebatkan.

Hakim tidak boleh melakukan pelanggaran etik dalam bentuk tak terampuni yaitu kolusi, korupsi dan nepotisme. Karena itu negara membuat begitu banyak aturan dan penguatan negara hukum. Jika sekarang masih ada hakim yang melakukan tindakan yang sama tentu akan sangat memalukan dan seharusnya tak dapat ditolerir.

Keenam, Zainal menambahkan, MK membutuhkan penguatan lembaga. Penguatan lembaga harus menjadi tujuan utama. Tujuan utama di MK adalah memperbaiki kualitas putusan dengan melakukan serangkaian penguatan yang menjadi pendukungnya. “Putusan yang baik biasanya diambil dari penalaran yang benar dan data yang kuat serta metode yang pas. Artinya, MK membutuhkan dorongan dan bantuan dari penelitian yang kuat dan mendalam, analisis hukum yang membantu MK dalam putusan. Hakim MK jelas mandiri, tetapi bukan berarti tak bisa dibantu analisi dari asisten maupun peneliti yang mempuni,” pungkasnya.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Prof Saldi Isra menilai, berbagai kasus korupsi (suap) yang melibatkan hakim konstitusi tidak terlepas dari sistem yang selalu terbuka di MK. Dalam arti, interaksi dengan siapapun atau informasi apapun terlalu mudah diakses/dijangkau masyarakat. (Baca Juga: MK Harus Batasi Diri Berinteraksi dengan Pihak Luar)

“MK seharusnya membuat ruangan terbatas yang hanya bisa diakses oleh hakim dan panitera sidang, seperti MK di Scotlandia dan MK Amerika Serikat, di sana ada restricted area yang tidak boleh dikunjungi siapapun selain hakim,” katanya.
Tags:

Berita Terkait