Disebut Terima Aliran Duit e-KTP, Begini Tanggapan Hotma Sitompoel
Berita

Disebut Terima Aliran Duit e-KTP, Begini Tanggapan Hotma Sitompoel

Selaku penasihat hukum, Hotma Sitompoel merasa berhak menerima honorarium/fee yang dianggapnya berasal dari Kemendagri.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Hotma Sitompoel. Foto: SGP
Hotma Sitompoel. Foto: SGP
Kasus korupsi proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) TA 2011-2013 ternyata turut menyeret pengacara Hotma Sitompoel. Pendiri kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates ini disebut menerima fee lawyer yang bersumber dari rekanan proyek e-KTP dan anggaran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Namun, Hotma mengaku tidak mengetahui jika fee lawyer yang ia terima berasal dari rekanan proyek e-KTP. “Jadi, kami PH (penasihat hukum) dari Kemendagri. Dan, selaku PH saya berhak menerima honorarium/fee yang tentunya kami berpendapat itu dari Kemendagri,” katanya saat dikonfirmasi hukumonline, Minggu (12/3).

Menurutnya, jauh hari setelah ada berita dugaan “bancakan” proyek e-KTP dan setelah Kemendagri menetapkan pemenang tender proyek e-KTP, pihak yang kalah tender melaporkan dugaan penyimpangan dalam tender proyek e-KTP ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri.

Kala itu, sambung Hotma, Kemendagri menunjuk kantor hukumnya, Hotma Sitompoel & Associates sebagai penasihat hukum untuk menghadapi laporan atas dugaan penyimpangan tersebut. Kemendagri diwakili oleh dua orang yang sekarang menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Irman dan Sugiharto. (Baca Juga: Dinilai Sistemik dan Masif, KPK Diminta Bongkar Skandal Korupsi e-KTP)

Sebagaimana diketahui, Irman yang dahulu menjabat sebagai Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kemendagri adalah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek e-KTP. Sementara, Sugiharto yang dahulu menjabat Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Penuntut umum KPK mendakwa keduanya melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penganggaran dan pelaksanaan pengadaan proyek e-KTP TA 2011-2013. Irman dan Sugiharto didakwa dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ata Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu, penuntut umum Mochamad Wiraksajaya menyebutkan, sekira Mei-Juni 2010, para terdakwa melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong, Johanes Richard Tanjaya, dan Husni Fahmi di Hotel Sultan, Jakarta.

Irman memperkenalkan Andi Narogong sebagai orang yang akan mengurus penganggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP, sekaligus menyampaikan bahwa Andi Narogong berminat mengikuti proses pengadaan e-KTP. Untuk itu, Irman memerintahkan Johanes membantu dengan mempersiapkan desain proyek e-KTP.

Menindaklanjuti hasil pertemuan itu, Andi Narogong meminta pertemuan berikutnya supaya dilakukan di ruko miliknya di Graha Mas Fatmawati (Ruko Fatmawati). Pertemuan pun berlangsung beberapa kali dan dihadiri oleh sejumah pihak yang nantinya akan mengikuti tender dan mengerjakan proyek e-KTP.

Pihak-pihak yang hadir disebut Tim Fatmawati, antara lain tim dari PT Java Trade Utama yang pernah mengerjakan proyek Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Kemendagri TA 2009, Setyo Dwi Suhartanto (staf Direksi PNRI), Mudji Rachmat Kurniawan dan Dudy Susanto (PT Softlob Technology Indonesia), Wahyu Supriyantono, dan Benny Akhir.

Hadir pula kedua saudara kandung Andi Narogong, Vidi Gunawan dan Dedi Priyono, Manager Government Public Sector I PT Astra Graphia IT Mayus Bangun, Direktur PT Mukarabi Sejahtera Irvan Hendra Pambudi Cahyo, Direktur Produksi PNRI Yuniarto, tim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos dan anaknya, Catherine Tannos.

Selain itu, ada juga beberapa vendor, seperti Johanes Marliem (penyedia produk AFIS merek L-1), Business Development Manager PT Hewlett Packard (HP) Indoensia Berman Jandry S Hutasoit (penyedia hardware merek HP), Tunggul Baskoro dan Toni Wijaya yang mewakili PT Oracle Indonesia (penyedia software merek Oracle), serta Jack Gijrath (penyedia produk Semi Konduktor merek NXP Singapura).

Singkat cerita, setelah beberapa kali pertemuan, disepakatilah proses pelelangan akan diarahkan untuk dimenangkan Konsorsium (Perum) Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Konsorsium ini terdiri dari Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Arthaputra. (Baca Juga: Mengungkap Nama-Nama Besar dan Sepak Terjang Dua Terdakwa Korupsi e-KTP)

Namun, menurut Wiraksajaya, mereka juga menyiapkan Konsorsium Astragraphia dan Konsorsium Mukarabi Sejahtera sebagai pendamping karena lelang harus diikuti oleh minimal tiga peserta. Hingga tiba waktunya pihak Kemendagri menyusun Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS), serta Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

Irman mengarahkan Sugiharto, Johanes, dan tim teknis agar membuat spesifikasi teknis yang mengarah pada satu produk tertentu dengan langsung menyebut merek. Daftar harga pun digelembungkan (mark up), sehingga lebih mahal dari pada harga sebenarnya dan tidak memperhitungkan diskon dari produk-produk tertentu.

Alhasil, pada 10 Februari 2011, Irman membentuk panitia pengadaan proyek e-KTP yang diketuai Drajat Wisnu Setyawan. Dalam proses pelaksanaan lelang, Sugiharto atas persetujuan Irman menyatukan sembilan lingkup pekerjaan yang menuntut kompetensi berbeda menjadi satu paket pekerjaan.

“Dengan maksud untuk meminimalisir peserta lelang, sehingga dapat memenangkan Konsorsium PNRI, serta pelaksanaannya dilaksanakan dengan menggunakan perjanjian tahun jamak (multiyears contract),” demikian isi surat dakwaan Irman dan Sugiharto yang dibacakan Wiraksajaya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3).

Atas penggabungan tersebut, Lembaga Pengkajian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sempat menyarankan Sugiharto agar pekerjaa tidak digabung karena berpeluang besar gagal dalam proses pemilihan dan pelaksanaan pekerjaan, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara, serta menghalangi kompetisi dan persaingan sehat.

Akan tetapi, Sugiharto mengabaikan saran LKPP dan tetap melanjutkan proses lelang. Sampai akhirnya, setelah proses yang diatur sedemikian rupa, Konsorsium PNRI ditetapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi sebagai pemenang lelang proyek e-KTP tahun 2011-2012 dengan harga penawaran Rp5,841 triliun.

Demi memuluskan Konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang, Andi Narogong merogoh kocek cukup dalam. Andi Narogong disebut membagi-bagikan uang kepada para terdakwa, tim teknis, Sekretaris Jenderal Kemendagri, termasuk Gamawan sejumlah AS$2 juta yang diberikan melalui Afdal Noverman dan AS$2,5 juta melalui Azmin Aulia.

Rekomendasi anggota DPR
Wiraksajaya mengungkapkan, setelah Konsorsium PNRI ditetapkan sebagai pemenang lelang proyek e-KTP, pada 13 September 2011, Sugiharto dan Drajat Wisnu Setyawan dilaporkan oleh kuasa hukum PT Lintas Bumi Lestari, Handika Honggowongso ke Polda Metro Jaya. PT Lintas Bumi Lestari merupakan salah satu perusahaan yang kalah lelang.

Handika melaporkan Sugiharto dan Drajat dengan sangkaan tindak pidana penipuan, penggelapan, pelanggaran praktik monopoli dan persaingan usaha, serta pelanggaran keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 372, 374, 415 KUHP jo Pasal 22, 48 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jo Pasal 52 No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Laporan Handika ditindaklanjuti oleh penyidik Polda Metro Jaya dengan melakukan pemanggilan terhadap Sugiharto dan Drajat. Kemudian, atas laporan dan pemanggilan itu, Irman berkoordinasi dengan Chairuman Harahap, anggota DPR dari Fraksi Golkar yang juga merupakan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap. (Baca Juga: Partai, Auditor BPK, Hingga Deputi Seskab Juga Disebut Kecipratan Duit ‘Haram’ e-KTP)

Chairuman menemui Hotma Sitompoel di kantornya di Jalan Martapura, Jakarta Pusat, guna membicarakan mengenai permintaan bantuan hukum atas laporan itu. Berdasrkan rekomendasi dari Chairuman, Irman memutuskan untuk menggunakan jasa advokat dari kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates.

Lalu, Irman memerintahkan Sugiharto meminta sejumlah uang kepada rekanan atau vendor yang ikut mengerjakan proyek e-KTP. Menindaklanjuti perintah Irman, Sugiharto meminta uang kepada Direktur Utama PT Quadra Solution Anang S Sudiharjo sejumlah AS$200 ribu dan Paulus Tannos AS$200 ribu, sehingga seluruhnya berjumlah AS$400 ribu.

“Selanjutnya, terdakwa II (Sugiharto) menyerahkan uang itu kepada Hotma Sitompoel melalui Mario Cornelio Bernardo untuk membayar jasa advokat. Selain itu, terdakwa I (Irman) juga melakukan pembayaran jasa advokat kepada Hotma Sitompoel sejumlah Rp142,1 juta yang bersumber dari anggaran Kemendagri,” ujar Wiraksajaya.

Selain pelaksanaan lelang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, penuntut umum menganggap Sugiharto dan Konsorsium PNRI tidak pula melaksanakan kewajibannya masing-masing sebagaimana telah diatur dalam kontrak pekerjaan proyek e-KTP Nomor 027/886/IK tanggal 21 Juli 2011.  

Berdasarkan kontrak, Konsorsium PNRI berkewajiban memproduksi, personalisasi, dan distribusi blangko KTP berbasis chip sebanyak 172.015.400 keping untuk tahun 2011-2012. Untuk mendukung itu, Konsorsium PNRI juga berkewajiban mengadakan peralatan data center, hardware, sistem AFIS, software, layanan keahlian pendukung kegiatan, serta bimbingan teknis untuk operator dan pendampingan teknis.

Semua pekerjaan tersebut tidak dapat disubkontrakkan, kecuali Sugiharto memberikan persetujuan tertulis. Namun, menurut Wiraksajaya, dalam pelaksanaan pengadaan proyek e-KTP, anggota Konsorsium PNRI malah mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis dari Sugiharto.
Tags:

Berita Terkait