Saksi Bakal Uraikan Pihak Yang Terima Aliran Dana e-KTP
Berita

Saksi Bakal Uraikan Pihak Yang Terima Aliran Dana e-KTP

KPK tidak ingin berandai-andai sejauh itu dulu karena pihaknya akan klarifikasi kembali beberapa informasi yang sudah ada didakwaan kasus proyek e-KTP itu.

Oleh:
ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menguraikan lebih lanjut pada proses persidangan terkait aliran dana proyek pengadaan KTP berbasis elektronik (e-KTP) yang dialokasikan kepada partai politik tertentu dan pihak-pihak lain.

“Jadi, memang ada bagian dalam dakwaan dijelaskan disana salah seorang saksi menyampaikan kepada terdakwa bahwa ada rencana atau alokasi sejumlah dana sekitar Rp500 miliar kepada partai politik tertentu dan sejumlah orang,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, di Jakarta, Senin (14/3) seperti dikutip Antara.

Tentu saja, kata Febri, rencana dan alokasi itu akan diuraikan lebih lanjut dalam proses persidangan sejauh mana realisasi dari rencana tersebut. “Selanjutnya, tentu kami akan lihat lebih jauh kalau memang ada realisasinya, realisasinya sudah diterima, siapa saja, apakah organisasi yang menerima dalam hal ini institusi atau pun personal-personal yang ada di institusi tersebut,” kata dia.

Menurut Febri perlu dibedakan jika bicara soal pidana korporasi akan bicara banyak hal. “Apalagi terkait dengan partai politik tentu kami juga perlu pertimbangkan Undang-Undang tentang Partai Politik di satu sisi. Di sisi lain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ucap Febri.

Meski begitu, KPK tidak ingin berandai-andai sejauh itu dulu karena pihaknya akan klarifikasi kembali beberapa informasi yang sudah ada didakwaan kasus proyek e-KTP itu. “Kemajuannya bagaimana dan hal yang lebih rinci dari klarifikasi itu nanti bisa kita lihat bersama-sama di persidangan,” kata Febri. Baca Juga: Mengungkap Nama-Nama Besar dan Sepak Terjang Dua Terdakwa Korupsi e-KTP

Sebelumnya, KPK dijadwalkan menghadirkan 8 saksi dari 133 saksi dalam sidang kedua dalam kasus tindak pidana korupsi pengadaan paket e-KTP tahun anggaran 2011-2013 dengan terdakwa mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto. Namun, KPK belum bisa menyebutkan nama-nama delapan saksi yang dimaksud.

Koordinasi terus dilakukan bahwa KPK akan menghadirkan 133 saksi dalam persidangan dalam 90 hari kerja ke depan. KPK terus mendalami beberapa fakta-fakta yang sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang diharap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.

Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, Partai, swasta, hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek e-KTP tersebut. Pemeriksaan saksi nantinya untuk membuktikan imbalan yang diperoleh pihak-pihak yang disebut dalam dakwaan tersebut, sehingga merugikan negara sebesar 2,314 triliun.  

Misalnya, kesepakatan pembagian anggaran total anggaran proyek e-KTP sebesar Rp5,9 triliun. Rinciannya, 1. 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek 2. Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada: a. Beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar b. Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261 miliar c. Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar.

Sementara, d. Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp574,2 miliar, e. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp783 miliar Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto. Baca Juga: Partai, Auditor BPK, Hingga Deputi Seskab Juga Disebut Kecipratan Duit ‘Haram’ e-KTP

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur orang yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Tags:

Berita Terkait