Perlu Kebijakan Lanjutan Setelah Pengakuan Hutan Adat
Berita

Perlu Kebijakan Lanjutan Setelah Pengakuan Hutan Adat

Untuk memberi kepastian bagi masyarakat hukum adat dan korporasi. MHA harus diposisikan sebagai subyek hukum.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS
Pemerintah mulai mengakui keberadaan hutan adat yang selama ini ditempati masyarakat hukum adat (MHA). Itu terlihat dari kebijakan pemerintah beberapa waktu silam yang memberi pengakuan hutan adat terhadap 9 kelompok MHA. Kebijakan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden. [Baca Juga: Pengakuan Hutan Adat Perlu Diikuti Kebijakan Ini]

Tapi pengakuan itu tak lantas menyelesaikan persoalan hutan adat yang selama ini dihadapi MHA. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esmi Warassih Pujirahayu, mengatakan kebijakan pemerintah itu didorong oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-X/2012 yang intinya menyatakan hutan adat bukan hutan negara. [Baca Juga: MK Tegaskan Hutan Adat Bukan Milik Negara]

Esmi menilai masih banyak MHA yang terancam hak mereka atas hutan adat. Misalnya, masyarakat suku Badui yang hutannya semakin dipangkas dari puluhan hektar menjadi 5 hektar. Ada juga masyarakat Kendeng, kawasan karst yang menjadi sumber mata air dan penghidupan bagi mereka terancam ekspansi pabrik semen.

Bagi Esmi, pengakuan pemerintah terhadap hutan adat harus dibarengi dengan kebijakan serta regulasi yang selaras. Dia mencatat tidak sedikit peraturan yang belum menjamin hak MHA terhadap hutan adat. Malah ada aturan dalam UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (telah diganti dengan UU No. 39 Tahun 2014—red) , memposisikan MHA dan pelaku usaha perkebunan secara tidak seimbang. Pelaku usaha bisa memberikan imbalan kepada MHA agar mereka mau menyerahkan hak atas tanah adat atau ulayat.

Menurut Esmi ketentuan itu membuktikan MHA belum ditempatkan sebagai subyek hukum. Dengan memposisikan MHA sebagai subyek hukum, barulah musyawarah antara mereka dan pelaku usaha bisa setara. Oleh karenanya Esmi menyimpulkan walau pemerintah sudah mengakui hutan adat, tapi belum membawa perubahan signifikan bagi MHA. “Putusan MK No. 35 Tahun 2012 itu belum berjalan sepenuhnya,” katanya dalam peluncuran buku di Jakarta, Rabu (15/3).

Untuk hutan adat yang telah diakui oleh pemerintah, Esmi mengusulkan agar kebijakan itu ditindaklanjuti oleh program yang lebih terarah. Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri tepat melakukan hal tersebut. Pengakuan hutan adat itu selaras dengan otonomi daerah. Masyarakat di tingkat desa mengetahui kepemilikan yang ada di wilayahnya, termasuk kepemilikan MHA.

Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia, Petrus Gunarso, mengingatkan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang lebih kongkrit setelah mengakui sejumlah kawasan hutan adat. Hal itu perlu dilakukan guna mencegah terjadinya konflik baru di masyarakat. Bisa saja hutan adat yang diakui itu beririsan dengan wilayah konsesi perusahaan atau juga desa yang berada di kawasan hutan.  “Pemerintah harus hati-hati, jangan sampai setelah pengakuan hutan adat itu terjadi konflik baru atau malah konflik horizontal,” ujarnya.

Petrus melihat pemerintah belum menentukan lembaga mana yang menindaklajuti hutan adat itu setelah mendapat pengakuan. Apakah lembaga itu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. “Pemerintah perlu membuat peta jalan, setelah pengakuan hutan adat arahnya kemudian mau kemana,” paparnya.

Petrus khawatir tanpa arah kebijakan yang jelas, pengakuan hutan adat itu malah menimbulkan ketidakpastian di masyarakat. Terutama bagi perusahaan yang bisnisnya bersinggungan dengan kehutanan dan perkebunan. Bagaimana jika hutan adat yang diakui itu beririsan dengan konsesi perusahaan? Apakah nanti akan dijadikan plasma atau mitra.

Walau begitu Petrus melihat pengakuan terhadap hutan adat itu berdampak positif guna meredam konflik lahan yang melibatkan MHA. Tapi tanpa pengelolaan yang baik oleh pemerintah, pengakuan itu bisa berdampak negatif kepada masyarakat.
Tags:

Berita Terkait