PK Kedua Demi Keadilan Terpidana
Putusan Terpilih MA 2016:

PK Kedua Demi Keadilan Terpidana

Tumpang tindih sertifikat lahan seringkali berujung pidana. Inilah salah satu putusan yang memungkinkan ada PK kedua, dan dikabulkan majelis hakim.

Oleh:
MYS/NEE/ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS
Di tengah kontroversi upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang belum berujung, Mahkamah Agung mengeluarkan beleid penting. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2014 mengatur Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana. SEMA ini dikeluarkan untuk merespons putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (1) KUHAP.

Meskipun MK membatalkan aturan KUHAP tentang PK hanya satu kali, bukan berarti tidak ada landasan hukum lain. Mahkamah Agung menunjuk Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung. Karena itu, Mahkamah Agung bersikukuh dalam SEMA bahwa permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Kalaupun dimungkinkan lebih dari satu kali maka harus dipenuhi syarat yang ketat. (Baca juga: Menguji Efektivitas SEMA No. 7 Tahun 2014).

Salah satu perkara yang membuktikan ada PK kedua dalam perkara pidana adalah putusan No. 01 PK/Pid/2016. Ini tentang penggunaan surat palsu dalam jual beli tanah di Jalan Ahmad Yani Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Putusan ini termasuk satu dari 11 putusan terpilih yang masuk Laporan Tahunan MA Tahun 2016. (Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions Tahun 2016).

Seorang perempuan berniat menjual tanah sepeninggal suaminya untuk membiayai hidup. Seorang warga tertarik membeli tanah seluas 28.900 meter persegi itu seharga lebih dari 1,4 miliar. Namun dari hasil konsultasi ke Kantor Pertanahan setempat, sertifikat tahun 1972 yang dimiliki penjual janggal. Sebab di lokasi yang sama sudah ada dua sertifikat lain. Celakanya, yang terdaftar di Kantor Pertanahan adalah dua sertifikat orang lain, meskipun SHM kedua nama yang lain diterbitkan setelah tahun 1972. Ia akhirnya dilaporkan ke polisi.

Di Pengadilan Negeri, terdakwa dinyatakan terbukti bersalah menggunakan surat palsu dan dijatuhi pidana penjara selama 7 bulan. Namun di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Banjarmasin menyatakan perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana sehingga harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Eh, di tingkat kasasi hukum PN dikembalikan. Terdakwa mengajukan PK, namun majelis menyatakan permohonan PK tidak dapat diterima karena ia tidak pernah hadir di persidangan.

Terdakwa tidak patah arang mempertahankan haknya. Pada PK kedua, permohonannya dikabulkan majelis hakim. Majelis PK kedua menyatakan sertifikat hak milik No. 21 Tahun 1972 adalah asli karena terbukti pernah diagunkan ke bank. Fakta lain menyebutkan upaya balik nama sertifikat itu tak berhasil karena ditolak Kantor Pertanahan dengan dalih sudah ada sertifikat lain di lokasi yang sama yang terbit tahun 1977 dan tahun 1982.

Mengapa PK kedua dikabulkan hakim? Rupanya, dalam permohonan, si perempuan mengajukan bukti baru (novum) berupa putusan berkekuatan hukum tetap (putusan No. 15 PK/TUN/2011) yang membatalkan dua sertifikat yang terbit belakangan. Hakim memerintahkan BPN mencabut surat keputusan penerbitan sertifikat tahun 1977 dan 1982 tersebut.

Ada dua kaidah hukum yang dipetik dari putusan perkara ini. Pertama, PK kedua dapat dibenarkan jika permohonan PK pertama dinyatakan tidak dapat diterima hanya karena pemohon tidak pernah hadir di pengadilan negeri saat sidang permohonan PK diproses. Kedua, dalam hal terdakwa selaku pemilik tanah yang telah bersertifikat menjualnya kepada orang lain, sedangkan di atas tanah itu ada sertifikat tumpang tindih, dimana terdakwa dihukum karena menggunakan sertifikat itu, maka perbuatan itu terbukti. (Baca juga: Chairul Huda: Kembalikan PK Sesuai Ruh KUHAP).

Tetapi perbuatan itu tak bisa disebut sebagai kejahatan karena sudah terbukti dari novum bahwa sertifikat lain dibatalkan PTUN dan diperintahkan untuk dicabut. “Perbuatan itu bukan merupakan kejahatan sehingga terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum,” demikian kaidah hukum yang termuat dalam Laporan Tahunan MA Tahun 2016.

Advokat senior Luhut MP Pangaribuan mengatakan bahwa hakikat PK dalam KUHAP adalah untuk melindungi hak seorang terpidana. “Bukan sebaliknya, memberi ruang kepada jaksa untuk menghukum,” ujarnya kepada Hukumonline. (Baca juga: Akhirnya…MK Larang Jaksa Ajukan PK).

Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu masuk akal PK kedua dikabulkan hakim jika memang novum yang disampaikan terpidana sangat menentukan. “PK kedua penekanannya dengan adanya novum,” sambungnya. (Baca juga: Dalam Pengajuan PK, Ahli Waris Jadi Hak Substitusi Terpidana).

Advokat T. Nasrullah juga mendukung adanya PK kedua diberikan kepada terpidana. Negara tak mungkin tinggal diam jika terbukti ada kesalahan dalam putusan terdahulu. “PK kedua, ketiga dan seterusnya itu dalam rangka mencari keadilan. Jadi, prinsip yang dianut adalah untuk menghukum orang tidak boleh dipermudah. Memasukkan orang ke penjara itu tidak boleh dipermudah, dilonggar-longgarkan. Benar-benar harus cukup kuat buktinya,” tegas Nasrullah.
Tags:

Berita Terkait