Pakar TPPU: Hak Angket Bakal Ganggu Proses Penegakkan Hukum
Korupsi e-KTP

Pakar TPPU: Hak Angket Bakal Ganggu Proses Penegakkan Hukum

Penegakan hukum terhadap kasus e-KTP mesti tetap berjalan dengan menetapkan tersangka baru.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Yenti Ganarsih. Foto: RES.
Yenti Ganarsih. Foto: RES.
Proses penegakan hukum terhadap kasus mega skandal dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP sudah tepat ditangani oleh KPK dan bermuara di pengadilan. Sebaliknya, mewacanakan penggunaan hak angket (investigasi) oleh DPR bakal mengganggu kinerja penegakan hukum. Bahkan, mungkin bakal menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap DPR.

Demikian disampaikan Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (16/3). “Untuk apa sih pake hak angket, latah saja. Berikan kepercayaan saja ke lembaga penegak hukum,” ujarnya.

Ia menilai penggunaan hak angket bakal diasumsikan oleh masyarakat sebagai upaya melindungi anggota DPR yang disebut namanya dalam surat dakwaan terdakwa Irman dan Sugiharto. DPR sebaiknya fokus terhadap sejumlah pekerjaan rumahnya di bidang legislasi dan fungsi lainnya.

Sebab, tugas DPR di bidang legislasi jauh lebih penting ketimbang menggunakan hak angket. Ia berpendapat menggunakan hak angket diibaratkan sunnah. Terpenting, KPK bekerja profesional dalam menangani kasus mega skandal proyek pengadaan e-KTP. Menurutnya pihak yang menerima mesti diproses. Menjadi pertanyaan, kata Yenti, pihak yang membagi-bagikan uang justru belum ditetapkan sebagai tersangka. Baca Juga: Usulan Hak Angket Kasus e-KTP Dinilai Tidak Perlu

Menangani kasus sebesar e-KTP dengan melibatkan banyak orang yang terseret dalam pusaran kasus tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih, KPK hanya memiliki sumber daya manusia yang terbatas. Apalagi, dana yang diduga mengalir ke sejumlah nama dengan total Rp2,3 triliun.

Itu sebabnya, dengan terbatasnya sumber daya manusia, KPK mesti becepat bekerja dan hati-hati dalam menetapkan tersangka lain. Karena itulah, mensiasati kekurangan sumber daya manusia khususnya penyidik, KPK dapat mendistribusikan penyidikannya ke pihak Mabes Polri. Nah KPK pun kemudian melakukan supervise terhadap kepolisian.

“Harusnya tersangkanya banyak, sementara sumber daya manusianya (KPK, red) sedikit. Jadi sebiaknya serahkan sebagian ke polisi dan dilakukan supervise. Tawarannya, mau pelan-pelan tapi sedikit yang ditetapkan tersangka, atau bersama-sama penangananya dengan polisi tapi sekaligus,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui dalam surat dakwaan terdapat banyak anggota dewan yang diduga menerima aliran dana proyek e-KTP. Begitu pula dari pihak swasta. Namun sayangnya, KPK hanya menetapkan tersangka terhadap dua orang dari pihak Kemendagri, yakni Irman dan Sugiharto yang kini berstatus terdakwa.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku heran dengan pihak yang tidak suka dengan investigasi terbuka yang dilakukan DPR dengan menggunakan hak angket. DPR menggunakan hak angket atas dasar kewenangan yang diberikan UU. Apalagi hak angket jarang digunakan. Baca Juga: Ada Konflik Kepentingan Kasus e-KTP, Ketua KPK Didesak Mundur

Dalam kasus e-KTP misalnya, dana dikeluarkan sebesar Rp2,3 triliun yang kemudian dibagi-bagikan melalui Andi Narogong. Sementara peran Andi tersebut tidak dijadikan sebagai bukti untuk menjadikannya tersangka oleh KPK. Menurutnya KPK mestinya terbuka ke publik. Sebab dengan terbuka, masyarakat dapat mengetahui detil kasus tersebut. Oleh sebab itulah maka dengan hak angket itulah masyarakat dapat mengetahui secara terbuka.

“Kalau kita buka kasus ini kan asik kita tonton. Pemberantasan korupsi tidak hanya dengan terbitkan satu atau dua Inpres, tetapi harus ada itikad baik dari orang paling kuat di negeri ini, yaitu Joko Widodo,” ujarnya.

Abaikan suara sumbang
Meski suara pengguliran hak angket diusulkan oleh Fahri Hamzah, Yenti menyarankan agar penegak hukum tak menghiraukan. Menurutnya nada sumbang di luaran tak perlu didengarkan. Sebaliknya, penegakan hukum mesti jalan kendati langit bakal runtuh. Penegakan hukum terhadap kasus e-KTP mesti tetap berjalan dengan menetapkan tersangka baru.

Pasalnya, Yenti menilai dakwaan yang disusun jaksa KPK tak strategis. Ia beralasan dari sekian nama yang disebut jaksa, mesti sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan alat bukti. KPK pun diyakini tidak sekedar menyebut nama-nama tanpa adanya alat bukti yang cukup. Baca juga: KPK Diminta Tuntaskan Kasus Korupsi ‘Berjamaah’ Proyek e-KTP

“Kalau dari konstruksi dakwaan, berarti orang-rang yang menerima itu terbukti di tingkat penyidikan yang mengembalikan uang. Karena yang menerima kemudian mengembalikan tidak menghapus pidana. Kalau dia pernah menerima uang proyek kemudian uangnya mampir ke dia itu pelaku korupsi,” katanya.

Dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu juga meminta agar anggota dewan sebanyak 14 orang yang mengembalikan aliran dana proyek e-KTP mesti diungkap KPK. Bahkan, kata Yenti, KPK mesti menjadikan tersangka terhadap mereka yang mengembalikan dana proyek e-KTP. “14 orang yang mengembalikan itu, KPK harus menyebut dan mentersangkakan,” harapnya. 
Tags:

Berita Terkait