Kalau Terpidana Tak Sanggup Bayar Uang Pengganti
Fokus

Kalau Terpidana Tak Sanggup Bayar Uang Pengganti

Pasca putusan ini seharusnya ada pengaturan yang lebih rinci mengenai pembayaran uang pengganti.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi uang pengganti. Ilustrator: BAS
Ilustrasi uang pengganti. Ilustrator: BAS
Seorang terpidana yang ingin mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) harus melampirkan bukti-buki baru yang berkualitas dan bersifat menentukan. Jika tidak, permohonan PK tidak akan dikabulkan. Apalagi tak terbukti ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

Inilah salah satu kaidah hukum yang bisa ditarik dari putusan Mahkamah Agung No. 131 PK/Pid.Sus/2014 yang diputus majelis hakim Artidjo Alkostar, Leopold Luhut Hutagalung dan Sri Murwahyuni. Putusan ini termasuk satu dari 11 putusan terpilih yang dimasukkan ke dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2016. [Baca Juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions Tahun 2016].

Selain tentang novum, dari putusan ini bisa ditarik kaidah penegasan mengenai pembayaran uang pengganti. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika harta benda terpidana belum juga cukup untuk membayar uang pengganti, ia dipidana dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Pembayaran uang pengganti adalah pidana tambahan yang khusus dikenal dalam tindak pidana korupsi. Pasal 10 KUHP hanya mengenal pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, atau pengumuman putusan hakim. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dikenal dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Baca juga: Jero Wacik Dituntut 9 Tahun dan Uang Pengganti Rp18,79 M).

Dalam perkara yang menjadi putusan terpilih ini, seorang mantan bupati di Maluku, didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan dituduh melanggar Pasa 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Di persidangan, jaksa akhirnya menuntut terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.

Putusan PN itu dibatalkan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Menurut majelis terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, dan karena itu menjatuhkan pidana 4 tahun penjara, denda 500 juta rupiah, dan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp5,3 miliar. (Baca juga: Hukuman Tambahan Bagi Koruptor yang Tidak Membayar Uang Pengganti).

Tak terima putusan kasasi ahli waris terpidana mengajukan PK. Namun PK itu ditolak majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkostar. Itu berarti putusan kasasi tetap berlaku. Pertimbangan majelis berkaitan dengan sifat bukti baru (vonum yang disampaikan pemohon PK, serta berkaitan dengan dalil-dalil yang diajukan ahli waris pemohon PK.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Aradila Caesar, menilai jika seorang terpidana atau ahli warisnya ingin menggunakan dalil adanya bukti baru saat mengajukan PK, maka sudah sepantasnya memang mengajukan novum yang sangat menentukan sebagaimana dimaksud majelis hakim. “Kalau mau mengajukan PK ya harus ada bukti-bukti baru (novum), sudah semestinya begitu,” ujarnya.

Kaidah hukum tentang pembayaran uang pengganti itu juga sudah sering diputuskan oleh hakim. Jika terpidana tak mampu membayar, maka hartanya disita dan dilelang, dan jika tidak maka ia harus menjalani penjara 2 tahun. Ini sudah lazim dan normatifnya memang begitu.

Aradila lebih melihat pada ukuran penentuan besaran uang pengganti. Pasal 18 UU Tipikor menggunakan frasa ‘jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi’.  “Pasal itu menjelaskan dua poin utama yaitu bagaimana penghitungan besaran uang pengganti dan kapan harus dibayar,” urai Aradila. (Baca juga: Kejagung Tolak Terpidana BLBI Cicil Uang Pengganti).

Mengacu ketentuan tersebut Aradila menjelaskan prosedur utama yang harus dilalui yaitu meminta terpidana membayar uang pengganti. Jika uang pengganti itu tidak bisa disanggupi, harta benda terpidana disita oleh jaksa dan dilelang.

Pembenahan
Tetapi Aradila melihat pada praktiknya aturan itu tidak digunakan sebagai prosedur baku. Melainkan lebih sebagai ‘pilihan’ yang diberikan jaksa kepada terpidana. Misalnya, Jaksa menawarkan apakah terpidana mau membayar uang pengganti atau dipenjara. Ini merupakan celah yang harus dibenahi ke depan sehingga mekanisme uang pengganti itu dijalankan sesuai prosedur, bukan pilihan yang ditawarkan kepada terpidana.

Merujuk Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jumlah uang pengganti paling banyak sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Namun ada juga pandangan yang menyebut uang pengganti ini besarannya sama dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan. Akibatnya, banyak putusan perkara korupsi yang menggunakan dasar penghitungan uang pengganti yang berbeda-beda.

“Padahal sudah jelas di pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut besaran uang pengganti sebagai ‘rampasan’ terhadap hasil kejahatan korupsi,” ujar Aradila.

Ia berharap ketentuan uang pengganti diatur lebih rinci dan jelas sehingga hakim menggunakan dasar penghitungan yang sama. Uang pengganti seharusnya juga bukan hanya berlaku untuk perkara dengan dakwaan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga semua bentuk kejahatan korupsi termasuk suap. Sehingga hasil kejahatan korupsi berupa suap bisa dikembalikan lewat uang pengganti.

Untuk menghitung pidana penjara jika terpidana tidak sanggup membayar uang pengganti, Aradila mengusulkan agar dibentuk pedoman pemidanaan. Tujuannya untuk mengurangi disparitas putusan (vonis) karena diskresi hakim sangat luas. Misalnya, jika terpidana dijatuhi uang pengganti Rp100 juta, maka pidana penjara penggantinya 1 atau 2 tahun. Begitu pula seterusnya, semakin besar uang pengganti maka pidana penjara pengantinya semakin lama. “Hal ini bisa diatur menggunakan Surat Edaran MA,” urainya.

Soal jangka waktu sebulan bagi terpidana untuk membayar uang pengganti, Aradila menilai waktu yang diberikan itu cukup. Berbeda jika uang pengganti itu menggunakan dasar penghitungan kerugian negara karena jumlahnya biasanya lebih besar ketimbang menggunakan penghitungan yang mendasarkan pada hasil kejahatan korupsi. “Waktu sebulan itu cukup jika uang pengganti dianggap sebagai merampas hasil kejahatan korupsi yang dilakukan terpidana,” tukasnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Jamin Ginting, menjelaskan aset yang dapat disita untuk membayar uang pengganti bukan saja terhadap harta benda milik terpidana tapi juga yang dihasilkan dari kejahatan tindak pidana korupsi. Pada saat putusan berkekuatan hukum tetap, aset yang disita itu dilelang. Kalau jumlahnya tidak cukup untuk membayar uang pengganti, jaksa/penuntut umum sebagai eksekutor menyita kembali aset terpidana yang masih ada. Jika ada harta benda terpidana yang dialihkan kepada pihak ketiga, penuntut umum bisa mengajukan gugatan secara perdata.

Jamin menilai salah satu kendala yang dihadapi jaksa yakni dalam hal menelusuri aset terpidana, terutama aset yang tidak bergerak karena pengalihannya dilakukan menggunakan mekanisme hukum seperti jual beli dan hibah. Aset bergerak seperti uang dan saham bisa ditelusuri melalui PPATK. “Paling sulit kalau aset itu sudah dibalik nama, maka harus menggunakan mekanisme perdata terlebih dulu,” paparnya. (Baca juga: Susno Bayar Uang Pengganti).

Guna membenahi persoalan itu Jamin mengusulkan jaksa berperan aktif untuk menelusuri aset terpidana sehingga harta benda yang disita cukup untuk membayar uang pengganti. Tapi jaksa tidak bisa melakukan itu sendirian, harus dibentuk tim. Apalagi dalam praktiknya berpotensi terjadi penyimpangan, misalnya uang pengganti yang harus dibayar Rp100 milyar, harta benda terpidana hanya ada Rp90 milyar, tapi terjadi negosiasi yang ujungnya hanya bisa dibayar Rp50 milyar.

“Maka harus ada insentif bagi jaksa dan tim pendukungnya yang berhasil melakukan eksekusi 100 persen terhadap harta benda terpidana yang digunakan untuk uang pengganti,” tukas Jamin. Menurutnya, hal itu yang menjadi praktik selama ini di luar negeri, seperti di Amerika Serikat.
Tags:

Berita Terkait