Kampus dalam Bunga Rampai Isu Korupsi
Resensi

Kampus dalam Bunga Rampai Isu Korupsi

Orang kampus perlu baca. Kampus salah satu kekuatan dan harapan untuk mencegah dan memberantas praktek korupsi.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Buku Konsolidasi Perguruan Tinggi dalam Pemberantasan Korupsi. Foto: NNP
Buku Konsolidasi Perguruan Tinggi dalam Pemberantasan Korupsi. Foto: NNP
Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Yogyakarta, Yogyakarta, menolak kedatangan tim sosialisasi revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (22/3). Penolakan mahasiswa UGM itu hanya sebagian dari suara menolak revisi jika bertujuan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi UGM punya Pusat Kajian Antikorupsi.

Tak hanya itu. Dari kampus Buluksumur Yogyakarta pula bergema semangat antikorupsi selama perhelatan Anti-Corruption Summit (ACS) 2016. ACS kedua ini sengaja mengambil tema ‘Konsolidasi Gerakan Antikorupsi Berbasis Akademisi dan Kampus’ untuk mencari sumbangsih apa yang bisa diberikan perguruan tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Kampus juga perlu introspeksi karena ada beberapa kasus korupsi yang terjadi di perguruan tinggi. (Baca juga: Tolak Revisi UU KPK, Rektor dan Guru Besar Minta DPR Dukung Penuntasan kasus e-KTP).

Hal lain yang membuat miris, orang-orang yang terbukti melakukan korupsi umumnya adalah lulusan perguruan tinggi. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (2016) pernah mencatat bahwa 195 orang pelaku korupsi adalah lulusan S1, 197 lulusan program magister, dan 33 orang bergelar doktor (S3). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pelaku korupsi lulusan SMA, SMP atau SD.

Angka-angka itu sengaja dikutip Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, dalam kata pengantar untuk buku ‘Konsolidasi Perguruan Tinggi dalam Pemberantasan Korupsi: Bunga Rampai Makalah Anti Corruption Summit 2016’. Pukat UGM pula yang langsung menerbitkan buku kumpulan makalah ini.

Buku ini sebenarnya diterbitkan pada November 2016 lalu. Tetapi membacanya saat ini adalah momentum yang pas. Kampus lagi mendapat sorotan karena sudah beberapa kali tim dari Badan Keahlian DPR menjadikan kampus sebagai mitra dan lokasi sosialisasi revisi UU KPK. Padahal revisi itu tak termasuk dalam Prolegnas 2017, dan sudah berkali-kali ditolak sejumlah komponen masyarakat, termasuk oleh KPK sendiri. Sebelum ke UGM, sosialisasi sudah dilaksanakan di kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Nasional Jakarta.  (Baca juga: Serap Aspirasi Revisi UU KPK, Begini Pandangan Akademisi Universitas Nasional).

Konsolidasi Perguruan Tinggi dalam Pemberantasan Korupsi
Penyunting Laras Susanti
Penerbit Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tahun November, 2016
Halaman 2016 + viii
Kampus memang tempat netral untuk mendiskusikan segala rencana kebijakan secara kritis. Pandangan pro dan kontra bisa ditampung dan diperdebatkan secara ilmiah. Tetapi kampus pun harus sudah menyiapkan instrumen agar terhindar dari praktik-praktik tak terpuji seperti korupsi. Salah satu yang bisa dilakukan kampus adalah menyusun kurikulum antikorupsi seperti yang diusung KPK, meskipun itu belum cukup menjadi piranti satu-satunya (hal. 10-13). (Baca juga: Pandangan 8 Guru Besar Soal Polemik UU KPK).

Dikatakan belum cukup karena kurikulum tak bisa langsung mencegah orang melakukan korupsi. Apalagi ada banyak pola-pola korupsi dalam arti luas terjadi di kampus. Seorang mahasiswa yang memberikan gratifikasi kepada dosen untuk mendapatkan nilai bagus, misalnya, termasuk kategori korupsi. Di buku ini diuraikan bukan hanya 12 pola-pola korupsi yang terjadi di kampus (hal. 178), tetapi juga kajian tentang gejala favoritism pemilihan rektor yang berpotensi membuka ruang korupsi (hal. 101), dan bagaimana seharusnya kampus bersikap dalam kasus upaya pelemahan KPK yang dilakukan sejumlah kalangan (hal. 27).

Tentu saja, pertanyaan penting yang harus dijawab civitas akademika adalah apa yang harus dilakukan perguruan tinggi? Bagaimana kampus melakukan konsolidasi agar pemberantasan korupsi bukan isu menara gading di perguruan tinggi? Cukupkah kurikulum antikorupsi, klinik antikorupsi, atau harus sampai ke hal-hal detil seperti kebiasaan memberi gratifikasi kepada pimpinan, larangan menyontek pas ujian, dan transparansi pengelolaan keuangan di setiap level?

Buku ini salah satu yang layak dibaca untuk memperkaya pandangan, pengetahuan, serta untuk mengetahui langkah-langkah yang apa yang seharusnya dilakukan. Kampus adalah tempat orang-orang terdidik mendidik orang lain. Kampus menyiapkan civitas akademika bekal ilmu pengetahuan, etika, dan kemampuan membedakan mana tindakan yang benar dan mana yang tidak.

Jangan sampai dalam isu anti-korupsi, kampus justru mengalami kemunduran. Jangan sampai peribahasa ‘guru kencing berdiri murid kencing berlari’ terjadi di kampus kita. Kuncinya: jangan korupsi!

Dan jangan lupa, untuk mendapatkan dan membaca buku bunga rampai ini kita tak perlu korupsi!
Tags:

Berita Terkait