7 Catatan YLKI Terkait Rencana Terbitnya Aturan Baru Transportasi Online
Berita

7 Catatan YLKI Terkait Rencana Terbitnya Aturan Baru Transportasi Online

YLKI menilai taksi berbasis aplikasi belum memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan memberlakukan aturan baru terhadap transportasi/taksi berbasis aplikasi, taksi online. Dalam konteks perlindungan konsumen dan dalam rangka sistem transportasi yang keberlanjutan, regulasi baru tersebut bisa dipahami tapi dengan beberapa catatan kritis.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan ada tujuh catatan YLKI terkait rencana Kemenhub memberlakukan aturan baru tersebut. Pertama, Prinsip dasar dalam bertransportasi adalah keselamatan, aksesibilitas, keterjangkauan, terintegrasi, kenyamanan dan keberlanjutan.

Menurut Tulus, sejauh ini taksi berbasis aplikasi baru menjawab terhadap satu poin saja, yakni aksesibilitas. “Konsumen dengan (relatif) mudah mendapatkan taksi online daripada taksi konvensional,” ujarnya dalam rilis, Jumat (24/3).

Kedua, dari aspek yang lain, taksi online belum mampu menjawab kebutuhan dan perlindungan pada konsumen yang sebenarnya. Misalnya, belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, baik untuk armada dan sopirnya. Tarif taksi online juga tidak bisa dibilang murah, bahkan bisa lebih mahal daripada taksi konvensional. (Baca Juga: MK Diminta “Legalkan” Penyedia Jasa Transportasi Online Perorangan)

Sebab, taksi online memberlakukan tarif berdasarkan jam sibuk (rush hour) dan non rush hour. Pada rush hour tarif taksi online jauh lebih mahal apalagi dalam kondisi hujan. “Jadi untuk diberlakukan tarif bawah taksi online secara praktis tidaklah kesulitan karena selama ini secara tidak langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan batas atas,” kata Tulus.

Ketiga, menurut Tulus yang harus disorot adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. Aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran.

Keempat, taksi online belum memberikan perlindungan kepada konsumennya jika terjadi kehilangan barang atau terjadi kecelakaan. Bahkan, jika terjadi sengketa keperdataan dengan konsumen akan diselesaikan via arbritase di Singapura. “Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal bahkan merugikan konsumen,” tutur Tulus. (Baca: Jika Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan, Ini 5 Hal yang Wajib Diatur)

Kelima, Operator taksi online belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumennya. Bahkan, kata Tulus, dalam term of contract-nya, mereka akan menjadikan data pribadi konsumen untuk dishare ke mitra bisnisnya, misalnya untuk obyek promosi. “Oleh karena itu, Kemenhub dalam revisinya, Permenhub No. 32/2013 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji kir, proses balik nama STNK, atau bahkan tarif,” ujar Tulus.

Keenam, Dalam konteks persaingan usaha, tidak boleh ada operator/pelaku usaha yang menerapkan kebijakan predatory tariff. Sebab, predatory tariff akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operasi operator lainnya. Oleh karena itu, lanjut Tulus, pemerintah harus melakukan intervensi jika ada operator yang menerapkan predatory tariff.

Ketujuh, YLKI mendesak kepada operator taksi konvensional untuk meningkatkan pelayanannya, misalnya kemudahan mengakses bagi konsumen semudah taksi online. Jika perlu Kemenhub juga mengaudit tarif taksi konvensional, harus dibebaskan dari unsur inefisiensi. (Baca Juga: Perlindungan Konsumen di Era Ekonomi Digital Masih Minim)

“Sehingga konsumen tidak menanggung tarif/ongkos kemahalan karena ada unsur inefisiensi dalam tarif taksi konvensional,” kata Tulus.

Lebih jauh, Tulus berpendapat bahwa secara umum revisi Permenhub No. 32/2013 sebenarnya sudah terlalu permisif dan kompromistis. Misalnya, soal akomodasi/pembolehan terhadap mobil LCGC sebagai taksi. Padahal mobil LCGC hanya 1.000 cc seharusnya tidak laik untuk angkutan umum karena tidak safety. Uji kir juga cukup dengan stiker tidak harus diketok di mesinnya.

“Bahwa keberadaan taksi online tidak mungkin dilarang, tapi juga tidak mungkin dibiarkan beroperasi tanpa adanya regulasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait