Penerapan Pasal 1872 KUHPerdata Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum
Kolom:

Penerapan Pasal 1872 KUHPerdata Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum

Namun hal ini bergantung sepenuhnya kepada pertimbangan dan keyakinan hakim.

Bacaan 2 Menit
Resa Boentoro. Foto: Istimewa
Resa Boentoro. Foto: Istimewa
Dalam hukum pembuktian perdata, akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (pasal 1870 KUHPerdata). Kekuatan pembuktian ini melekat pada akta notaris sepanjang akta tersebut dibuat menurut ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2014.

Konsekuensi hukum atas kekuatan pembuktian sempurna ini dalam suatu sengketa perdata adalah hakim wajib dan terikat menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna, harus menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup terbukti, hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut sehingga harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan penyelesaian sengketa.[1]

Permasalahan hukum terjadi apabila ternyata akta notaris yang dipergunakan sebagai bukti dalam persidangan perdata tersebut mengandung tanda tangan palsu, dibuat dengan menggunakan dokumen-dokumen yang tidak benar. Pasal 1872 KUHPerdata[2] memberikan kesempatan bagi pihak yang merasa dirugikan (korban) untuk mengajukan penundaan pelaksanaan akta tersebut.

Penerapan pasal 1872 KUHPerdata mengacu pada pasal 138 HIR, khususnya angka 7 dan 8 yang memungkinkan adanya proses pidana terhadap alat bukti yang diduga palsu serta penangguhan proses pemeriksaan perkara perdatanya hingga adanya putusan pidana terhadap pemalsuan tersebut.

Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam peradilan perdata adalah kebenaran formil (formeel waarheid). Ini berarti selama akta notaris dibuat sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2014, maka akta tersebut sah dan memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta otentik.

Hakim cenderung menggali fakta sebatas pada kebenaran formil pembuatan akta seperti apakah akta tersebut ditandatangani para pihak di hadapan notaris, apakah data-data yang dipergunakan sudah sesuai dengan aslinya. Hal ini berdampak korban akan kesulitan untuk membantah formil akta notaris tersebut.

Kekuatan pembuktian sempurna yang dimiliki akta notaris tidak bersifat menentukan (beslissende bewijs kracht) atau memaksa (dwingende bewijs kracht) sehingga masih dapat disangkal dengan alat-alat bukti lawan (tegenbewijs) seperti bukti surat, keterangan saksi, namun beban pembuktian tersebut ada pada korban. Membuktikan ketidakhadirannya dihadapan notaris serta tidak pernah menandatangani minuta akta dengan menggunakan alat-alat bukti seperti surat, keterangan saksi belum tentu meyakinkan hakim.

Sebagai contoh dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 252/Pdt.G/2014 tanggal 29 Desember 2014, hakim berpendapat pembuktian terhadap suatu perbuatan memalsu harus dibuktikan terlebih dahulu oleh suatu putusan pengadilan pidana sehingga akta notaris harus tetap dianggap sah.

Mencari kebenaran materiil dalam peradilan perdata bersifat opsional, namun tidak ada salahnya hakim mengambil pendekatan ini untuk menyelesaikan sengketa seperti putusan Mahkamah Agung No. 1753 K/Pdt/2012 tanggal 21 Mei 2013 dimana majelis hakim mencari kebenaran materiil dari bukti-bukti yang ada terhadap surat kuasa khusus yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan suatu akta notaris.

Tentunya akan menjadi permasalahan jika gugatan perdata dan proses pidana ternyata berjalan bersamaan. Dari segi waktu proses pemeriksaan perdata di tingkat pertama lebih pendek daripada proses pidana yang berjenjang dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, sehingga sangat dimungkinkan proses perdata akan selesai terlebih dahulu dan putusannya dapat merugikan korban. Menunggu hingga adanya putusan pidana terhadap pemalsuan tanda tangan tanpa adanya penghentian sementara perkara perdatanya berpotensi akan menimbulkan kerugian perdata bagi korban.

Perlu adanya kesamaan pandangan bagi hakim dalam menyelesaikan permasalahan hukum seperti ini. Tidak berlebihan jika hakim mencari kebenaran materiil guna memenuhi asas peradilan yang cepat dan murah, namun sayangnya hal tersebut bukanlah suatu kewajiban yang mengikat bagi hakim.

Pasal 1872 KUHPerdata dapat menjadi jalan keluar namun hal ini bergantung sepenuhnya kepada pertimbangan dan keyakinan hakim. Penerapan pasal 1872 KUHPerdata dapat menjadi bentuk perlindungan hukum bagi korban. Penghentian sementara pemeriksaan perdata merupakan keadilan bagi korban dan bentuk tindakan preventif agar korban tidak mengalami kerugian yang lebih besar dan kehilangan hak perdatanya.

*)Reza Boentoro SH, MKn adalah Advokat pada Boentoro & Associates Law Office.

[1] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, cetakan kesembilan, halaman 583
[2]Pasal 1872 KUHPerdata selengkapnya berbunyi: “Jika suatu akta otentik yang berupa apa saja dipersangkakan palsu, maka pelaksanannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata”.
Tags: