Korupsi E-KTP Ditengarai Bermasalah Sejak Awal
Berita

Korupsi E-KTP Ditengarai Bermasalah Sejak Awal

Dari dokumen lelang sampai HPS harga satuan e-KTP diduga juga sudah digelembungkan.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Foto: CR-23
Foto: CR-23
Kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) yang diduga merugikan negara mencapai Rp2,3 triliun ini, mulai terlihat bermasalah sejak awal proses tender lelang barang dan jasa. Hal itu diutarakan Peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII), Jonni Oeyoen saat diskusi di Jakarta, Minggu (2/4).

“Dari dokumen lelang sampai HPS harga satuan e-KTP juga sudah digelembungkan,” kata Jonni. (Baca Juga: Polemik e-KTP Juga Berdampak Pada Hak Pilih Rakyat)

Menurutnya, dalam proses penganggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP telah mengarahkan untuk memenangkan perusahaan tertentu sebagai penyedia barang/jasa. Ditambah lagi, lanjut Jonni, dalam dakwaan dengan terdakwa dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, terungkap bahwa proyek ini memperkaya sejumlah korporasi pemenang tender.

Ia menjelaskan persoalan yang terjadi dalam kasus e-KTP. Biasanya, lanjut Jonni, titik krusial sesungguhnya ada pada saat penentuan HPS (Harga Perkiraan Sementara) dalam proyek, yang tidak memenuhi kaedah. Jika merujuk pada kasus e-KTP, dalam surat dakwaan disebutkan bahwa penyusunan HPS bukan dilakukan oleh panitia.

Bukan hanya itu, biasanya dalam tahapan penjelasan barang lelang, seluruh peminat diundang dan panitia memberikan penjelasan terhadap lingkup kerja yang akan dilelang. Sering kali penyampaian informasi tidak lengkap, kalau pun ada informasi itu hanya disampaikan kepada calon-calon peserta. Setelah itu, dilakukan evaluasi penawaran yang berpatokan pada kriteria yang suda ada pada dokumen dan tidak boleh lagi adanya penambahan. “Di kasus e-KTP ada penambahan kriteria,” katanya.

Selain itu, seharusnya panitia memberikan kesempatan kepada peserta atau konsorsium yang ikut proyek ini untuk melakukan sanggahan atas tahapan yang ada. Sanggahan tersebut berupa ketidakpuasan yang disampaikan peserta lelang lain terhadap proses lelang. Idealnya, dalam jangka waktu paling singkat dua minggu, panitia menjawab sanggahan pertama. Jika peserta tidak puas, maka bisa mengajukan sanggahan banding.

“Dalam kasus e-KTP, sepertinya sanggahan banding inilah menjadi pintu masuk terungkapnya kasus korupsi ini. Kalau dicermati lagi tanggal 20 Juni 2011 panitia mengusulkan calon pada pengguna anggaran, lalu dalam tempo satu hari 21 Juni 2011 Mendagri mengeluarkan surat penetapan pemenang. Ini luar biasa sekali,” bebernya. (Baca Juga: 'Tercium' Persekongkolan Proyek e-KTP di DPR, Siapa Andi Narogong?)

Padahal dalam prosedur itu harus menunggu apakah masih ada sanggah atau sanggah banding. LKPP menyampaikan bahwasannya harus ada waktu untuk menerima sanggahan banding. Dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebutkan perusahaan yang melakukan sanggah banding menyerahkan jaminan sanggah. Apabila sanggah banding terbukti, maka uang jaminan kembali, jika tidak terbukti, uang jaminan disita oleh negara.
Pasal 82 ayat (3) Perpres No. 54 Tahun 2010
Jaminan sanggahan banding ditetapkan sebesar dua perseribu dari nilai total HPS atau paling tinggi sebesar Rp50 juta.

“Seharusnya sanggah banding diajukan proses lelang harus dihentikan, itu amanat Perpres. Faktanya itu tidak terjadi, ketika proses tanggapan banding dilakukan tetapi kontrak sudah ditanda tangani. Idealnya, kontrak itu ditanda tangani setelah tidak ada lagi persoalan Ini yang menjadi dasar pengaduan oleh pihak korsosium melaporkan panitia kepada polisi,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Seknas Fitra Yenny Sucipto sepakat bahwa dalam tahapan pengadaan barang dan jasa proyek e-KTP sudah terlihat bahwa kasus ini sistematik by desain. Mulai dari proses perencanaan, pembahasan, hingga pelaksanannya. Pada tahun awal proyek sudah ada masalah dan telah ditemukan tapi kemudian dibiarkan. Begitu juga saat pendistribusian.

Berikut Tahapan Pengadaan Barang/Jasa dan Bentuk Potensi Penyimpangannya:
No.Tahapan PengadaanBentuk Potensi Penyimpangan
1. Perencanaan Pengadaan Pengadaan yang mengada-ada (proyek pesanan, tanpa evaluasi, kebutuhan dari proses pengangaran sebelumnya àberkaitan dengan pengangaran).
Penggelembungan anggaran (biaya, volume, bahan & kualitas àberkaitan dengan  penggangaran).
Jadwal Pengadaan yang tidak realistis (rekanan yang telah tahu lebih dahulu yang dapat siap mengikuti tender).
Pengadaan yang mengarah pada produk/spesifikasi tertentu (menutup peluang perusahaan/pengusaha lain, mengarah pada PL/rencana pengadaan diarahkan /rekayasa pemaketan untuk KKN.
2. Pembentukan Panitia Lelang 1. Problem Transparansi (panitia tidak dapat menjamin kesamaan dalam memperoleh informasi bagi semua peserta tender).
2. Panitia tidak berlaku adil; & profesional dalam semua tahapan pengadaan/panitia yang memihak/tidak independent.
3. Problem integritas (pernah terlibat kasus KKN, memiliki latar belakang yang mendorong kedekatan dengan rekanan).
3. Prakualifikasi Perusahaan 1. Proses prakualifikasi tidak dilakukan / hanya dilakukan satu kali untuk beberapa proyek pengadaan.
2. Meloloskan perusahaan yang tidak memenuhi syarat administrasi & tekhnis (kelas perusahaan, kecukupan modal & cakupan pekerja).
3. Meloloskan perusahaan memenuhi syarat tapi pernah memiliki cacat dalam kinerja pengerjaan proyek.
4. Meloloskan lebih dari satu perusahaan yang dimiliki oleh satu pengusaha (perusahaan banyak nama satu alamat dan pemilik).
5. Meloloskan rekanan yang menggunakan dokumen palsu/tidak mendapatkan legalisasi dari instansi terkait (panitia tidak melakukan pengecekan laporan).
4. Penyusunan Dokumen Lelang 1.  Rekayasa kriteria evaluasi.
2.  Dokumen lelang yang non standar.
3. Spesifikasi mengarah pada barang/jasa tertentu (lingkup pekerja & spesifikasi barang - diikuti oleh kriteria evaluasi  yang juga tidak rasional/menutup kemungkinan  bagi semua rekanan untuk memenuhinya, misalnya : rekomendasi dari distributor utama di luar negeri yang hanya mungkin diberikan pada satu perusahaan di dalam negeri).
4. Dokumen yang tidak lengkap dapat menyediakan peluang korupsi (lingkup pekerjaan, mutu, jumlah ukuran/volume, dll).
5. Pengumuman Pelelangan 1. Jangka waktu pengumuman yang terlalu singkat (dilihat dari waktu wajar yang diperlukan untuk memenuhi prasyarat lelang).
2. Diumumkan lewat media yang tidak terkenal (tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada).
3. Isi pengumuman lelang tidak lengkap
6. Pengambilan Dokumen Lelang Ada perbedaan informasi dokumen lelang yang diberikan kepada masing-masing peserta tender (hal ini pernah dilaporkan oleh salah satu peserta tender kotak    suara, KPU).
7. Penentuan HPS 1. Penggelembungan anggaran. HPS direkayasa baik jumlah unit pekerjaan ataupun volume, penawaran dari rekananpun didekatkan dengan harga yang sudah digelembungkan.
2. Memasukkan elemen pekerja yang proses pekerjaanya sudah selesai (dari sumber anggaran/proyek yang lain).
3. Harga dasar yang tidak standar (mengambil kualifikasi yang paling tinggi).
4. Keterlibatan calon pemenang dalam penentuan HPS.
8. Penjelasan Lelang 1. Pre bid meeting terbatas.
2. Rekanan tidak mendapatkan informasi yang lengkap & terbuka (informasi lengkap dilakukan di luar forum penjelasan). Mengakibatkan ketidaksetaraan informasi & dapat mempengaruhi penawaran.
9. Evaluasi Penawaran 1.  Evaluasi tertutup & tersembunyi
2.  Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi
3.  Tidak ada pengecekan lapangan (konfirmasi) untuk syarat teknis (akreditasi perusagaan) & administratif (kelengkapan prasyarat administratif) /criteria evaluasi cacat.
4.  Tidak ada konfirmasi syarat jaminan penawaran.
10. Pengumuman Calon Pemenang 1. Pengumuman sangat terbatas.
2. Tanggal pengumuman sengaja ditunda.
3. Pengumuman yang tidak informative.
11. Sanggahan Peserta Lelang 1. Tidak seluruh sanggahan ditanggapi.
2. Substansi sanggahan yang tidak ditanggapi.
3. Sanggahan performa untuk menghidari tuduhan tender diatur.
12. Penunjukan Pemenang Lelang:
1. Penundaan surat penunjukan (harus didapatkan dengan menyuap).
2.  Penunjukan dipercepat sebelum masa sanggah berakhir.
13. Penandatanganan Kontrak Penundaan kontrak (harus didapatkan dengan menyuap).
14. Penyediaan Barang/Jasa Kepada User 1. Kriteria penerimaan barang biasa.
2. Volume barang yang tidak sama dengan yang tertulis di dokumen lelang.
3.  Jaminan pasca jual palsu.
4.  Tidak sesuai spek & kualifikasi teknis.
5. Adanya contract change order di tengah pengerjaan. Memungkinkan terjadinya perubahan spek & kualifikasi pekerjaan
Sumber: TI Indonesia
Tags:

Berita Terkait