Inilah Putusan MA tentang Tatib DPD yang Diributkan
Berita

Inilah Putusan MA tentang Tatib DPD yang Diributkan

Majelis hakim agung mempertimbangkan aspek formal pembentukan Tatib DPD. Tak memenuhi kuorum.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Kompleks parlemen di Senayan, Jakarta. Foto: SGP
Kompleks parlemen di Senayan, Jakarta. Foto: SGP
Kisruh pemilihan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tak bisa dilepaskan dari dua putusan Mahkamah Agung, yaitu perkara No. 38 P/HUM/2016 dan putusan No. 20P/HUM/2017. Putusan itu membatalkan tata tertib DPD, yang tertuang dalam Peraturan DPD No. 1 Tahun 2016, dan Peraturan DPD No. 1 Tahun 2017. Apa sebenarnya isi putusan MA?

Dalam perkara No. 38P/HUM/2016, 10 orang anggota (Hj. Emma Yohana dkk) DPD yang merasa dirugikan haknya mengajukan permohonan uji materi (HUM) atas Tatib DPD karena merasa dirugikan. Sebagian dari pemohon perkara No. 38 juga adalah pemohon dalam perkara No. 20P/HUM/2017. Cuma dalam perkara terakhir hanya ada 6 pemohon.

Dalam kedua putusan itu Mahkamah Agung mengabulkan permohonan HUM para pemohon, dan menyatakan Tatib DPD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ada dua Undang-Undang yang dilanggar yakni UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Mahkamah Agung juga memerintahkan agar kedua peraturan itu dicabut. Nah, di sinilah sumber keributan karena Mahkamah salah mengetik, seharusnya tertulis Dewan Perwakilan Daerah, tetapi tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kesalahan itu disampaikan dalam rapat DPD yang berakhir ricuh dua hari lalu. Namun dalam salinan putusan yang dipublikasikan di laman resmi Mahkamah Agung dan diakses Rabu (05/4), penyebutan DPD benar. (Baca juga: Inilah Perpres tentang Organisasi Sekretariat Jenderal DPD).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim agung menyatakan pembentukan Peraturan DPD No. 1 Tahun 2016 ‘cacat prosedur’ karena Pasal 297 UU MD3 memberi syarat pengambilan keputusan di DPD harus memenuhi kuorum yaitu setengah (1/2) dari anggota DPD. Jika jumlah anggota DPD saat ini 131 orang, berarti rapat harus dihadiri minimal 66 orang anggota. Sesuai bukti yang dihadirkan pemohon (P-11) dan termohon (T-10), rapat pengambilan keputusan Tatib 2016 hanya dihadiri 63 orang. Artinya, rapat itu tak memenuhi kuorum. Ini bisa terbaca dalam pertimbangan majelis perkara No. 38P/HUM/2016.

“Bahwa dalam Sidang Paripurna Luar Biasa ke-3 tanggal 15 Januari 2016 telah mengambil keputusan dan menetapkan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib, dan berdasarkan risalah sementara Sidang Paripurna Luar Biasa ke-3 masa sidang III tahun sidang 2015-2016, ternyata voting dilakukan oleh 63 (enam puluh tiga) orang anggota DPD RI (Bukti P-11 = Bukti T-10), sehingga jumlah tersebut kurang dari kuorum yang ditentukan Pasal 297 ayat (1) dan (2) UU MD3”.

Majelis juga menegaskan tidak ada pelaksanaan prosedur lanjutan yang ditentukan Pasal 297 ayat (3) dan (4), yakni prosedur jika kuorum tidak terpenuhi. “Dengan demikian prosedur pembentukan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib cacat prosedur”. (Baca juga: Pengacara Ungkap 13 Kekeliruan Prosedur Penanganan Perkara Irman Gusman).

Dalam pertimbangan putusan No. 20P/HUM/2017, majelis menyatakan DPD satu rumpun dengan MPR dan DPR. Oleh karena itu, masa jabatan pimpinan DPD ditetapkan sama dengan masa jabatan pimpinan lembaga tinggi lainnya. Majelis juga mengingatkan bahwa pengabdian tertinggi anggota DPD seharusnya kepada bangsa dan negara, bukan pada kelompok tertentu.
Tags:

Berita Terkait