Kepastian Landasan Hukum Kontrak Bagi Hasil Gross Split
Kolom:

Kepastian Landasan Hukum Kontrak Bagi Hasil Gross Split

Idealnya implementasi peraturan kontrak bagi hasil Gross Split juga disertai dengan revisi terhadap peraturan-peraturan yang telah lebih dulu diundangkan khususnya peraturan pelaksana seperti PP No. 35 Tahun 2004.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis.
Foto: Koleksi Penulis.
Kontrak bagi hasil diciptakan dan pertama kali digunakan di Indonesia pada tahun 1967 yang melibatkan antara IIAPCO dengan P.N. Permina, yang akan menjadi cikal bakal Pertamina di kemudian hari. Kontrak bagi hasil tersebut menerapkan sistem pembagian hasil antara Pemerintah dengan investor, yang bertindak sebagai Kontraktor dari Pemerintah. Konsep pengusahaan yang ditawarkan pada kontrak bagi hasil adalah Kontraktor akan melakukan kegiatan eksplorasi dengan biayanya sendiri melalui persetujuan Pemerintah, dan akan mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan apabila Kontraktor berhasil mendapatkan hasil produksi yang ekonomis (Cost Recovery).

Penerapan kontrak bagi hasil merupakan sistem baru dalam praktik usaha hulu migas setelah sebelumnya hanya sistem royalti dan konsesi yang mewarnai sistem kontrak pengusahaan hulu migas di dunia. Terbukti dengan populernya sistem kontrak bagi hasil, seiring dengan perjalanannya diadopsi oleh banyak negara, terutama oleh negara berkembang yang memiliki keterbatasan yang sama seperti Indonesia, yaitu keterbatasan modal dan teknologi. Kontrak bagi hasil juga dinilai dapat mewakili semangat dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Tidak seperti dalam kontrak karya atau konsesi, dalam kontrak bagi hasil pengusahaan seluruhnya dari hasil produksi berada dalam kuasa Pemerintah.

Seiring dengan perkembangannya, berbagai masalah pun timbul dalam kaitannya dengan penggunaan kontrak bagi hasil. Masalah-masalah seperti rumitnya birokrasi dan transparansi mekanisme Cost Recovery, rendahnya investasi dalam kegiatan eksplorasi dan faktor alamiah seperti turunnya laju produksi pada sumur-sumur besar yang sudah mature di Indonesia menjadikan Pemerintah seperti dipaksa untuk mencari alternatif lain dari kontrak bagi hasil, yang diharapkan dapat memberikan angin segar kepada sektor industri hulu migas, dan kontrak bagi hasil Gross Split hadir sebagai solusi atas masalah-masalah tersebut.

Kontrak Bagi Hasil Gross Split
Kontrak bagi hasil Gross Split yang diperkenalkan Pemerintah Indonesia dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split (“PerMen ESDM 8/2017”) adalah perubahan mendasar pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia setelah selama puluhan tahun menggunakan mekanisme kontrak bagi hasil konvensional yang menggunakan mekanisme Cost Recovery.

Diundangkan pada tanggal 16 Januari 2017, PerMen 8/2017 merupakan dasar hukum bagi Pemerintah untuk menerapkan Kontrak Bagi Hasil Gross Split pada kontrak wilayah kerja Offshore Northwest Java yang dimiliki oleh anak perusahaan Pertamina, Pertamina Hulu Energi ONWJ, yang juga dijadikan pilot project oleh Pemerintah dalam penerapan sistem kontrak bagi hasil Gross Split di Indonesia.

Berbeda dengan kontrak bagi hasil konvensional, dimana pembagian besaran hasil produksi antara Pemerintah dan Kontraktor adalah tetap, pembagian hasil produksi dalam sistem kontrak bagi hasil Gross Split ditetapkan besaran bagi hasil awal (base split) yang kemudian dapat disesuaikan dengan komponen-komponen penambah bagi hasil (variable split & progressive split), sesuai dengan status dan tahapan produksi wilayah kerja, kondisi alamiah dari lapangan, harga minyak bumi dan jumlah produksi.

Hukumonline.com

Secara umum, perbandingan antara kontrak bagi hasil konvensional dan kontrak bagi hasil Gross Split dapat dijelaskan melalui skema di bawah ini:

Hukumonline.com 

Dari skema di atas dapat terlihat jelas bahwa mekanisme pembagian hasil produksi yang didapat oleh Pemerintah dan Kontraktor menjadi lebih mudah dan sederhana dalam proses penghitungannya. Pada kontrak bagi hasil Gross Split, biaya operasi yang timbul dari usaha hulu migas tersebut menjadi tanggungan Kontraktor sepenuhnya, tanpa adanya penggantian kembali oleh Pemerintah (tanpa ada Cost Recovery). First Tranche Petroleum yang sejatinya berguna agar pemerintah tetap mendapatkan hasil berapapun besarnya Cost Recovery juga dihilangkan, karena dengan mekanisme kontrak bagi hasil Gross Split, Pemerintah pasti akan mendapatkan hasil produksi.

Melalui kontrak bagi hasil Gross Split, Pemerintah berharap dapat menekan seminimal mungkin biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Kontraktor, memangkas birokrasi yang rumit dan juga memaksimalkan pendapatan Negara. Kemudian timbul satu tanda tanya besar, apakah mekanisme kontrak bagi hasil Gross Split sudah memiliki kepastian hukum yang cukup, sehingga dapat dapat mencapai peningkatan investasi dan produksi usaha hulu migas di Indonesia seperti yang diharapkan?

Kepastian Hukum Kontrak Bagi Hasil Gross Split
Penggunaan kontrak bagi hasil Gross Split dimungkinkan di dalam Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”), seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 19 “Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain ”.  Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodir bentuk kontrak lain yang dianggap dapat lebih menguntungkan negara. Akan tetapi, walaupun penggunaan kontrak bagi hasil Gross Split dimungkinkan untuk dilakukan sesuai dengan UU Migas, kontrak bagi hasil Gross Split masih memiliki potensi untuk menimbulkan kontradiksi terhadap peraturan yang ada peraturan perundangan dan juga peraturan-peraturan pelaksana dibawahnya.

Dalam Pasal 56 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“PP 35/2004”) disebutkan bahwa

“(1) Pengeluaran biaya investasi dan operasi dari Kontrak Bagi Hasil wajib mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana.
(2) Kontraktor mendapatkan kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) …”

Pasal tersebut di atas menjelaskan bahwa dalam melakukan kegiatan usaha hulu migas melalui mekanisme kontrak bagi hasil (terlepas dari pembagian hasilnya secara net atau gross), sepanjang didasarkan pada pembagian hasil produksi, Pemerintah akan mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor dalam kaitannya dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Dari pasal di atas, PP 35/2004 yang merupakan acuan dalam pengaturan kegiatan usaha hulu dirumuskan sedemikian rupa untuk menggunakan sistem Cost Recovery. Sepanjang ketentuan tersebut belum diubah, maka penerapan kontrak bagi hasil Gross Split (tanpa Cost Recovery) tidak mempunyai landasan hukum yang cukup kuat dan memiliki potensi timbulnya ketidakpastian hukum yang dapat menghambat semangat dari kontrak bagi hasil Gross Split itu sendiri.

Lalu sebagaimana diketahui dan diatur jelas di dalam Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa kedudukan Peraturan Pemerintah lebih tinggi secara hirarki dibandingkan dengan Peraturan Menteri. Oleh karena itu, Peraturan Menteri yang notabene berada dibawah Peraturan Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Permasalahan Perpajakan
Permasalahan berikutnya adalah belum adanya peraturan mengenai perpajakan yang dapat mengakomodir kontrak bagi hasil Gross Split. Kegiatan usaha hulu migas menggunakan ketentuan perpajakan yang tersendiri dan bersifat spesial, hal ini dikarenakan perhitungan pajak penghasilan tidak hanya mempertimbangkan besaran hasil produksi migas, namun juga mempertimbangkan hal lain, salah satunya adalah factor Cost Recovery. Diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pada Pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa:

“Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor dari equity share dan FTP share ditambah minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi ditambah minyak dan/atau gas bumi tambahan yang berasal dari pemberian insentif atau karena hal lain dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO minyak dan/atau gas bumi ditambah Imbalan DMO ditambah varian harga atas lifling”

Bisa kita lihat sesuai dengan ketentuan di atas bahwa salah satu aspek perhitungan pajak penghasilan adalah biaya operasi yang dikembalikan. Sedangkan apabila melihat kepada PerMen 8/2017 pada Pasal 13 disebutkan bahwa “Kontraktor wajib membayar pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perlakuan pajak penghasilan di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi”. Hal ini juga kemudian akan menimbulkan potensi adanya ketidakpastian hukum dalam penerapan kontrak bagi hasil Gross Split, dikarenakan ketentuan perpajakan tersebut diatas hanya sesuai untuk kontrak bagi hasil yang menggunakan Cost Recovery.

Selain itu pengaturan mengenai fasilitas bea masuk, PPN, PBB juga belum ada. Hal ini menambah ketidakpastian apakah kontraktor kontrak bagi hasil Gross Split dapat menikmati fasilitas perpajakan yang diberikan kepada kontraktor kontrak bagi hasil konvensional (Cost Recovery).

Sebagai penutup, idealnya implementasi peraturan kontrak bagi hasil Gross Split juga disertai dengan revisi terhadap peraturan-peraturan yang telah lebih dulu diundangkan khususnya peraturan pelaksana seperti PP 35/2004. Selain itu penambahan instrumen-instrumen hukum pendukung yang telah disesuaikan dengan mekanisme kontrak bagi hasil Gross Split seperti perpajakan, juga diperlukan lainnya agar dapat mengakomodir kontrak bagi hasil Gross Split, sehingga penerapan kontrak bagi hasil Gross Split dapat berlaku efektif dan optimal.

*) Adhi Eko Martantyo adalah Pengamat Hukum Migas
Catatan Redaksi: Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: