Kerancuan Pengaturan tentang Gratifikasi yang Dianggap Suap Oleh: Ketut Darpawan
Ceritanya Orang Hukum

Kerancuan Pengaturan tentang Gratifikasi yang Dianggap Suap Oleh: Ketut Darpawan

Dalam keadaan regulasi seperti ini, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin gratifikasi yang dianggap suap, lalu kemudian ketentuan pidananya tidak berlaku setelah dilaporkan oleh penerima dengan ketentuan tidak melewati jangka waktu 30 hari?

Oleh:
Hukumpedia
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS
Ada beberapa masalah yang masih mengganjal terkait materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTK). Salah satunya adalah tentang ketentuan pidana gratifikasi yang dianggap sebagai suap. 

Pasal 12B (1) UUPTK berbunyi “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Sementara Pasal 12B ayat (2) berbunyi: “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Selanjutnya pasal 12 C berbunyi sebagai berikut :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Definisi tentang gratifikasi ditemukan dalam penjelasan UUPTPK yakni sebagai berikut: Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Dalam keadaan regulasi seperti ini, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin gratifikasi yang dianggap suap, lalu kemudian ketentuan pidananya tidak berlaku setelah dilaporkan oleh penerima dengan ketentuan tidak melewati jangka waktu 30 hari? Bukankah dalam konteks hukum pidana, ini sama saja dengan ingin mengatakan “kalau sudah mengembalikan gratifikasi yang dianggap suap tersebut, berarti pengembalian gratifikasi itu menghapuskan pidananya.”

Pada prinsipnya, pengembalian kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara sebagaimana diatur dalam pasal 4 UUPTPK tidak menghapuskan pidana. Memang ketentuan ini terkait dengan ketentuan pidana dalam pasal 2 dan 3. Tetapi perlu dipertanyakan, apakah dengan membuat ketentuan gratifikasi yang dianggap suap ini, pembuat undang-undang menganggap suap yang diterima bukan termasuk kerugian keuangan negara? Jika iya, lalu bagaimana dengan perbuatan dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajiban sebagai unsur pokok dalam suap yang akibatnya bisa merugikan kepentingan ekonomi masyarakat luas? Bukankah itu juga kerugian perekonomian negara? Dan bagaimana pula dengan persepsi yang dibangun selama ini bahwa pengembalian hasil tindak pidana korupsi, tidak bisa menghapuskan pidananya?

Kita bisa membayangkan, jika gratifikasi yang dianggap suap sudah diterima, bisa jadi sudah ada perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya yang dilakukan si penerima dan berpotensi merugikan negara. Tapi, ketentuan pidananya tidak berlaku karena gratifikasi yang dianggap suap itu segera dikembalikan oleh penerima dalam rentang waktu 30 hari. Katakanlah si penerima ini dalam rentang waktu 30 hari itu mengendus ada kemungkinan akan diperiksa oleh KPK. Dengan demikian, si penerima ini bebas dari tuntutan pidana. Kita juga bisa membayangkan dari sisi pemberi gratifikasi yang dianggap suap, ia tetap bisa diadili menggunakan ketentuan pasal 5 ayat (1) huruf b UUPTPK. Keadaan ini menjadi ganjil, mengingat di saat yang sama penerima suap bisa bebas melenggang.

Jika gratifikasi yang dianggap suap yang telah diterima bukan termasuk kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 UUPTPK, mengapa dalam ketentuan pidana pasal 5 dan 12 UUPTPK yang merupakan induknya ketentuan pidana soal suap, tidak ada mekanisme penghapusan pidana seperti halnya ketentuan gratifikasi ini?. Pengaturan seperti ini tentu tidak logis.

Berdasarkan argumentasi yang telah diuraikan di atas, maka menurut penulis, agar tidak terjadi kerancuan, maka ketentuan UUPTPK harus diubah dan ditegaskan bahwa pengembalian gratifikasi yang dianggap suap tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan pidananya, juga tidak bisa dianggap sebagai alasan pemaaf.

Keterkaitan Gratifikasi Dengan Menerima Hadiah Yang Berhubungan Dengan Jabatan
Membahas gratifikasi, tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan pasal 11 UUPTPK yang berbunyi “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.

Istilah hadiah dalam pasal 11 ini kemudian mendapat perluasan dalam pasal 12B yang kemudian disebut sebagai gratifikasi, selanjutnya dipadukan dengan unsur tindak pidana suap dengan menambahkan mekanisme pembuktian terbalik berdasarkan nilai gratifikasinya.

Muncul pertanyaan lagi, mengapa ketentuan pasal 11 tersebut di atas tidak memiliki ketentuan penghapusan pidananya, padahal tingkat pencelaannya lebih ringan dibandingkan menerima gratifikasi yang dianggap suap dalam pasal 12 B?

Alasan penulis berpendapat tingkat pencelaan menerima hadiah yang berkaitan dengan jabatan ini lebih rendah dari pada suap adalah, pertama ; karena akibat yang ditimbulkan tidak seberat suap. Kedua ; pada korupsi yang berbentuk menerima suap, pada diri si penerima, telah ada tindakan atau komitmen untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya. Sedangkan dalam tindak pidana menerima hadiah sebagaimana diatur pasal 11, tidak ada unsur bahwa yang menerima melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

Istilah yang sering kita dengar terkait dengan tindak pidana memberi dan menerima hadiah yang ada hubungannya dengan jabatan ini adalah “ucapan terima kasih.” Jadi si penerima melaksanakan kewajibannya seperti biasa, dan si pemberi karena merasa senang dengan hasil kerja si penerima, ia memberikan hadiah sebagai bentuk ucapan terima kasih.

Dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sisi ancaman pidananya, sudah jelas bagaimana pembentuk undang-undang membedakan tingkat pencelaan antara tindak pidana yang diatur dalam pasal 11 dengan pasal 12B. Pasal 11 ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), sedangkan pasal 12B, ancaman pidananya adalah penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Terlepas dari argumentasi yang telah diuraikan di atas, yang bisa jadi memang menjadi tidak terlalu penting lagi dibahas karena terbentur prinsip bahwa secara umum pengembalian hasil korupsi tidak menghapuskan pidana, kita harus konsisten pada prinsip itu. Dengan demikian, untuk tindak pidana gratifikasi yang dianggap suap seharusnya tidak boleh ada ketentuan yang menjadi alasan penghapus pidana.

Gratifikasi Legal dan Gratifikasi Ilegal
Istilah gratifikasi legal dan gratifikasi ilegal ini sebenarnya sudah lama diperkenalkan oleh KPK dalam Buku Saku Gratifikasi yang diterbitkan tahun 2010. Selain itu, pada tahun 2013, KPK juga pernah mengeluarkan Surat Himbauan Nomor B.143/01-13/01/2013 yang ditujukan kepada berbagai pihak, antara lain Para Ketua/ Pimpinan Lembaga Negara, Kepala Daerah, Sektor Swasta, Pimpinan Perguruan Tinggi, Pers, yang isinya salah satunya mengenai jenis gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan yakni :

a. Yang diperoleh dari hadiah langsung/ undian, diskon, voucer, point rewards, atau souvenir yang berlaku secara umum dan tidak terkait dengan kedinasan.
b. Diperoleh karena prestasi akademis atau non akademis (kejuaraan/perlombaan/kompetisi) dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan.
c. Diperoleh dari keuntungan/bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku secara umum dan tidak terkait dengan kedinasan.
d. Diperoleh dari kompensasi atas profesi di luar kedinasan, yang tidak terkait dengan tupoksi dari pegawai negeri atau penyelenggara negara, tidak melanggar konflik kepentingan dan kode etik pegawai dan dengan izin tertulis dari atasan langsung.
e. Diperoleh dari hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus dua derajat atau dalam garis keturunan ke samping satu derajat, sepanjang tidak mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi.
f. Diperoleh dari hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat atau dalam garis keturunan ke samping satu derajat sepanjang tidak mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi.
g. Diperoleh dari pihak yang mempunyai hubungan keluarga sebagaimana huru 6 terkait dengan hadiah perkawinan, khitanan anak, ulang tahun, kegiatan keagamaan/adat/tradisi dan bukan dari pihak-pihak yang mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi.
h. Diperoleh dari pihak lain terkait dengan musibah atau bencana dan bukan dari pihak-pihak yang mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi.
i. Diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain yang sejenis yang berlaku secara umum berupa seminar kits, sertifikat, plakat/ cinderamata.
j. Diperoleh dari acara resmi kedinasan dalam bentuk hidangan/sajian/jamuan berupa makanan dan minuman yang berlaku umum.

Diperkenalkan pula dalam himbauan tersebut istilah gratifikasi kedinasan, yakni hadiah/ fasilitas resmi dari penyelenggara kegiatan yang diberikan kepada wakil-wakil resmi suatu instansi dalam suatu kegiatan tertentu, sebagai penghargaan atas keikutsertaan atau kontribusinya dalam kegiatan tersebut, seperti honorarium pembicara dan penerimaan biaya perjalanan dinas oleh pihak penyelenggara kegiatan.

Memang ada celah melakukan praktik suap dengan cara pemberian gratifikasi berupa kompensasi atas profesi di luar kedinasan yang tidak terkait dengan tupoksinya. Misalnya saja seorang hakim diundang sebagai pembicara dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh pihak yang pernah berperkara atau mewakili pihak tersebut di Pengadilan tempat hakim ini bertugas, atau pihak ini hanya perantara saja dari pihak lain yang pernah berperkara. Hakim ini diundang diundang sebagai pembicara dengan honor yang jumlahnya sangat besar. Padahal seminarnya biasa saja, dalam  artian topiknya tidak terlalu menarik dan pesertanya bukan dari kalangan yang memiliki kewenangan mengambil kebijakan atau berpengaruh kepada pengambilan kebijakan. Tujuan sesungguhnya dari penyelenggara adalah agar bisa leluasa memberikan ucapan terimakasih atas putusan yang telah dijatuhkan oleh Hakim tersebut, atau melaksanakan kesepakatan pemberian suap setelah Hakim tersebut memenuhi apa yang diminta.

Untuk menutup celah ini, harus ada mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan untuk mengontrol aktivitas para Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Penyelenggara Negara dalam melaksanakan kegiatan seperti ini.  

Saran
UUPTPK harus segera direvisi. Menurut penulis, lebih baik istilah gratifikasi dibedakan ke dalam dua kategori, yakni gratifikasi ilegal dan gratifikasi legal. Tidak ada lagi istilah gratifikasi yang dianggap suap. Karena ketentuan pidana tentang penyuapan sudah ada secara khusus.

Untuk mengatur gratifikasi ilegal, maka istilah gratifikasi digunakan sebagai pengganti istilah hadiah dalam pasal 11. Sehingga menjadi jelas bahwa gratifikasi dalam kategori ini adalah gratifikasi ilegal karena berhubungan dengan kekuasaan atau kewenangan dalam jabatannya si penerima, yang diancam pidana dan tidak ada alasan untuk menghapuskan pidana.

Sedangkan untuk kategori kedua yakni gratifikasi legal yaitu gratifikasi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekuasaan atau kewenangan dalam jabatan penerima, dan setelah ditinjau dari berbagai sisi, antara lain misalnya karakteristiknya, motif pemberian, hubungan antara pemberi dan penerima, nilainya, waktu pemberian, situasi pemberian, dan lain sebagainya ternyata tidak memunculkan suatu persangkaan bahwa ada konflik kepentingan antara pemberi dan penerima atau adanya dugaan penyelundupan hukum, diatur dalam pasal khusus tanpa sanksi pidana. Namun tetap ada aturan pelaporannya seperti diatur dalam pasal 12 C ayat (2), (3) dan (4). Bagi yang tidak taat melaporkan, maka sanksinya cukup diatur dalam kode etik profesi masing-masing.

Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi kerancuan pengaturan Gratifikasi dalam UUPTPK.
Gagasan ini sebelumnya telah diterbitkan di hukumpedia.com- sebuah kanal warga untuk bertukar gagasan, pendapat, ide, dan sumbang saran mengenai pembangunan hukum di Indonesia. Gagasan atau pendapat yang dimuat di Hukumpedia.com bukanlah pendapat ataupun saran dari HukumOnline, namun merupakan gagasan ataupun pendapat pribadi dari para Sahabat Hukumpedia.

Tertarik agar gagasan atau pendapat anda dapat tampil di HukumOnline? Jangan lupa untuk terus berhukumpedia. Daftar di sini.
Tags: