MA Akui Temui Anggota DPD Sebelum Pelantikan
Kisruh DPD:

MA Akui Temui Anggota DPD Sebelum Pelantikan

Sikap MA mengangkat sumpah pimpinan DPD yang baru dinilai inkonsisten dengan putusan yang dikeluarkannya.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI terpilih Oesma Sapta Odang (tengah) bersama Wakil Ketua DPD RI terpilih Nono Sampono dan Darmayanti Lubis seusai penetapan pimpinan baru DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI terpilih Oesma Sapta Odang (tengah) bersama Wakil Ketua DPD RI terpilih Nono Sampono dan Darmayanti Lubis seusai penetapan pimpinan baru DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).
Setelah dikritik sejumlah kalangan, Mahkamah Agung (MA) memberi klarifikasi terkait kisruh pengangkatan sumpah pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2017-2019 yang dinilai bertentangan putusan uji materi No. 20P/HUM/2017 tertanggal 29 Maret 2017. MA mengakui sebelum pelantikan pimpinan DPD yakni Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD, Nono Sampono dan Damyanti Lubis sebagai wakil ketua DPD telah melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPD.

“Tak lama setelah diputus uji materi Peraturan Tata Tertib DPD No. 1 Tahun 2017 terkait pemotongan masa jabatan pimpinan DPD (2,5 tahun), MA menerima kedatangan anggota DPD sebelum pelantikan DPD periode 2017-2019,” kata Juru Bicara MA Suhadi saat konperensi pers di Gedung MA Jakarta, Kamis (6/4/2017). Baca Juga: Lantik Pimpinan DPD 2017-2019, Sikap MA Dinilai Mengecewakan

Suhadi mengatakan pertemuan dengan sejumlah anggota DPD tersebut dilakukan secara tertutup yang diterima oleh Wakil Ketua MA Suwardi. Anggota DPD yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Gede Pasek Suardika dan Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto. Gede Pasek merupakan Waketum DPP Hanura. Dia dipilih sebagai Waketum oleh Oesman Sapta Odang, yang merupakan Ketum Hanura.

“Keduanya menghadap Suwardi di ruang kerja Suwardi pada Selasa (4/4). Beberapa jam setelahnya, Suwardi datang ke DPD mengambil sumpah pimpinan DPD baru yang dketuai Oesma Sapta,” kata Suhadi menjelaskan.  

Namun, MA membantah pertemuan itu melanggar kode etik atau masuk dalam ranah politik praktis. “Pertemuan itu dilakukan Sekjen DPD bukan dalam kapasitas perkara judicial review, tetapi atas nama lembaga mengajukan undangan permohonan kepada MA untuk mengangkat sumpah pimpinan DPD yang baru,” kata dia.

Menurutnya, DPD telah melaksanakan isi putusan uji materi No. 20P/HUM/2017 dan Peraturan Tata Tertib No. 3 Tahun 2017 yang mencabut Peraturan Tata Tertib DPD No. 1 Tahun 2017 sesuai bunyi amar putusan MA tersebut. “Ketua MA menerima undangan dari DPD untuk melakukan tuntunan sumpah bukan pelantikan. Aturan sumpah yang dilakukan MA sudah ada di aturan Tata Tertib DPD,” dalihnya.

Terkait salah ketik frasa “DPD” menjadi “DPRD” dalam putusan MA yang mencabut Peraturan Tata Tertib No. 1 Tahun 2017, bagi MA prinsipnya setiap kekeliruan dalam putusan itu seharusnya ada proses pembetulan baik dari sisi substansi maupun redaksional. “Kalau pembetulan substansi perkara bisa menempuh upaya hukum jelas itu salah. Tetapi, kalau persoalan salah ketik dalam praktik peradilan itu melalui cara renvoi,” lanjutnya.

“Renvoi itu melakukan pembetulan oleh Majelis yang bersangkutan dengan mencoret kata ‘Rakyat’, bisa disebut coret sah. Ini pembetulan dari salah ketik, kenapa demikian? Jika dibuat lagi yang baru atau diubah secara utuh maka timbul dua putusan yang asli.”  

Sementara Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) memberi sejumlah catatan dan masukan atas kasus ini. Pertama, MaPPI mengingatkan agar MA tidak melibatkan diri dalam intrik politik di tubuh DPD atau intrik politik lain yang sarat kepentingan dan berpotensi menodai integritas dan kredibilitas MA.

Kedua, menuntut MA menjaga konsistensi putusan-putusan yang dihasilkannya, melalui pandangan dan sikap tindak lembaga. Ketiga, menuntut agar MA lebih berhati-hati dalam membuat putusan, guna menghindari kesalahan formil dan misinterpretasi. Keempat, meminta KY memeriksa adanya potensi konflik kepentingan dalam perkara ini guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta peerilaku Hakim.

“Bagaimanapun putusan sudah mengikat begitu dibacakan, bukan saat setelah MA memberikan penjelasan/klarifikasi. Respon MA yang kemudian justru menyumpah Oesman Sapta Odang melalui kehadiran Hakim Agung Suwardi menimbulkan pertanyaan karena secara langsung berarti MA menyetujui pengangkatan ketua DPD RI yang baru,” ujar Koordinator MaPPI FHUI Choky Ramadhan dalam keterangan tertulisnya.

Sikap ini menunjukkan inkonsistensi MA. Satu sisi, MA dalam putusannya menyebutkan “tidak sepatutnya apabila jabatan pimpinan DPD tersebut dipergilirkan yang dapat menimbukkan kesan berbagi kekuasaan”. Namun, MA melalui Wakil Ketua MA Suwardi justru bersedia untuk menyumpah Pimpinan DPD terpilih hasil dari mekanime penggiliran (2,5 tahun) yang sudah dibatalkan oleh MA sendiri.   

“Peristiwa ini menjadi pelajaran agar MA lebih berhati-hati. Ini sebagai upaya menjaga kualitas putusan MA sekaligus untuk mengembalikan kepercayaan publik sebagaimana dicita-citakan MA.” Baca Juga: MA Seharusnya Tidak Pisahkan Fungsi Memutus dan Melantik

Belum ada laporan
Terpisah, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi mengatakan sementara ini belum ada laporan kepada KY tentang adanya pertemuan MA dengan DPD. Jika memang ada pertemuan, KY akan mencari infomasi lebih lanjut tentang adanya pertemuan MA dengan DPD ini. “Sebenarnya level apapun hakim tidak dibenarkan bertemu dengan para pihak yang memiliki perkara yang ditangani. Pertemuan seperti itu dapat disebut melanggar kode etik,” ujar Farid di Jakarta.

Menurutnya, kalau pertemuan dilakukan sebelum pelantikan DPD tidak ada persoalan. Namun, jika mempengaruhi isi putusan dan semacam ada konsultasi hukum itu jelas ada pelanggaran. “Jadi, saat ini kita belum dapat memberikan penilaian ada atau tidak pelanggaran kode etik karena peristiwa itu momentum, apa, siapa dan isu apa sebenarnya dibicarakan.”

Ditanya soal salah ketik, kata dia, ada banyak modus pelanggaran yang bisa dibahasakan “salah ketik”. Dalam istilah doktrin hukum acara, kesalahan pengetikan ini disebut clerical error. “Tentu saja salah ketik disini adalah bentuk temuan yang tetap menjadi tanggung jawab hakim dan letaknya ada di dalam putusan,” lanjutnya.

Dalam catatan KY salah ketik seringkali terbagi menjadi 2 bagian besar, yakni salah ketik yang tidak memiliki dampak signifikan, biasanya terjadi pada kepala putusan. Dan salah ketik dengan dampak signifikan dominan terjadi pada pertimbangan hakim dan amar putusan. Praktik di KY terhadap keduanya akan diukur sejauh mana tanggung jawab dan seberapa besar kontribusi kesalahan hakim pada "salah ketik" dimaksud.

Bagi KY, salah ketik tidak bisa dianggap sebagai kesalahan sepele. Sebab, seringkali berujung pada nasib para pencari keadilan. “Sejauh ini, terhadap dua klasifikasi bentuk kesalahan tadi tetap dijatuhi sanksi dari mulai sanksi ringan yang tidak memiliki dampak dan sedang sampai dengan berat untuk yang memiliki dampak signifikan."
Tags:

Berita Terkait