MA Lebih Bijak Jika Menunggu Keadaan
Kisruh DPD:

MA Lebih Bijak Jika Menunggu Keadaan

Ada kemungkinan langkah hukum menggugat pelantikan Ketua DPD baru.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Diskusi mengenai DPD dan putusan MA di Jakarta, Kamis (06/4) kemarin. Foto: MYS
Diskusi mengenai DPD dan putusan MA di Jakarta, Kamis (06/4) kemarin. Foto: MYS
Sebagai lembaga negara yang berisi orang-orang yang paham hukum dan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman Mahkamah Agung seharusnya lebih bijak mengambil sikap dalam kisruh DPD. Mahkamah Agung bisa menunggu dan melihat keadaan secara cermat, sambil mengkaji lebih mendalam aspek-aspek hukum pelantikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru. Bukankah Mahkamah Agung sendiri yang menyatakan Tatib DPD tidak sah dalam dua putusan?

Pandangan tentang pentingnya Mahkamah Agung (MA) lebih bijak bersikap terungkap dalam diskusi Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hkum Administrasi negara (APTHN-HAN) Jakarta Raya, Kamis (06/4) sore kemarin. “MA seharusnya lebih bijak menunggu keadaan,” ujar pengajar Hukum Tata Negara Universitas Pelita Harapan, Dwi Putra Nugraha.

Menunggu keadaan itu termasuk pula menunggu Ketua Mahkamah Agung HM Hatta Ali pulang dari luar negeri. Pelantikan Oesman Sapta sebagai Ketua DPD baru hasil Tatib No. 3 Tahun 2017 dihadiri oleh Wakil Ketua MA, Suwardi. Kehadiran Suwardi selaku Pelaksana Harian (Plh) Ketua Mahkamah Agung menuai kecaman dari banyak kalangan karena beberapa waktu sebelumnya majelis hakim agung menyatakan dua Tatib DPD tidak sah. Majelis bersikap masa jabatan Ketua DPD adalah lima tahun, sebagaimana lembaga yang satu rumpun dengannya (DPR dan MPR).

Mahkamah Agung memisahkan fungsi memutus perkara dan fungsi menghadiri pelantikan Ketua DPD yang baru. Sikap MA ini dikecam pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum JENTERA, Bivitri Susanti. “Alasan MA tak bisa dijustifikasi. Fungsi memutus dan melantik itu tak bisa dipisahkan,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (06/4). (Baca juga: MA Seharusnya Tidak Pisahkan Fungsi Memutus dan Melantik).

Bibib—demikian ia biasa disapa—juga mempertanyakan mandat yang diberikan kepada Suwardi untuk menghadiri pelantikan dan pengambilan sumpah Oesman Sapta. Pertama, berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang hadir memandu sumpah seharusnya Ketua Mahkamah Agung. Pasal 260 ayat (6) UU MD3 menegaskan sebelum memanggu jabatannya pimpinan DPD mengucapkan sumpah/janji yang dipandu Ketua Mahkamah Agung.

Kedua, jika Ketua MA berhalangan perlu dipastikan apakah seorang Wakil Ketua MA sebagai Plh bisa mengambil keputusan penting apalagi berkaitan dengan jabatan tinggi seperti Ketua DPD; dan apakah kehadiran Wakil Ketua MA sudah dibahas bersama pimpinan MA lainnya. Pasal 34 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memungkinkan pengangkatan pejabat pelaksana harian (Plh) atau pelaksana tugas (Plt). (Baca juga: Bahasa Hukum: ‘Pelaksana Tugas’, ‘Pelaksana Harian’ dan ‘Penjabat’).

Pasal 34 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan memang memberikan kewenangan bagi Plh melakukan kegiatan sesuai kewenangan yang dimiliki pejabat definitive. Tetapi bukan tidak ada batasan. Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian memperjelas maksud dalam UU Administrasi Pemerintahan.

Salah satu klausula dalam surat itu menyebutkan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran”.

Ketiga, MA perlu mengungkapkan ke publik mengenai pertemuan tertutup wakil DPD dengan petinggi MA beberapa saat sebelum pelantikan Oesman Sapta. APHTN-HAN meminta Komisi Yudisial bergerak menelusuri perilaku Wakil Ketua MA.

Juru Bicara MA Suhadi membenarkan ada pertemuan tertutup itu. “Yang menerima Wakil Ketua MA Suwardi,” tegas Suhadi. Namun ia berdalih kedatangan Sekjen DPD Sudarsono H dan anggota DPD Gede Pasek Suardika tak terkait perkara hak uji materiil yang diajukan sejumlah anggota DPD dan sudah diputus MA. (Baca juga: MA Akui Temui Anggota DPD Sebelum Pelantikan).

Para pengajar HTN-HAN sedang mempertimbangkan langkah hukum terhadap tindakan pengambilan sumpah dan pelantikan Ketua DPD baru karena bertentangan dengan putusan MA. Tetapi hingga kemarin belum ada kepastian langkah hukum seperti apa yang akan diambil, apakah gugatan ke PTUN atau tindakan lain.
Tags:

Berita Terkait