Ex Post Facto Law dalam Kisruh Putusan MA tentang Tatib DPD
Kisruh DPD:

Ex Post Facto Law dalam Kisruh Putusan MA tentang Tatib DPD

Di Indonesia, ex post facto law diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI terpilih Oesma Sapta Odang (tengah) bersama Wakil Ketua DPD RI terpilih Nono Sampono dan Darmayanti Lubis seusai penetapan pimpinan baru DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI terpilih Oesma Sapta Odang (tengah) bersama Wakil Ketua DPD RI terpilih Nono Sampono dan Darmayanti Lubis seusai penetapan pimpinan baru DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).
Kehadiran Wakil Ketua Mahkamah Agung untuk memandu sumpah Ketua DPD periode 2017-2019 telah memantik perdebatan. Sejumlah akademisi hukum mengkritik langkah Mahkamah Agung karena pelaku kekuasaan kehakiman ini pula yang menyatakan dua tata tertib (Tatib) DPD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di kalangan internal, perlawanan itu juga masih memantik perlawanan. Wakil Ketua DPD GKR Hemas menyebut pelantikan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD adalah inkonstitusional. (Baca juga: MA Seharusnya Tidak Pisahkan Fungsi Memutus dan Melantik).

Di tengah perdebatan itu, ada dua bagian dari pertimbangan putusan Mahkamah Agung mengenai Tatib DPD yang tak banyak disinggung orang dalam perdebatan tersebut. Pertama, mengenai apa yang lazim disebut dalam hukum sebagai ex post facto law;dan kedua aspek kenegarawanan. (Baca juga: Kisruh DPD: MA Lebih Bijak Menunggu Keadaan).

Dalam kamus Black Law Dictionary (2004: 620), ex post facto law diartikan sebagai  ‘a law that impermissibly applies retroactively esp in a way  that negatively affects a person’s rights, as by criminalizing an action that  was legal when it was committed’. Ex post facto law dalam keseharian sering disebut hukum yang berlaku surut.

Larangan ini umumnya berlaku di ranah pidana, dan sebagian negara memuatnya dalam konstitusi. Di Indonesia, Pasal 28I ayat (1) tegas menyebutkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut  adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang menyebutkan tiada suatu perbuatan yang boleh dipidana melainkan atas dasar kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang telah dibentuk lebih dahulu daripada perbuatan itu (geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).

Dalam putusan Mahkamah Agung No. 20P/HUM/2017, putusan yang membatalkan Tatib DPD No. 1 Tahun 2017, majelis hakim agung menyinggu masalah ini dalam pertimbangan. Mulai berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangan. Lampiran II Huruf C5 No. 155 Ketentuan Peralihan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan larangan asas non-retroaktif. Asas ini juga sejalan dengan konstitusi. Atas dasar itu, Pasal 47 ayat (2) Tatib DPD No. 1 Tahun 2017 yang mengatur pemberlakuan surut bertentengan dengan UU No. 12 Tahun 2011.

Selain itu, majelis hakim agung juga ‘menyentil’ para anggota DPD yang mengutamakan kepentingan individu atau golongan. “Pada hakikatnya pengabdian seorang negarawan, termasuk anggota DPD, pada tingkat tertinggi adalah kepada bangsa dan negara,” demikian antara lain pertimbangan majelis hakim agung dipimpin Supandi itu.

“Menjadi pimpinan lembaga bukanlah untuk mewakili kelompok tertentu, melainkan untuk institusi DPD itu sendiri, sehingga tidak sepatutnya apabila jabatan pimpinan DPD tersebut dipergilirkan, yang dapat menimbulkan kesan berbagi kekuasaan,” lanjut majelis dalam pertimbangan putusan tertanggal 29 Maret 2017.
Tags:

Berita Terkait