Ketentuan Area Pengelolaan Hutan Diubah, Pekerja Industri Kehutanan Resah
Berita

Ketentuan Area Pengelolaan Hutan Diubah, Pekerja Industri Kehutanan Resah

Dengan adanya pegurangan area pengolahan perusahaan akibat dialihkan menjadi hutan lindung ekosistem gambut, akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja oleh perusahaan yang selama ini telah mempekerjakan mereka.

Oleh:
DAN/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan regulasi yang mengatur mengenai pembangunan hutan tanaman industri. Adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.

Setelah penetapannya, Permen ini ternyata menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian stake holder terkait, khususnya para pekerja pada dunia industri kehutanan. Ketentuan mengenai perubahan fungsi areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung ekosistem gambut dipandang dapat menimbulkan potensi hilangnya sebagian area garapan pekerja industri kehutanan.

Kekhawatiran ini sebagaimana yang ditunjukan oleh sejumlah pekerja industri kehutanan daerah, khususnya Perawang, Provinsi Riau. Mereka mengungkapkan keresahannya karena isu tentang penerapan aturan baru dalam Permen baru tersebut. (Baca Juga: Revisi PP, Pemerintah Perketat Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut)

Karyawan PT Arara Abadi, Alfian (48) di Perawang, Jumat, dalam keterangan tertulisnya sebagaimana yang dikutip dari Antara, mengaku resah karena peraturan itu dikhawatirkan akan berdampak pada mata pencarian mereka.

Menurut Alfian, dengan adanya pegurangan area pengolahan perusahaan akibat dialihkan menjadi hutan lindung ekosistem gambut, akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja oleh perusahaan yang selama ini telah mempekerjakan mereka.  

"Kami terus terang resah karena jika hal itu diberlakukan dikhwatirkan akan ada pengurangan area pengelolaan perusahaan dan itu otomatis, kita akan dikurangi juga," kata Alfian yang sudah bekerja sejak 1992 ini. (Baca Juga: 5 Putusan Pengadilan Terkait Kebakaran Lahan)

Hal senada diungkapkan Syarif Hidayat (46), karyawan dari bagian konservasi perusahaan yang sama, mengatakan isu tersebut sudah mulai jadi perbincangan di kalangan pekerja. Syarif mengatkan, mengingat besarnya dampak Permen ini terhadap masa depan pekerjaan karyawan, isu pengurangan tenaga kerja di perusahaannya telah menjadi pembicaraan di level pekerja.

"Biasanya peraturan itu kan yang pertama diketahui hanya di bagian tertentu, nah karena ini isu sensitif, sebagian sudah pada tahu," kata Syarif.

Sebagai pekerja Syarif mengaku ikut galau karena mereka rata-rata sudah belasan sampai puluhan tahun kerja. "Mau cari kerja lain, sudah pada tua," tambahnya.

Endri Tanjung (45), Praktisi Water Manajemen, pada unit usaha Ratu Pratama Makmur, berpendapat, dampak dari regulasi baru tersebut akan dirasakan banyak orang, tidak hanya karyawan perusahaan. "Kita masih bersinggungan dengan masyarakat lokal yang ada di sekeliling. Mereka itu bergantung kehidupannya pada usaha ini juga," ujar Endri. (Baca Juga: Pemerintah Disarankan Ajukan Gugatan Strict Liability Atas Kebakaran Lahan)

Endri mencontohkan, ada usaha yang dilakukan dengan pola kemitraan, misalnya masyarakat ada yang mengambil usaha kebersihan. Kalau beberapa unit usaha tidak lagi berjalan, otomatis usaha itu akan terhenti juga. “Hingga saat ini, belum ada pembicaraan formal antara karyawan dan perusahaan mengenai hal tersebut.”

Alfian yang juga menjabat sebagai sekretaris II, Serikat Pekerja Mitra Abadi Riau mengatakan, "Kita akan adakan pertemuan dan diskusi-diskusi dulu di internal serikat pekerja, untuk menyikapi persoalan ini. Nanti apa yang bisa kita lakukan, minimal menyampaikan aspirasi kita," ujar Alfian.

Sementara Endri berharap, regulasi tersebut bisa dikaji lagi.

Permen LHK No. P.17 Tahun 2017, pada Pasal 8E menyebutkan, Perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8D huruf a, yang telah terdapat tanaman pokok pada IUPHHK-HTI, pemanfaatannya diatur sebagai berikut: a. tanaman yang sudah ada dapat dipanen 1 (satu) daur dan tidak dapat ditanami kembali; b. wajib dilakukan pemulihan; dan c. dialokasikan sebagai Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI.

Ketentuan pasal inilah yang ditakutkan menimbulkan dampak pengurangan tenaga kerja akibat pengurangan area garapan. Selanjutnya, pada pasal 8G berbunyi, pemegang IUPHHK-HTI yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 persen, ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung, dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap) yang diatur dengan peraturan menteri.

Tags:

Berita Terkait