Meski dalam Posisi Dilematis, Langkah MA Sesuai Kewenangan
Kisruh DPD:

Meski dalam Posisi Dilematis, Langkah MA Sesuai Kewenangan

Memandu sumpah Ketua DPD bukan dalam menjalankan fungsi peradilan.

Oleh:
NEE
Bacaan 2 Menit
Oesman Sapta Odang terpilih menjadi Ketua DPD RI menggantikan Mohammad Saleh yang kini meletakkan jabatan. Oesman berhasil terpilih secara aklamasi.
Oesman Sapta Odang terpilih menjadi Ketua DPD RI menggantikan Mohammad Saleh yang kini meletakkan jabatan. Oesman berhasil terpilih secara aklamasi.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) secara resmi melaporkan Wakil Ketua MA ke Komisi Yudisial. Pelapor menduga Suwardi, Wakil Ketua MA dimaksud, melanggar kode etik karena menghadiri dan memandu sumpah Ketua DPD Oesman Sapta Odang periode 2017-2019. Padahal proses pemilihan Ketua DPD bernuanda kontroversi karena Mahkamah Agung sendiri telah membatalkan dua Tatib Dewan Perwakilan Daerah.

Sejumlah akademisi hukum tata negara sudah mengkritisi langkah Mahkamah Agung menghadiri pelantikan dan memandu pengambilan sumpah pimpinan DPD yang baru. Dalam kisruh pemilihan Ketua DPD itu, Mahkamah Agung memang dalam posisi dilematis. Di satu sisi MA lewat putusan No. 38P/HUM/2016 dan putusan No. 20P/HUM/2017 membatalkan Tatib yang menjadi dasar pemilihan Ketua DPD. Di sisi lain, ada permintaan agar MA segera melantik Ketua DPD terpilih. (Baca juga: Ex Post Facto Law dalam Kisruh Putusan MA tentang Tatib DPD).

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil, justru berbeda dengan sejumlah akademisi lain. Fitra Arsil berpendapat sikap dan langkah MA yang memandu pengucapan sumpah Ketua DPD sudah sesuai dengan tugas dan kewenangannya berdasarkan amanat Undang-Undang. Mengacu pada UU No. 14 Tahun 1985 juncto UU  No. 5 Tahun 2004 juncto UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), dan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

Menurut Fitra, perlu dibedakan fungsi Mahkamah Agung dalam hal yudisial dengan fungsi administratif memandu pengucapan sumpah/janji para wakil rakyat di parlemen. “Kita harus bijak, ini yang dilakukan MA bukan dalam fungsi peradilannya,” kata Fitra kepada hukumonline Kamis (06/4) lalu. Namun ia memahami ahkamah Agung berada dalam posisi yang sulit. (Baca juga: MA Seharusnya Tidak Pisahkan Fungsi Memutus dan Melantik).

Jika mengacu pada Pasal 39 UU MA, Mahkamah Agung bertugas memandu sumpah/janji sejumlah anggota atau pimpinan lembaga negara. Dalam bab pengaturan mengenai kekuasaan Mahkamah Agung, Pasal 39 UU MA disebutkan, Di samping tugas dan kewenangan tersebut dalam Bab ini Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

Dalam kaitan dengan pengambilan sumpah/janji pimpinan DPD, Pasal 260 ayat (6) UU MD3 menegaskan Ketua Mahkamah Agung berperan memandu pengucapan sumpah/janji pimpinan DPD. Fitra berpendapat MA tak punya kewenangan menilai keabsahan hasil pemilihan pimpinan DPD. “Dalam hal ini ketika ada surat (pengajuan) untuk melantik dari lembaga yang berwenang, MA melakukan fungsi ini sebagai kegiatan administratifnya,” jelas Fitra.

Ia juga berpendapat meskipun MA telah membatalkan Peraturan DPD yang dijadikan pedoman pemilihan pimpinan DPD terpilih ini, ada peristiwa hukum yang harus dibedakan. Ketua MA tidak berwenang menolak untuk memandu pelantikan jika dari lembaga negara yang terkait telah menyuratinya secara resmi.

Perlu juga dipahami dalam hal ini pelantikan yang dimaksud adalah peresmian pengangkatan pimpinan DPD. Ketua Mahkamah Agung memandu pengucapan sumpah/janji pimpinan DPD tidak dalam kapasitas lembaga yang membawahi DPD, namun sebatas pejabat negara yang diberikan kewenangan dalam seremoni tersebut. “Dalam melantik itu bukan fungsi peradilan, dalam hal ini dia tidak menilai lagi(hasil pemilihannya),” lanjutnya.

Fitra berpendapat permasalahan pemilihan pimpinan DPD menjadi urusan internal DPD. MA sendiri telah menjalankan tugasnya menilai Peraturan DPD yang diuji formil dan materiil ke Mahkamah Agung. Saat diputus tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, urusan selanjutnya ada di internal DPD. Persoalan keabsahan dari hasil pemilihan harus diselesaikan dengan prosedur lain.

Meskipun banyak pihak yang protes, Fitra justru mengkhawatirkan dampak jika MA menolak untuk memandu pelantikan yang menjadi tugasnya maka seolah ada kewenangan baru untuk ikut menentukan siapa pejabat negara yang berhak atau tidak untuk diangkat. Akan tampak pula seolah Mahkamah Agung membuat penilaian hukum di luar forum peradilan. “Kalau Ketua MA bisa menolak, ini berbahaya. Jadi, mengadili, menilai MA, jangan kebablasan, bahwa posisi MA nggak mudah,” ujarnya.

Meskipun demikian, Fitra mengakui sikap DPD yang tetap melakukan pemilihan pimpinan DPD berdasarkan ketentuan tata tertib yang telah dibatalkan legalitasnya oleh Mahkamah Agung adalah sebuah masalah.  DPD tidak menghormati putusan Mahkamah Agung sebagai produk hukum yang telah disepakati bersama dalam bingkai Negara Hukum.

“Putusan itu mengikat, kita bisa kritik putusan, tapi begitu ada putusan yang mengikat harus kita jalankan. Karena kita bicara soal negara hukum, orang terikat dengan norma-norma yang kita sepakati bersama. Jadi pemilihan itu sendiri adalah pemilihan yang bermasalah,” jelas Fitra pada hukumonline.
Tags:

Berita Terkait