Setnov Berstatus Cegah, DPR Terbitkan Nota Protes ke Presiden
Berita

Setnov Berstatus Cegah, DPR Terbitkan Nota Protes ke Presiden

Presiden diminta tak merespon permintaan DPR.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto bersama mantan Anggota DPR lainnya bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/4).
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto bersama mantan Anggota DPR lainnya bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/4).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan status cegah terhadap Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) terkait dengan penanganan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Meski status Setnov masih sebagai saksi, namun status cegah dipandang mengganggu kapasitasnya sebagai pejabat tinggi negara. Itu sebabnya DPR bakal menerbitkan nota protes ke Presiden Joko Widodo.

Kolega Setnov di DPR yakni Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah keras membela Ketua DPR. Menurut Fahri, hak cekal tidak berada di penyidik, namun di Ditjen Imigrasi. Karena itulah Fahri mengkritisi kinerja Dirjen Imigrasi. Makanya, DPR, kata Fahri, menerbitkan nota protes berupa surat ke Presiden Joko Widodo.

“Kita minta presiden sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan ini surat dari DPR. Ini bukan surat pribadi, tapi ini surat lembaga,” ujarnya di Komplek Gedung DPR,  Rabu (12/4/2017).

Menurutnya terbitnya surat nota protes bermula adanya surat dari Partai Golkar. Isinya berupa nota keberatan atas tindakan Ditjen Imigrasi Kemenkumham atas pencekalan yang dialamatkan ke Ketua DPR Setnov. DPR pun menindaklanjuti surat tersebut dengan menggelar rapat pimpinan. Dari sepuluh fraksi, hanya Demokrat yang tidak hadir. Sisanya, bersepakat meneruskan dengan menerbitkan nota protes DPR ke presiden.

Merujuk UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, kata Fahri, mengharuskan pejabat keimigrasian melakukan tindakan pencegahan dengan prosedur dan ketelitian. Nah, menurut Fahri, dinilai banyak ditemukan kesalahan. Antara lain belum masuknya tindakan proses projustisia terhadap Setnov. Selain itu, kata Fahri, posisi Ketua DPR sebagai diplomat.

“Karena itu, apa yang dilakukan oleh Direktorat Imigrasi itu tidak saja salah secara prosedural, tapi juga salah secara etika karena Pak Novanto tidak pernah mempersulit proses penyelidikan yang dilakukan oleh penegak hukum selama ini,” ujarnya.

Bila merujuk Pasal 91 ayat (2) UU Keimigrasian sudah gamblang menjelaskan prosedur pencegahan dilakukan Menteri terkait atas permintaan institusi penegak hukum. yakni Kepolisian, KPK, BNN, Kejaksaan Agung dan permintaan kementerian atau lembaga terkait berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selengkapnya, Pasal 91 ayat (2) UU Keimigrasian menyebutkan Menteri melaksanakan Pencegahan berdasarkan: d. perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, terhadap orang yang dikenakan status cegah masih dapat mengajukan keberatan ke pejabat yang menerbitkan keputusan pencegahan. Hal itu diatur Pasal 96 uu Keimigrasian. Dengan kata lain, masih dimungkinkan pembatalan status cegah yang disematkan terhadap seseorang sepanjang keberatan tersebut dikabulkan. Namun begitu pengajuan keberatan tidak menunda pelaksanaan pencegahan.
Pasal 96 ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang dikenai Pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan Pencegahan." Ayat (2)-nya,"Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis disertai dengan alasan dan disampaikan dalam jangka waktu berlakunya masa Pencegahan. (3) Pengajuan keberatan tidak menunda pelaksanaan Pencegahan."

Terpisah, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai aneh sikap DPR yang memprotes status cegah terhadap Setnov oleh KPK. Menurutnya, sikap protes itu, justru menunjukan wajah lembaga parlemen yang tidak ramah dengan penegakan hukum yang dilakukan KPK. “Mereka reaktif untuk cegah Setya Novanto, dan saat bersamaan bisu terhadap kekerasan yang dialami oleh salah seorang penyidik KPK, Novel Baswedan,” ujarnya.

Sekedar diketahui, Fahri Hamzah memang kolega Setnov dalam kapasitasnya sebagai pimpinan DPR yang membela Setnov. Bahkan dalam kasus ‘papa minta saham’ Fahri bersuara lantang membela Setnov dengan pernyataannya. Terlepas hal itu, kata Lucius, alasan jabatan Setnov dalam kapasitasnya sebagai pimpinan dibutuhkan DPR nampaknya tidak relevan. “Toh, prinsip semua orang sama di hadapan hukum mestinya tidak mengenal apa jabatan seseorang,” ujarnya.

Tak bergantung pada ketua
Lebih lanjut Lucius berpandangan tidak semestinya DPR sebagai lembaga bergantung pada seorang ketua. Sebab, pimpinan DPR terdapat lima orang yang masing-masing membidangi  hal tertentu. Karena itu, sepanjang masih terdapat empat orang pimpinan DPR, posisi jabatan ketua dapat diwakilkan dalam menjalankan roda parlemen “Jadi tak benar jika cegah Novanto mengganggu kinerja DPR sebagai lembaga,” ujarnya.

Sebaliknya, kasus dugaan korupsi yang menjerat sejumlah anggota dewan justru mengganggu kinerja DPR. Semestinya DPR memaknai upaya KPK melakukan penegakan hukum termasuk melakukan status cegah Setnov bepergian ke luar negeri sebagai upaya mendorong kinerja lembaga legislatif agar semakin bersih dari korupsi. Karena itu, DPR mestinya mendukung upaya KPK, bukan sebaliknya melemahkan.

Lucius berpendapat langkah protes DPR mencegah Setnov bepergian ke luar negeri menunjukan semangat DPR tidak sepenuh hati mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Selain itu, protes itu, menunjukan DPR tak berdaya di hadapan KPK. “Kenyataan, karena kasus korupsi mereka terlalu lemah di depan KPK membuat DPR perlu menyuarakan protes terhadap KPK melalui presiden. Presiden tak perlu merespons protes DPR, apalagi merasa terganggu,” pintanya.
Tags:

Berita Terkait