Selangkah Menuju Era Keterbukaan Pajak, Bagaimana Nasib Industri Perbankan?
Utama

Selangkah Menuju Era Keterbukaan Pajak, Bagaimana Nasib Industri Perbankan?

Draf Perppu tinggal diteken Presiden Joko Widodo. Dari sisi Industri perbankan dan OJK, menilai era Automatic Exchange of Information (AEoI) ini tak berpengaruh buat bisnis perbankan.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA/ANT
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad. Foto: SGP
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad. Foto: SGP
Draf Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Keterbukaan Informasi Secara Otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) untuk keperluan perpajakan sudah berada di meja Presiden Joko Widodo. Setelah diteken presiden maka Indonesia siap memasuki era yang baru dalam keterbukaan informasi.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad, mengatakan bahwa Kementerian Keuangan memegang peranan besar dalam menyusun perppu tersebut. Maka dari itu, sebagai pimpinan regulator industri jasa keuangan, dia berharap perppu tersebut juga sudah memerhatikan dampak terhadap penghimpunan DPK perbankan.

"Nanti kita liat di perppu bagaimana isinya tapi kan mestinya tidak sampai mengganggu, kalau mengganggu kan jadi kontraproduktif," kata Muliaman di Jakarta, Selasa (11/4).

Penerbitan Perppu tersebutmenjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk langsung mengakses data informasi nasabah yang berasal dari bank, pasar modal perasuransian, atau lembaga jasa keuangan (LJK) lainnya. Untuk nasabah bank asing, OJK awal pekan ini sudah menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 16/SE.OJK03/2017 Tahun 2017 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Dalam Rangka Pertukaran Informasi Secara Otomatis Antarnegara Dengan Menggunakan Standar Pelaporan Bersama (Common Reporting Standard).

Presiden Direktur PT. Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja, mengaku tidak begitu menganggap masalah terbitnya Perppu yang akan mewajibkan bank membuka data rekening nasabah untuk kepentingan perpajakan tersebut. Apalagi era AEOI ini sudah disepakati secara global dan bukan hanya Indonesia yang akan menetapkan keterbukaan data untuk kepentingan pajak tetapi juga ratusan negara-negara lainnya yang menyepakati AEOI.

"Ya semua perlakuan sama di negara manapun. Lagipula sudah amnesti pajak, seharusnya semua data sudah dilaporkan di amnesti pajak kan," ujar dia.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Junaidi Auly mengatakan pemerintah perlu membangun dengan serius payung hukum terkait AEoI ini. Menurutnya, pemerintah harus juga memperhatikan aspek-aspek lain terkait keterbukaan tetapi tetap dalam koridor-koridor hukum dan jangan sampai aturan tersebut malah membuat kebingungan terkait "grand design" Perppu terkait keterbukaan data keuangan untuk keperluan perpajakan.

"Tapi perlu diingat, serius itu bukan payung ini cepat selesai, tapi juga aturan ini harus sesuai dengan ketentuan AEoI dan tentu saja benar-benar diimplementasikan," kata Junaidi secara tertulis, Rabu (12/4).

Untuk diketahui, pada pertengahan Maret 2017 kemarin DJP bersama OJK telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understading/MoU) terkait peluncuran sistem izin pembukaan rahasia nasabah penyimpan untuk tujuan perpajakan. Sistem ini terdiri dari dua aplikasi, yaitu Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (AKASIA) bagi internal Kemenkeu dan Aplikasi Buka Rahasia Bank (AKRAB) bagi internal OJK. Melalui AKRAB dan AKASIA yang saling terhubung dalam satu sistem, waktu pemrosesan perintah pembukaan rahasia bank dipersingkat secara signifikan dari semula kira-kira enam bulan menjadi dua minggu.

(Baca Juga: Penyidik Pajak Akan Dapat Izin Akses Data Nasabah Perbankan dalam 14 Hari)
Ruang lingkup Nota Kesepahaman OJK - Kemenkeu

1.    Harmonisasi peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan dan perpajakan, termasuk status perpajakan Otoritas Jasa Keuangan;
2.    Tukar menukar data dan informasi dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan DJ P dan OJK;
3.    Penyediaan Akses bagi OJK dan Lembaga Jasa Keuangan di bawah pengawasan OJK dalam rangka Konflrmasi Status Kepatuhan Wajib Pajak (KSKWP);
4.    Koordinasi pelaksanaan tugas di bidang pengawasan, penegakan hukum dan perlindungan konsumen di Sektor Jasa Keuangan dan perpajakan;
5.    Penerapan Pembukaan Rahasia Nasabah Bank dalam rangka Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan dan Penagihan di bidang Perpajakan melalui aplikasi elektronik;
6.    Penugasan dan pelatihan pegawai di lingkungan DJP untuk mendukung pelaksanaan tugas OJK; dan
7.    Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan/sosialisasi terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang DJP dan OJK dan sebaliknya.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, dalam kesempatan yang sama, meminta agar nasabah di sektor jasa keuangan tidak salah mengartikan bahwa data yang dijamin kerahasiaannya oleh perbankan akan disalahgunakan oleh personel DJP. Ani, sapaan akrab Sri, memastikan bahwa DJP akan tetap menjaga prinsip kerahasiaan nasabah itu dalam arti otoritas pajak hanya akan menggunakan akses terhadap informasi simpanan itu untuk tujuan dan kepentingan negara.

“Integritas DJP dituntut untuk menjaga itu,” kata Ani, sapaan Sri Mulyani.

Ani menambahkan,  penandatangan nota kesepahaman antara Kemenkeu dengan OJK diharapkan menjadi awal yang baik bagi DJP untuk mendapatkan kepercayaan dari publik terutama nasabah penyimpan di perbankan. Kata Ani, DJP sadar betul bahwa prinsip kerahasiaan nasabah dijamin melalui UU Perbankan dan bahkan prinsip tersebt juga diatur dalam dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

(Baca Juga: Kata OJK Soal Rencana Penghapusan Prinsip Kerahasiaan Perbankan)

Namun, DJP dalam hal penegakan hukum juga dituntut untuk menyampaikan bukti yang akurat mengenai harta wajib pajak. Dengan MoU ini, paling tidak DJP dapat memiliki bukti yang akurat dari simpanan yang terdapat dalam akun perbankan sehingga tugas DJP dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan penagihan pajak dapat lebih akurat setidaknya terkait besaran tunggakan pajak si wajib pajak tersebut.

“MoU ini jadi salah satu bukti untuk perbaiki legitimasi DJP,” sebut Ani.

Sementara itu, terkait dengan pemangkasan waktu penerbitan surat izin pembukaan data nasabah, Ani mengapresiasi upaya dan langkah OJK untuk terus mendukung Kemenkeu terutama DJP. Sebab, pengalaman Ani, Kemenkeu baru mendapatkan surat perintah izin pembukaan tersebut hingga 239 hari atau hampir setahun lamanya. Dengan aplikasi AKASIA-AKRAB yang hanya butuh waktu 14 hari, Ani cukup puas hanya saja ia berharap dapat lebih dipersingkat atau malah bisa otomatis tanpa perlu izin Ketua DK OJK.

Weekend kemarin saja, saya menandatangani 80 permintaan. Jadi sangat tergantung dari pak Ken (Dirjen Pajak) dalam melakukan intensitas, termasuk attachment, namanya, nomor akun banknya dan petugas dari pajak yang menerima informasi itu. hal itu sangat mudah untuk dimasukan dalam aplikasi sehingga tidak harus menulis dan mencetak,” kata Ani.

Ani menceritakan, selama ini proses permintaan itu dimulai dari permohonan yang diajukan Kantor Pajak Pratama (KPP) kepada Kantor Pusat DJP (KPDJP). Kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan RI melalui Sekretariat Jenderal Kemenkeu. Dari situ, baru disampaikan kepada OJK. Kata Ani, surat tersebut harus melewati kurang lebih 20 pejabat yang harus melakukan tandatangan sampai akhirnya surat perintah pembukaan rahasia bank itu bisa diterbitkan oleh OJK.

“14 hari itu kelamaan, idealnya sudah otomatis. Dalam hal ini Dirjen Pajak melihat adanya pengumpulan data bukti permulaan, bahkan sebelum penyelidikan dan penyidikan, mereka langsung investigasi bahkan sebelum orangnya tersebut tahu bahwa dia akan merupakan subjek investigasi,” harap Ani.

Harapan Ani itu bukannya tanpa alasan. Ia menyebutkan, kalau ada jeda waktu yang sangat lama untuk mendapat izin pembukaan data nasabah, ada potensi wajib pajak mengalihkan hartanya melalui skema atau wadah lainnya di luar perbankan. Apalagi, tekonolgi transfer dana bisa dilakukan dengan sangat mudah misalnya melalui transfer elektronik. Sekedar tahu, Indonesia pada September tahun 2018 mendatang akan ikut dalam era keterbukaan informasi secara otomatis atau disebut AEoI.

(Baca Juga: Kebut Revisi UU Demi Mengejar Implementasi Automatic Exchange of Information)

Saat era AEoI berlangsung, otoritas pajak tanpa perlu mendapat izin membuka akses simpanan nasabah perbankan dapat secara otomatis mengecek itu tentunya untuk kepentingna perpajakan semata. Ani menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir dan takut karena DJP tidak akan mencari-cari kesalahan wajib pajak sepanjang wajib pajak tersebut patuh terhadap ketentuan pajak di Indonesia. saat ini, pemerintah mulai menyiapkan sejumlah instrumen agar Indonesia dapat diikutkan dalam AEoI. Asal tahu, ada semacam ‘seleksi’ bagi negara-negara calon peserta untuk dapat melakukan pertukaran data pajak antar negara peserta secara resiprokal.

“Ini adalah soal compliant, kalau anda comply, harusnya anda tidak merasa apa-apa. Waktu saya di Amerika, saya terima gaji, setiap tahun saya terima surat bahwa saya sebagai orang Indonesia dan pegawai bank dunia tidak subjek pajaknya. Tapi saat mereka lihat di akun ada nilai yang cukup besar, jadi mereka langsung mengirim otomatis kenapa saya punya akun seperti itu. Itu tanpa saya tahu, tanpa saya memberikan konsen bahwa akun saya akan diakses,” tutup Ani.

Hutang Regulasi Demi Ikut AEoI
Direktur Perpajakan Internasional DJP Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan perlu ada tambahan regulasi agar Indonesia dianggap layak mengikuti era keterbukaan informasi. Sebagai salah anggota dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose, Indonesia diwajibkan memenuhi regulasi domestik paling lambat 30 Juni 2017.

“Kita perlu ada tambahan aturan untuk lebih menguatkan semua itu,” kata John kepada Hukumonline di awa Maret kemarin.

John menambahkan, jika tak memenuhi persyaratan hingga akhir Juni 2017, Indonesia harus menerima konsekuensi ditetapkan sebagai negara dengan status fail to meet its commitment. DJP sendiri saat ini fokus menyelesaikan sejumlah regulasi yang dinilai menghambat implementasi keterbukaan informasi yang berkaitan dengan upaya pembukaan data nasabah untuk kepentingan pajak.

Misalnya, revisi UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU KUP). Salah satu substansi dalam UU KUP dinilai menghambat otoritas pajak karena hanya memiliki akses informasi perbankan yang terbatas.

“DJP diberikan power penuh untuk mengakses data atau informasi keuangan milik nasabah. Ini standar internasional, bukan untuk DJP saja. Katakan, (misalnya) Singapura juga begitu, ini dalam rangka menjalankan AEoI. Indonesia ini harus memenuhi standar minimum, kalau tidak, kami tidak diikutkan (dalam AEoI),” jelas John.

Pasal 35 UU KUP mengatur otoritas dimungkinkan untuk dapat mengakses data perbankan selama ada permintaan dari Menteri Keuangan sepanjang wajib pajak (WP) sedang dalam pemeriksaan, penyidikan atau penagihan. Artinya, jika wajib pajak tidak dalam pemeriksaan, penyidikan, atau penagihan, otoritas pajak tidak dapat mengakses data perbankan WP.

Sebetulnya, DJP telah menerbitkan regulasi untuk mengatasi hambatan itu, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.010/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PMK No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi. Pasal 3A Angka 7 aturan tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis, nasabah secara sukarela memberikan persetujuan/ pernyataan/ surat kuasa/ instruksi tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk memberikan informasi kepada DJP melalui otoritas terkait.

“Jadi kita sekarang sedang fokus mem-follow up penyelesaian UU KUP. Sekarang sudah sampai di DPR. Ini akan kita jadikan lex specialis, nanti itu akan mengatur mengenai pelaksanaan keterbukaan informasi,” tambah John.

Tak hanya UU KUP, John menilai ada peraturan lain yang dinilai menghambat implementasi AEoI terkait aspek kerahasiaan perbankan, antara lain UU No. 10 Tahun 1998  tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, lalu UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan UU No. 21 Tahun 2008  tentang Perbankan Syariah. Misalnya, Pasal 44A UU Perbankan mengatur akses terhadap data perbankan dapat dilakukan selama ada permintaan tertulis dari Menkeu dengan mencantumkan nama pejabat pajak, nama dan nomor rekening nasabah, maupun alasan permintaan.

OJK pada 4 Desember 2015 menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Melalui aturan ini, LJK wajib menyampaikan laporan kepada otoritas pajak berupa informasi nasabah asing terkait perpajakan untuk diteruskan kepada otoritas negara mitra atau yurisdiksi mitra.

“Dari pihak perbankan sudah mengatakan, pada waktu dia (nasabah) isi formulir baik di bank, asuransi, pasar modal, atau perusahaan jasa keuangan lainnya. Mereka (nasabah) membuat pernyataan bahwa data mereka siap untuk di pertukarkan atau dibuka untuk tujuan misalnya yang diminta pemerintah,” kata John.

Dikatakan John, selain melakukan revisi atas empat undang-undang diatas, ada opsi dari pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai payung hukum. Sejauh ini, Perppunya masih dibahas. Fokusnya mengatur penerapan AEoI terkait nasabah khusus Warga Negara Asing (WNA). Lantas apakah era AEoI ini tidak berlaku buat Warga Negara Indonesia (WNI)?

John menjelaskan, AEoI memang hanya untuk nasabah asing. Sementara, untuk keterbukaan informasi nasabah domestik, akan dibuat regulasi tersendiri yakni mengenai BEPS (Base Erosion and Profit Shifting). Aturan itu masih dalam tahap perancangan regulasi. Mengenai waktu terbitnya, John belum bisa menceritakan. Namun yang pasti, aturan itu disebut-sebut akan terbit dalam waktu yang tidak begitu lama lagi.

“Jadi jangan kita membuat celah sehingga kita tidak diikutkan. Semua masyarakat harus mendukung. Kita perlu ini (AEoI), supaya program-program pemerintah seperti Nawacita, Infrastruktur, bisa dibiayai oleh rakyatknya sendiri. karena kapasitas pajak kita besar sekali apalagi dengan adanya keterbukaan, semuanya menjadi kelihatan,” tutup John.
Tags:

Berita Terkait