LBH Jakarta: Ahok Korban Penggunaan Pasal Anti Demokrasi
Berita

LBH Jakarta: Ahok Korban Penggunaan Pasal Anti Demokrasi

LBH Jakarta menyampaikan lima Rekomendasi kepada Majelis Hakim dalam perkara Ahok.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Majelis hakim yang menyidangkan perkara Ahok. Foto: RES
Majelis hakim yang menyidangkan perkara Ahok. Foto: RES
LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta mengajukan diri sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) dalam kasus tuduhan penodaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama. Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa menyatakan bahwa Ahok dalam hal ini telah menjadi korban dari penggunaan pasal anti demokrasi. Sebab, negara dalam hal ini DPR dan Pemerintah masih belum mentaati rekomendasi putusan MK terkait UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a KUHP.

"Majelis Hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama," papar Alghif dalam keterangan tertulisnya yang diterima hukumonline, Sabtu (15/4/2017).

Bagi LBJ Jakarta, pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (27/09/16) dianggap sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Al-Quran) untuk menipu pubilk dalam kegiatan politik.

"Pernyataan Ahok tersebut pun tidak memenuhi itikad buruk (evil mind/mens rea) yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP. Pernyataan Ahok ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin Pasal 28E UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia," kata Alghif.  

Menurutnya, penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok tersebutlah yang sesungguhnya menimbulkan keresahan di masyarakat. Ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok. Padahal, pihak ketiga ini sendiri tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut.

“Sehingga memunculkan gerakkan massa 411, 212 dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama,” sebutnya. Baca Juga: Tuntuan Belum Selesai Diketik, Sidang Ahok Ditunda

Selain itu, tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal penodaan agama merupakan tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakkan hukum (supremacy of law). Perilaku sesat berdemokrasi dan pelecehan hukum seperti ini sepanjang sejarah selalu terjadi dalam penggunaan pasal penodaan agama sejak lahirnya kebijakan tersebut.

"Hari ini kita masih berada di titik yang sama dimana lembaga peradilan seolah tunduk pada tekanan massa. Mulai dari penguasa sampai masyarakat awam tak lepas dari jerat pasal ini. Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama jelas justru meruntuhkan tatanan penegakkan hukum, demokrasi dan kebhinekaan di Indonesia, serta wujud nyata dari peradilan sesat," ujarnya.

Yuanita,  Kadiv Advokasi LBH Jakarta menambahkan sangat menyayangkan keberadaan kebijakan ini. Namun sampai dengan saat ini pemerintah dan DPR sama sekali tidak bergeming untuk menyelesaikannya. 

“LBH Jakarta sangat menyayangkan keberadaan dan penggunaan kebijakan anti demokrasi dan inkonstitusional di iklim demokrasi Indonesia hari ini terlebih di proses Pilkada kota DKI Jakarta,” ujar Yunita. Baca Juga: Menanti Arah Tuntutan Ahok dari Pertanyaan Jaksa

Lima rekomendasi
Berdasarkan Amicus Curiae ini, LBH Jakarta menyampaikan lima Rekomendasi kepada Majelis Hakim dalam perkara Ahok sebagai berikut: Pertama, agar Majelis Hakim dalam perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM dalam memutus perkara ini terutama berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi.

Kedua, agar Majelis Hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil. Karenanya, unsur mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan Jaksa dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi. Ketiga, agar Majelis dapat menerapkan hukum kontekstual dan sejalan dengan produk peradilan sebelumnya, seperti Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan sebelum menerapkan Pasal 156a KUHP.

Keempat, menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005. Kelima, Majelis menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya unsur “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

"LBH Jakarta juga menyampaikan masukannya kepada Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan anti demokrasi dalam hal ini PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP, karena jelas niscaya pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Indonesia," ujar Yuanita. 
Tags:

Berita Terkait