Catatan Asosiasi Pengajar Tata Negara Terkait Kisruh DPD
Utama

Catatan Asosiasi Pengajar Tata Negara Terkait Kisruh DPD

MA diminta membatalkan penuntunan sumpah yang dilakukan Wakil Ketua MA dan pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang bersengketa seharusnya menempuh jalur hukum.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Akademisi dan pengamat hukum tata negara mengeluarkan pernyataan terkait kisruh DPD di Jakarta, (17/4).  Foto: MYS
Akademisi dan pengamat hukum tata negara mengeluarkan pernyataan terkait kisruh DPD di Jakarta, (17/4). Foto: MYS
Kisruh perebutan posisi pimpinan DPD adalah masalah ketatanegaraan yang perlu ditemukan solusinya. Keberadaan dua kubu Pimpinan DPD tentu akan menyandera kinerja lembaga perwakilan kedaerahan. Bahkan, bukan tidak mungkin menyebabkan tidak bekerja fungsi DPD. Persoalan keributan dalam sidang paripurna tanggal 11 April lalu memberikan gambaran buruk terhadap masa depan lembaga DPD sebagai hasil reformasi konstitusi ini.

Menyikapi persoalan ini, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menyampaikan sikap pandangannya. Pertama, meminta Mahkamah Agung (MA) membatalkan penuntunan sumpah yang dilakukan oleh Wakil Ketua MA Suwardi. Kedua, meminta pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang bersengketa harus menempuh jalur hukum.

Pjs Direktur Asosiasi Pengajar APHTN-HAN Feri Amsari menjelaskan sikap ini didasari 6 permasalahan yang perlu dicermati. Pertama, mendominasinya partai politik di kelembagaan DPD. Setidaknya, ada 70 anggota dan pengurus partai yang merangkap sebagai anggota DPD RI (lebih dari 50 persen).

“Sebagai ahli hukum tata negara dan politik mayoritas anggota dan pengurus partai politik di DPD telah merusak bangunan bikameral yang diatur UUD 1945,” ujar Feri Amsari saat menyampaikan pernyataan sikap APHTN-HAN dan PUSaKO di Bakoel Coffee Jakarta, Senin (17/4/2017). (Baca juga: Ex Post Facto Law dalam Kisruh Putusan MA tentang Tatib DPD

Kedua, terpilihnya ketua umum Partai Hanura sebagai ketua DPD menunjukan korelasi kenapa partai mendominasi DPD dengan dipilihnya pimpinan partai sebagai komando lembaga yang menampung aspirasi daerah. Apalagi proses pemilihan pimpinan DPD memperlihatkan kekhasan perebutan kekuasaan di tubuh partai, yaitu penuh intrik dan manuver politik yang tidak sehat. “Keributan itu justru menyebabkan publik mengindetikkan DPD dengan DPR,” kata Feri juga pengurus PUSaKO ini.

Ketiga, Adanya dugaan bahwa proses pemilihan Ketua DPD dilakukan dengan cara-cara ilegal. Pandangan itu didasari argumentasi bahwa pemilihan pimpinan DPD-RI yang baru bertentangan dengan Putusan MA No. 38P/HUM/2016 dan Putusan MA No. 20P/HUM/2017 yang mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya terkait masa jabatan pimpinan DPD dipilih hingga anggota DPD yang baru pada pemilu berikutnya (atau per lima tahun).

Keempat, posisi putusan MA berlaku 90 hari kalau belum ada upaya mencabut peraturan DPD yang dibatalkan MA, maka ketentuan tersebut masih berlaku, sehingga konsekuensi terhadap berakhirnya masa jabatan pimpinan DPD yang lama dengan komposisi M. Saleh, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad.

Kelima, kehadiran Wakil Ketua MA Suwardi dalam proses pelantikan pimpinan DPD versi Oseman Sapta Odang (OSO) dipersoalkan. Kehadiran itu diperdebatkan, selain bertentangan dengan Putusan MA juga tidak sesuai dengan Pasal 260 UU No. 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD (MD3).

“UU MD3 itu ditentukan bahwa ketua MA yang mestinya melantik Ketua DPD, bukan Wakil Ketua MA. Ini juga sepanjang proses pemilihan ketua atau pimpinan tidak bertentangan dengan peraturan UU dan Putusan MA yang telah membatalkan peraturan DPD terkait tata tertib lembaga tersebut,” ujar Dosen FH Universitas Andalas ini. (Baca juga: Ex Post Facto Law dalam Kisruh Putusan MA tentang Tatib DPD

Keenam, proses pemilihan pimpinan DPD dilakukan dalam rapat yang tidak memenuhi quorum. Apalagi sidang yang sebelumnya quorum telah ditutup oleh pimpinan sidang kemudian sebagian anggota meninggalkan ruangan karena agenda sidang yang dijadwalkan telah selesai. Lalu, dibuka kembali oleh pimpinan sidang lain, maka sidang baru dilakukan tetapi tidak memenuhi jumlah quorum yang dipersyaratkan dalam persidangan tersebut.

Di tempat yang sama, Refly harun mengatakan pertanyaan tentang meminta pihak berkepentingan atau bersengketa menempuh jalur hukum, pihaknya tidak menyimpulkan harus melakukan upaya hukum kemana? Sebab, tersedia banyak upaya hukum alternatif. Seperti, bisa menempuh ke MK dengan sengketa kewenangan lembaga negara, bisa ke PTUN. Bahkan, ada juga yang berpikir ke pengadilan negeri untuk perbuatan melawan hukum.

“Tetapi sekali lagi kami tidak menyimpulkan mana yang harus ditempuh terlebih dahulu untuk melihat kekurangan dan kelebihan ini,” ujar Refly.

Bukan lembaga politik
Titi Anggraini menjelaskan mengapa lembaga DPD ini lahir untuk memberi bentuk berbeda dengan DPR sebagai perwakilan politik. “Sederhananya kita melihat DPR sebagai perwakilan politik atau political respresentation yang mewakili orang, sementara DPD Regional Respresentation mewakili provinsi atau wilayah. Karena itu DPD di setiap provinsi diwakili oleh jumlah yang sama 4 wilayah. Sementara DPR jumlahnya berbeda bergantung pada populasi atau jumlah penduduk,” bebernya.

Awalnya DPD menjadi perwakilan wilayah sehingga terlepas dari sekat-sekat politis, dimana ia mewakili kepentingan kedaerahan. “Nah, fenomena yang terjadi sekarang tidak hanya merugikan institusi DPD, tetapi partai yang dikait-kaitkan dengan dominasi politik. DPD sebenarnya menjadi rugi karena melahirkan stigma dari publik bahwa ada upaya okupasi atas kelembagaan DPD oleh partai tertentu,” kritiknya.

“Ini harusnya membuat DPD mengevaluasi diri seolah-olah fraksi partai perwakilan tertentu yang hadir di DPD untuk mewakili kepentingan politik. Kekhawatiran terbesar kita adalah stigma tidak hanya merugikan satu politik tertentu, tetapi merugikan eksistensi partai sebagai instrumen demokrasi. Itu yang ingin kita hindari di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik,” katanya. (Baca juga: MA Seharusnya Tidak Pisahkan Fungsi Memutus dan Melantik)

Dia menambahkan persoalan ini disebabkan putusan MK pada 2010 yang menyatakan tidak membolehkan partai poltik masuk DPD. Karena itu, seharusnya ada terobosan hukum agar stigma ini tidak terus muncul melalui momentum pembahasan RUU Pemilu. “Mestinya RUU Pemilu yang sedang dibahas itu mengambil terobosan hukum electoral engineering berupa kalau sudah menjadi anggota DPD, dia harus mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik,” usulnya.  

“Jadi orang-orang yang aktif di struktur politik, juga aktif di dalam keanggotaan DPD, membuat fungsi keterwakilan daerah menjadi tetap terjaga. Terlepas dari sekat-sekat kepentingan politik partisan, tetapi betul-betul untuk dan atas nama kepentingan daerah. Itu yang kita harapkan dari keberadaan DPD saat ini. Kalau DPD tidak menyelamatkan dirinya sendiri maka DPD tidak akan mendapatkan kepercayaan publik.”
Tags:

Berita Terkait