Mengenal Aturan Baru Pengelolaan Panas Bumi
Berita

Mengenal Aturan Baru Pengelolaan Panas Bumi

Pada PP 7/2017 penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dapat dilakukan oleh pihak Pemerintah maupun pihak swasta. Badan usaha yang melakukan survei pendahuluan mendapatkan keistimewaan melakukan lelang terbatas.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Kementerian ESDM. Foto: RES
Kementerian ESDM. Foto: RES
Presiden Joko Widodo baru saja meneken Peraturan Pemerintan (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Pemanfaatan tidak langsung dalam pengelolaan panas bumi yang ada di dalam PP 7/2017 ini merupakan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik.

Sebagai aturan pelaksana dari UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, PP 7/2017 mengatur wilayah kerja, penawaran wilayah kerja, kegiatan pengusahaan panas bumi, hak dan kewajiban pemegang Izin Panas Bumi (IPB), usaha penunjang panas bumi, dan harga energi panas bumi.

Seperti dilansir situs ESDM, Selasa (18/4), Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE, Yunus Saefulhak, menjelaskan bahwa pada PP 7/2017, penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dapat dilakukan oleh pihak Pemerintah maupun pihak swasta. Setelah WKP ditetapkan maka langkah selanjutnya Pemerintah dapat melakukan lelang ataupun melakukan penunjukkan lengsung kepada BUMN. (Baca Juga: Inilah Aturan PNBP Panas Bumi)

Badan usaha yang melakukan survei pendahuluan mendapatkan keistimewaan melakukan lelang terbatas. Dalam lelang terbatas, badan usaha harus menunjukkan komitmen eksplorasi panas bumi.

Komitmen ini juga nantinya yang akan ditagihkan Pemerintah kepada pemenang lelang. Bentuk komitmen badan usaha pada saat masa eksplorasi yang diatur dalam PP 7/2017 adalah sebagai berikut:

Komitmen Eksplorasi:
-      Ditempatkan dalam bentuk escrow account.
-      Minimal USD 10.000.000 untuk pengembangan PLTP > 10 MW.
-      Minimal USD 5.000.000 untuk pengembangan PLTP < 10 MW.
-      Dalam jangka waktu 5 tahun tidak melakukan pengeboran 1 (satu) sumur eksplorasi maka 5% dari Komitmen Eksplorasi menjadi milik negara.


Setelah pemenang lelang diumumkan barulah Pemerintah dapat mengeluarkan Izin Panas Bumi (IPB) yang kemudian dapat dilakukan eksplorasi dengan jangka waktu salam 5 tahun + 1 tahun + 1 tahun. Pada masa pemberian IPB ini, Pemerintah akan terus melakukan pengawasan.

"Kemudian IPB dalam perjalanannya tentunya diawasi, bisa saja dia berakhir, pengembalian wilayah seluruhnya atau sebagian, penggeseran, penambahan atau pengurangan WKP," ujar Yunus. (Baca Juga: 3 Permen ESDM Terkait Jual Beli Listrik Terbit, Ini Detailnya)

Perbedaan masa eksplorasi pada PP 7/2014 dengan regulasi sebelumnya adalah bahwa feasibility study atau studi kelayakan dilakukan pada masa eksplorasi. Baru setelah itu, apabila melalui studi yang dilakukan potensi panas bumi cukup ekonomis akan dilanjutan dengan penerbitan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL).

Terbitnya IUPTL menjadi pertanda bahwa badan usaha telah siap melakukan Perjanjian Jual Beli (PJB) dengan PLN. Selanjutnya, badan usaha pemenang WKP tersebut dapat beroperasi selama 30 tahun ke depan.

Regulasi baru ini juga diakui Yunus sudah melalui tahap diskusi dan mendengarkan masukan dari publik. "Saya rasa isi PP ini sudah luar biasa, ini juga produk bapak-bapak, karena sebelum di lauching nya PP 7/2017 ini sudah melalui proses dari bawah. Sebelum jadi draft sudah disampaikan pada Asosiasi Panas Bumi untuk mendiskusikan masing-masing pasal. Jadi hal-hal yang berbeda ini sudah didiskusikan, jadilah pasal-pasal dalam PP 7/2017," lanjut Yunus.

"Regulasi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan kepada kepada seluruh stakeholder dan shareholder dalam melaksanakan pengembangan pemanfaatan panas bumi yang lebih optimal, efficient, dan affordable untuk mencapai tujuan utama pengembangan energi yaitu kesejahteraan masyarakat," ungkap Yunus.

Sebelumnya, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh menyatakan bahwa dukungan regulasi yang bisa memberi kepastian hukum menjadi salah satu syarat pengembangan EBT. Ia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan, namun belum dikembangkan secara optimal. Menurutnya, salah satu kendala yang mencuat selama ini adalah regulasi yang kurang mendukung.

Ia menyambut baik upaya pemerintah untuk terus melakukan perbaikan regulasi. Namun, dirinya mengingatkan bahwa regulasi yang baik tak akan berarti tanpa implementasi yang tegas. “Diharapkan pemerintah bisa berkomitmen melaksanakan regulasi dan kebijakannya secara optimal,” katanya beberapa waktu lalu.
Tags:

Berita Terkait