Dalam sidang lanjutan sidang Ahok di auditorium Kementerian Pertanian, Kamis (20/4), majelis hakim tak menyinggung sama sekali adanya amicus curiae. Majelis langsung memberi kesempatan kepada penuntut umum untuk membacakan rekuisitor.
PAHAM seperti keterangan tertulisnya yang diperoleh Hukumonline berangkat dari teori kejahatan dan pelanggaran yang digali dari KUHP. "Kejahatan dan pelanggaran adalah dua kategori delik yang berbeda," jelas Nurul Amalia, Direktur PAHAM Jakarta, seperti tertuang dalam rilis yang diterima oleh hukumonline.
Menurut Nurul, kejahatan merupakan delik hukum (rechtsdelict), perbuatan mana bertentangan dengan asas-asas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum rakyat. Pelanggaran adalah delik undang-undang (wetsdelict), perbuatan mana bertentangan secara tegas dengan yang dicantumkan dalam undang-undang pidana.
PAHAM berpandangan Pasal 156a KUHPidana yang menjerat Basuki Tjahana Poernama atau Ahok merupakan perbuatan yang masuk ke dalam delik hukum sebagai kategori kejahatan di dalam Buku II KUHPidana. Seingga perbuatan Ahok yang diduga menodai salah satu agama yang dianut dan diakui negara merupakan suatu kejahatan.
Untuk itu, PAHAM Jakarta merasa sangat patut dan wajar serta beralasan hukum Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 1964 (SEMA No.11 Thn.1964). SEMA tersebut berbunyi, "Karena Agama merupakan unsur yang penting bagi pendidikan rohaniyah, maka Mahkamah Agung anggap perlu menginstruksikan agar barang siapa melakukan tindak pidana yang bersifat penghinaan terhadap Agama diberi hukuman yang berat."
Sehingga berdasar pemikiran dan dasar hukum tersebut, PAHAM Jakarta merekomendasikan kepada Majelis Hakim yang memeriksa kasus Ahok untuk menjatuh hukuman yang terberat untuk Ahok.
"Menjatuhkan vonis hukuman yang seberat-beratnya yaitu 5 (lima) tahun penjara, dengan memperhatikan SEMA No. 11 Tahun 1964 dan dinamika pergolakan di tengah masyarakat yang menuntut keadilan," ungkapnya.
Sebelumnya, LBH Jakarta juga mengajukan amicus curiae. LBH berpandangan Ahok hanyalah korban dari penggunaan pasal anti-demokrasi. DPR dan Pemerintah masih belum mentaati rekomendasi putusan MK terkait UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a KUHP. "Majelis Hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama".
LBH Jakarta berpandangan pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (27/09/16) dianggap sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Al-Quran) untuk menipu pubilk dalam kegiatan politik.
Menurut LBH Jakarta, pernyataan Ahok seharusnya tidak memenuhi iktikad buruk (evil mind/mens rea) yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP. Pernyataan Ahok ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin Pasal 28E UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia".