Implementasi 'Jembatan Udara' Masih Tunggu Payung Hukum
Berita

Implementasi 'Jembatan Udara' Masih Tunggu Payung Hukum

Dalam bentuk Peraturan Presiden yang akan terbit pada April ini.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Kantor Kementerian Perhubungan. Foto: Sgp
Kantor Kementerian Perhubungan. Foto: Sgp
Implementasi Program Jembatan Udara kini masih menunggu payung hukum, yaitu Peraturan Presiden (Perpes) terkait mekanisme jelas serta koordinasi antara Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah dan instansi terkait. Perpres ini nantinya akan menentukan skema dalam penentuan operator pengoperasian jembatan udara.

"Kalau Tol Laut sudah ada BUMN-nya, yaitu Pelni, untuk jembatan udara ini belum ada, kita tunggu Perpres apakah nanti penugasan atau lelang," kata Kepala Sub Direktorat Angkutan Udara Niaga Tak Berjadwal dan Bukan Niaga, Kementerian Perhubungan, Ubaidillah Dillah, dalam diskusi Lokakarya Forum Wartawan Perhubungan di Lombok sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (21/4).

Dia mengatakan diperkirakan Perpres tersebut akan terbit pada April ini setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Ubaidillah mengatakan saat ini sudah disiapkan 11 rute jembatan udara di Papua yang akan menyambungkan ke seluruh wilayah terpencil agar disparitas harga bisa ditekan.

Jembatan udara atau program angkutan udara perintis kargo merupakan suatu upaya yang diintegrasikan dengan Program Tol Laut agar barang kebutuhan pokok bisa menjangkau lebih jauh ke wilayah pegunungan. Tujuannya agar terjadi penurunan disparitas harga bisa lebih merata, tidak hanya di wilayah dekat pantai atau pelabuhan. (Baca Juga: Investigasi Kecelakaan untuk Perbaikan Sistem, Bukan Menghukum)

Terdapat tiga titik utama yang akan menghubungkan ke wilayah terpencil, yaitu Timika, Wamena dan Dekai. Dari Timika nantinya akan dihubungkan ke Beoga, Sinak, Ilaga dan Kennyam, sementara itu dari Timika ke Wamena juga terintegrasi. Adapun dari Wamena akan disalurkan ke Mugi, Mapenduma, dan Mamit.

Sedangkan dari Dekai akan dihubungkan ke Silimo, Ubahak, Anggruk dan Korupun. Ubaidillah mengatakan, dari ketiga titik utama tersebut ke wilayah terpencil akan diberiman subsidi 100 persen, namun dari Timika ke Wamena sebesar 50 persen.

"Rentang harga di Timika dan Wamena ini sangat jauh sekali, karena itu kita akan fasilitasi dengan memberikan subsidi 50 persen, katakanlah harga semen di Timima itu Rp90.000 tapi ketika di Wamena sudah Rp650.000," katanya.

Terkait frekuensi sendiri, lanjut dia, satu minggu bisa dua kali penerbangan kargo penerbangan perintis yang menggunakan pesawat Cessna-Grand Caravan 208B, Twin Otter/DHC-6 dan Pilatus Porter PC-6.

"Pada tahap awal, program jembatan udara ini akan melayani Rute Timika-Wamena dengan menggunakan pesawat udara sekelas Boeing 737-Freighter dengan kapasitas maksimum 10 ton per penerbangan," katanya. (Baca Juga: Kementerian Perhubungan Lakukan Deregulasi Berantas Pungli)

Selain di Papua, lanjut dia, akan dioperasikan juga program yang sama di Sulawesi dan Kalimantan pada 2018. Di Sulawesi akan dipusatkan di Masamba kemudian didistribusikan ke Seke dan Rampi, untuk di Kalimantan dari Tarakan ke Long Bawan dan Long Apung.

Namun, Ubaidillah menuturkan harus dipikirkan mengenai kejelasan moda penghubung antara tol laut dengan jembatan udara. Selain itu, perlu ditetapkan jenis barang yang dapat diangkut dan agen yang bertanggung jawab terkait barang yang diangkut.

"Kapasitas kargo jembatan udara yang lebih sedikit dibandingkan dengan tol laut dikarenakan kapasitas angkut pesawat angkutan udara perintis kargo yang relatif kecil, rata-rata maksimal. Hanya 1,2 ton per penerbangan," katanya.

Dia menambahkan serta perlu peran aktif pemerintah daerah setempat, mulai dari usulan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta pentingnya bagaimana pemda dapat membangkitkan kawasan distrik menjadi lebih produktif, sehingga ke depannya terdapat muatan balik dari kawasan ditarik ke kota-kabupaten.

Untuk diketahui, pada era ASEAN Open Sky, terdapat beberapa tantangan bagi industri penerbangan di Indonesia. Pemerintah pun diharapkan dapat mempersiapkan dengan baik mulai dari maskapai, pengelola bandar udara, pengatur penerbangan di darat (ground handling) hingga pengatur lalu lintas penerbangan. (Baca Juga: Tiga Tantangan Industri Penerbangan Indonesia di Era Open Sky)
Tags:

Berita Terkait