Pilkada Jakarta Bisa Menjadi Role Model untuk Pilkada Lain
Berita

Pilkada Jakarta Bisa Menjadi Role Model untuk Pilkada Lain

Begitu terpilih, gubernur DKI Jakarta adalah gubernur untuk semua warga Jakarta, apapun identitasnya.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Saat debat calon gubernur dan wakil gubernur DKI. Hasil hitungan cepat menunjukkan pasangan Anies-Sandi unggul atas pasangan Ahok-Djator. Foto: RES
Saat debat calon gubernur dan wakil gubernur DKI. Hasil hitungan cepat menunjukkan pasangan Anies-Sandi unggul atas pasangan Ahok-Djator. Foto: RES
Pilkada DKI Jakarta putaran kedua sudah selesai dilakukan. Hasil hitung cepat versi lembaga-lembaga survei menempatkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno unggul atas pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Kini tinggal menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta.

Pilkada DKI Jakarta patut menjadi cermin bagi daerah-daerah lain yang akan menyelengarakan pilkada pada tahun mendatang. Indonesianis asal Australia, Ian Wilson, berpendapat kemenangan Anies-Sandi bisa menjadi role model  bagi daerah lain. Politik identitas bisa menguat menjelang pilkada, sebagaimana tampak pada pilkada DKI Jakarta.  

Tetapi Ian menyayangkan jika pilkada di daerah lain juga dikuatkan dengan politik massa. Jika politik identitas dan gerakan massa yang lebih dominan, diskusi kritis mengenai kebijakan calon akan minim. “Ini berdampak kepada minimnya pembahasan tentang kebijakan,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (22/4). (Baca juga: Tindak Tegas Pelaku Pembagian Sembako di Masa Tenang).

Ian mengungkapkan sejumlah survei menunjukkan kepuasan warga terhadap kinerja pasangan Basuki-Djarot sebagai petahana. Kepuasan warga berkisar pada angka 65-75 %. Sebaliknya, elektabilitas pasangan ini hanya 42-43%. Pertanyaanya, kata Ian, apakah gelaran Pilkada DKI Jakarta membangkitkan kembali gaya kepemimpinan populis dan politik identitas? “Saya kira kompetensi dan popularitas itu dua hal yang berbeda. Jadi misalnya ada yang mengatakan secara manajerial Ahok cukup kompeten sebagai Gubernur, tapi popularitasnya tidak pernah meningkat,” jawabnya.

Salah satu penyebab penting adalah gaya komunikasi Ahok sebagai pemimpin DKI. Sebagian warga merasa kurang suka dengan gaya bicara Ahok. “Gaya bicaranya itu mengalienasikan dirinya sendiri,” sambung dosen Murdoch University itu kepada hukumonline.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J. Vemonte kepada Hukumonline mengatakan “masyarakat mungkin secara fair menilai pak Ahok berhasil tapi ada faktor lain, nah itu yang dikhawatirkan adalah faktor-faktor seperti sentimen.” (Baca juga: Begini Cagub-Cawagub DKI Menjawab Pertanyaan Komunitas).

Fakta bahwa Ahok kini disidangkan di PN Jakarta Utara (yang bersidang di auditorium Kementerian Pertanian) tak bisa diabaikan. Ahok diseret ke kursi terdakwa justru karena isi komunikasinya di depan massa, yakni pidatonya di Kepulauan Seribu, September 2016.

Persidangan ini, sedikit banyak, menggeser wacana kontestasi pilkada dari adu kebijakan dan program menjadi retorika sentimen keagamaan dan politik identitas. Politik identitas akan membahayakan jika tetap dijalankan pemimpin terpilih. Sebab, kata Vermonte, begitu seseorang terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, maka ia adalah gubernur untuk semua warga DKI, apapun identitasnya.
Tags:

Berita Terkait