UU LLAJ Cenderung Salahkan Pengemudi, MTI: Harus Direvisi
Berita

UU LLAJ Cenderung Salahkan Pengemudi, MTI: Harus Direvisi

Rangkaian kecelakaan yang terjadi di Indonesia harus dilihat secara dalam, seperti faktor teknis tak hanya menyalahkan pengemudi semata.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
ilustrasi  kecelakaan lalu lintas
ilustrasi kecelakaan lalu lintas
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) secara umum cenderung menyalahkan pengemudi pada peristiwa kecelakaan. Atas dasar itu, MTI menilai, UU LLAJ harus segera direvisi.

"Betul, selama ini UU LLAJ condong menyalahkan pengemudi. Ini harus direvisi," kata Wakil Ketua MTI Djoko Setijowarno saat dihubungi di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Minggu (23/4).

Djoko menambahkan, pihak lain yang layak diperhatikan dalam konteks kecelakaan itu adalah peran operator dan KIR yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, katanya, pengawasan pemerintah terhadap bus wisata perlu diperketat lagi. "Tata kelola bus wisata perlu ditinjau ulang," katanya.

Dikatakan Djoko, pengemudi angkutan umum punya masa kerja maksimal delapan jam per hari dan hal ini kadang tidak berlaku di bus wisata. "Hal itu karena dianggap sopir bisa istirahat saat pelancong kunjungi objek wisata," katanya. (Baca Juga: Alami Kecelakaan Pas Liburan Pakai “Mobil Rental”? Simak Penjelasan Hukumnya)

Pada sisi lain, kata Djoko, masyarakat cenderung memilih bus wisata yang murah sewanya, tetapi kurang memenuhi unsur keselamatan. "Karena itu bus reguler yang dialihkan menjadi bus wisata bertarif murah harus juga diawasi ketat oleh regulator," katanya.

Sementaraitu, Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis menilai pada peristiwa kecelakaan beruntun bus maut HS Transport di Jalan Raya Puncak, Bogor, Jawa Barat, dengan korban empat tewas dan enam luka, pemerintah seharusnya melihat lebih dalam. Pengemudi bus maut tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.

"Pemerintah semestinya bijak dan adil karena kecelakaan bus tidak selalu disebabkan kesalahan sopir tapi ada faktor teknis kendaraan juga sangat memengaruhi suatu kecelakaan," kata Fary.

Fary juga mendorong perusahaan bus maut itu juga disorot. "Pemilik perusahaan yang busnya mengalami kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa harus dimintai pertanggungjawaban bila terbukti bahwa faktor teknis mendominasi kecelakaan bus tersebut," katanya.

Terus berulang Fary bahkan menyebutkan kecelakaan pada Sabtu (22/4) sore itu menuntut ketegasan terhadap pengawasan Perusahaan Otobus (PO). "Kecelakaan-kecelakaan seperti ini bukan hal yang baru dan terus berulang," katanya. (Baca Juga: Atur Ojek Motor, DPR Ingin Revisi UU LLAJ)

Oleh karena itu, dia mendesak Kementerian Perhubungan bisa menertibkan PO-PO bus di negara ini agar masyarakat bisa lebih aman menempuh perjalanan. "Ada sistem pengaturan dan pengawasan yang gagal dilakukan oleh Kementerian Perhubungan sehingga untuk kesekian kali terjadi kecelakaan bus yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi yang dialami oleh masyarakat," kata Fary.

Sebelumnya, pengajar ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitri A. Sjarif, berpendapat revisi terbatas akan lebih praktis ketimbang merevisi seluruh bagian UU LLAJ. Dengan revisi terbatas, maka hanya pasal yang relevan saja yang diubah, tidak melebar kemana-mana. Dalam hal ini yang direvisi adalah lingkup angkutan angkutan umum.

"Dibanding menyusun UU secara lengkap mengenai LLAJ, buat saja dulu UU perubahan yang isinya cuma mengubah pasal yang perlu. Pasal 47 pastinya atau mungkin ada yang lain," ujar Fitri menjawab pertanyaan hukumonline(Baca Juga: Revisi UU LLAJ Lebih Praktis Ketimbang Membuat UU Baru)

Agar rencana revisi itu berhasil, kata Fitri, harus ada komitmen politik yang mempercepat pembentukan UU perubahan LLAJ khususnya mengenai kendaraan bermotor roda dua sebagai angkutan umum. Jika tidak, masalah angkutan ojek roda dua akan menuai polemik di lapangan.

Kemenhub, sambung Fitri,  juga tidak bisa mengeluarkan peraturan dalam bentuk apapun untuk mengatur transportasi umum roda dua sepanjang Undang-Undang tidak mengatur. Jika Undang-Undang revisi mengakomodasi, ada payung hukum buat Pemerintah mengatur lebih lanjut hal-hal teknis. "Untuk mencari jalan tengah mengisi kekosongan ini, menurut saya Kemenhub tidak bisa (mengeluarkan aturan dalam bentuk apapun). Kalau toh dipaksakan bakal bisa ditentang, di-judicial review karena bertentangan dengan peraturan di atasnya," ungkap Fitri.
Tags:

Berita Terkait