5 Masalah Hukuman Mati yang Dilaporkan ke PBB
Berita

5 Masalah Hukuman Mati yang Dilaporkan ke PBB

Jenis kejahatan yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia bertentangan dengan standar norma HAM internasional.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Mereka meminta pemerintah untuk memberikan grasi dan membatalkan eksekusi mati bagi terpidana Merry Utami (MU) yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir Bulan Juli 2016.
Mereka meminta pemerintah untuk memberikan grasi dan membatalkan eksekusi mati bagi terpidana Merry Utami (MU) yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir Bulan Juli 2016.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah melaporkan praktik hukuman mati di Indonesia ke Dewan HAM PBB. Hal itu dilakukan karena awal Mei 2017 pelaksanaan HAM di Indonesia yang berkaitan dengan hak sipil dan politik bakal dievaluasi Dewan HAM PBB melalui universal periodic review (UPR).

Koordinator peneliti Imparsial, Ardi Manto, mengatakan tahun ini merupakan UPR ketiga bagi pemerintah Indonesia. Dalam UPR sebelumnya (2008 dan 2012) Pemerintah menolak sebagian rekomendasi Dewan HAM PBB mengenai hukuman mati dan kondisi HAM di Papua. Untuk isu hukuman mati Pemerintah menolak rekomendasi karena mengklaim hukum positif di Indonesia masih menerapkan dan alasan kedaulatan negara. (Baca juga: Komnas HAM Minta Rekomendasi UPR Dipantau).

Ardi mengatakan hukuman mati yang diterapkan selama ini tidak terbukti memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan. Menurutnya, hukuman mati diterapkan pemerintah untuk mengejar popularitas. "Hukuman mati tidak tepat digunakan untuk meningkatkan popularitas pemerintah. Mestinya yang didorong lebih maju itu isu pendidikan dan kesehatan," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (27/4).

Koalisi mencatat sedikitnya 5 masalah penerapan hukuman mati di Indonesia. Ketua PBHI Totok Yuliyanto, mengatakan yang pertama, pidana mati di Indonesia diberlakukan di tengah sistem peradilan pidana yang tidak adil. Beberapa kasus yang berujung hukuman mati terjadi karena adanya ketidakadilan selama proses peradilan (unfair trial). Misalnya, terhambatnya akses terpidana terhadap bantuan hukum, penerjemah dan perwakilan konsuler. (Baca juga: Penahanan Incommunicado Dilaporkan ke Dewan HAM PBB).

Kedua, pidana mati diberikan kepada kelompok rentan, seperti yang dialami Yusman Telaumbanua, pengadilan negeri Gunung Sitoli menjatuhkan vonis hukuman mati ketika dia berusia 16 tahun. Padahal sistem peradilan anak melarang penerapan pidana mati untuk anak di bawah usia 18 tahun. Kemudian, pidana mati diberikan kepada pengidap skizofrenia dan psikopat bipolar, Rodrigo Gularte. "Hal ini bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk tidak mengeksekusi kaum disabilitas," urai Totok.

Menambahkan, staf advokasi Persaudaraan Korban Napza Indonesia, Alfiana Qisthi, menjelaskan yang ketiga, sekalipun KUHP sedang direvisi dan pidana mati menjadi bersifat khusus, tapi itu dirasa tidak mengurangi esensi hukuman mati sebagai pidana pokok. Selain itu penggolongan jenis kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati bertentangan dengan standar norma HAM. Pemerintah menyasar terpidana hukuman mati pada kasus narkotika dan terorisme. Padahal norma HAM internasional tidak memasukkan keduanya sebagai kejahatan yang paling serius (the most serious crime).

Keempat, penjatuhan pidana mati dan eksekusi terpidana mati diwarnai praktik penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. "Ini ditunjukkan dari adanya deret kematian, metode eksekusi, penyiksaan kepada terpidana dan saksi terpidana mati," urainya.

Advokat publik LBH Jakarta, Arif Maulana, melanjutkan, yang kelima, ambiguitas dan dualisme sikap pemerintah dalam praktik hukuman mati. Pemerintah gencar melakukan eksekusi terhadap terpidana mati dengan dalih perang terhadap narkotika, sementara kebijakan luar negeri pemerintah berupaya menggagalkan hukuman mati terhadap warga Indonesia yang terjerat pidana. Menurutnya pemerintah harus konsisten dalam menolak hukuman mati.

LBH Jakarta menghitung dalam 6 tahun terakhir kasus unfair trial di jakarta dan sekitarnya meningkat, tahun lalu 72 kasus. Data itu menunjukkan unfair trial masih menjadi masalah utama sistem peradilan di Indonesia. "Apalagi ini menyasar terpidana mati, tercatat ada 9 orang yang kasusnya unfair trial," paparnya.

Arif mendesak pemerintah menghentikan hukuman mati, terbukti eksekusi terhadap terpidana mati tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan. Ia menduga pasca dua kali gelombang eksekusi jumlah pengguna narkotika tidak berkurang, malah bertambah.
Tags:

Berita Terkait