Kemlu: Arbitrase Sengketa Usaha Hambat Kesepakatan RCEP
Berita

Kemlu: Arbitrase Sengketa Usaha Hambat Kesepakatan RCEP

Hasil penelitian Transnational Institute dan Focus for the Global South menunjukkan mekanisme sementara RCEP, yang memungkinkan investor untuk menuntut negara di pengadilan internasional, berpotensi membuat pemerintahan anggota kehilangan uang lebih dari AS$31 miliar.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi investasi asing menghadapi arbitrase internasional. Ilustrasi: HEL
Ilustrasi investasi asing menghadapi arbitrase internasional. Ilustrasi: HEL
Mimpi tercapainya perjanjian dagang Kemitraan Komprehensif Ekonomi Regional (RCEP) masih terhambat oleh perbedaan pandangan negara-negara anggota mengenai mekanisme penyelesaian sengketa usaha (arbitrase), kata Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Rabu malam di Manila.

"Penyelesaian sengketa usaha ini masih menjadi bahasan yang alot," kata Nur Rokhmah Hidayah, Kepala Subdirektorat Kerjasama Industri dan Perdagangan, Kementerian Luar Negeri Indonesia, kepada sejumlah wartawan.

Rokhmah tidak menjelaskan lebih jauh perdebatan di antara negara-negara yang terlibat dalam perundingan RCEP terkait sengketa usaha tersebut. (Baca Juga: TBA: Lemahnya Hukum Indonesia Pengaruhi Iklim Investasi)

Namun demikian, penelitian dari sejumlah lembaga sipil internasional, di antaranya Transnational Institute dan Focus for the Global South, pada akhir tahun lalu menunjukkan bahwa mekanisme sementara RCEP, yang memungkinkan investor untuk menuntut negara di pengadilan internasional, berpotensi membuat pemerintahan anggota kehilangan uang lebih dari AS$31 miliar.

Uang tersebut harus dibayarkan oleh pemerintah, kepada investor yang merasa dirugikan negara, dari pajak warga sehingga berpotensi akan mengerus dana yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan publik. Mekanisme ini dinilai memberatkan negara RCEP dengan anggaran belanja terbatas.

RCEP sendiri adalah gagasan kesepakatan perdagangan bebas yang melibatkan 10 negara ASEAN ditambah Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan. (Baca Juga: Ketua MK: Jangan Sampai Hukum Internasional Menegasi Hukum Bisnis Indonesia)

Ke-16 negara tersebut selama ini memberi kontribusi sekitar 40 persen perekonomian dunia dengan populasi total mencapai 3,4 miliar orang. RCEP saat ini menjadi harapan baru para pendukung pasar bebas setelah usulan kesepakatan lain, Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), gagal di tengah jalan akibat mundurnya sang inisiator Amerika Serikat.

Sikap pemerintah Indonesia, terkait mekanisme sengketa investor vs negara, saat ini masih belum diketahui karena perundingan berjalan tertutup.

Jose Tavares, Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan kepada Kementerian Perdagangan dan Luar Negeri untuk segera mempercepat penyelesaian RCEP. (Baca Juga: Baca Juga: BKPM: Minimnya Koordinasi Pusat-Daerah Jadi Penghambat Investasi)

"Bahkan saat mengunjungi India akhir tahun lalu, presiden secara khusus mendesak New Delhi untuk mendukung kesepakatan RCEP," kata Jose kepada para wartawan.

Sementara itu pada kesempatan yang sama, Rokhmah, mengaku masih belum bisa memastikan apakah negara-negara yang terlibat bisa memenuhi target untuk mencapa tiga kesimpulan substansial yang meliputi modalitas perdagangan barang, jasa, dan investasi.

Mekanisme penyelesaian sengketa usaha masuk dalam modalitas bidang investasi. Sementara modalitas perdagangan barang adalah prosentase lalu lintas barang yang akan dibiarkan melintasi batas nasional tanpa hambatan.

"Indonesia berharap lebih dari 90 persen jenis barang bisa diperdagangkan secara bebas. Namun ada negara lain yang meminta prosentase yang lebih rendah untuk melindungi sektor usaha dalam negeri mereka," kata Rokhmah.

Tags:

Berita Terkait