Alasan Wakil Ketua MA Dilaporkan ke KY
Berita

Alasan Wakil Ketua MA Dilaporkan ke KY

Tim panel sudah terbentuk yang terdiri dari 3 Komisioner KY dan beberapa tim. Saat ini, tim tinggal bekerja.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Pengurus PBHI Nasional Menyerahkan Bukti Pengaduan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua MA kepada Komisioner KY Jaja Ahmad Jayus di Gedung KY Jakarta, Jum'at (28/4). Foto: CR-23
Pengurus PBHI Nasional Menyerahkan Bukti Pengaduan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua MA kepada Komisioner KY Jaja Ahmad Jayus di Gedung KY Jakarta, Jum'at (28/4). Foto: CR-23
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI Nasional) kembali mendatangi Komisi Yudisial (KY) terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang diduga dilakukan Wakil Ketua MA Suwardi saat melakukan penuntunan sumpah Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2017-2019. Kedatangannya untuk menyerahkan bukti-bukti baru yang sebelumnya kasus ini telah dilaporkan pada Selasa (11/4) lalu.

“Disini kami menyerahkan bukti untuk membantu KY melakukan analisa fakta terkait proses pemilihan pimpinan DPD, dimana MA seharusnya mempertimbangkan lebih jauh ketika memberikan penuntunan sumpah,” Kata Ketua PBHI Totok Yulianto di Gedung KY, Jum’at (28/4/2017). (Baca Juga: PBHI Laporkan Wakil Ketua MA ke KY)

Baginya, bukti-bukti yang diserahkan ke KY menjadi penting sebagai pintu masuk mencari titik terang apa yang sebenarnya terjadi terkait dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua MA saat menuntun sumpah pimpinan DPD baru. Hal ini sekaligus menjadi solusi membenahi sistem peradilan, khususnya di lingkungan MA agar lebih transparan dan akuntabel.

“Sebab, Wakil Ketua MA seolah mengajarkan kepada publik bahwa putusan MA ini bisa diterobos, tidak diakui dan tidak dihormati. Menjadi penting, kasus ini ditelusuri karena terindikasi Wakil Ketua MA (melanggar etik) ketika melakukan penuntunan sumpah,” kata dia.

Sebenarnya tidak ada masalah ketika pimpinan MA melakukan penuntunan sumpah. Persoalannya, mengapa tidak menunggu ketua MA terlebih dahulu yang hanya pergi untuk Umroh. Terlebih, ada pertemuan tertutup antara Wakil Ketua MA dan unsur DPD di MA sebelum penuntunan sumpah. “Seakan-akan (penuntutan) dipaksakan lebih cepat. Ini membuat publik memandang putusan MA (Putusan No. 20P/HUM/2017) bisa diingkari,” kata Totok.  

Pengacara PBHI Nasional Julius Ibrani mengungkapkan bukti-bukti yang diserahkan kepada KY berupa dokumen dasar hukum, data kajian dari Asosiaasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi (Asosiasi HTN-HAN) yang dianalisis oleh Feri Amsari dan kawan-kawan, serta transkip rekaman saat paripurna pelantikan ketua DPD.

“Apa benar yang disampaikan Juru Bicara MA dalam penuntunan sumpah ketua DPD sudah patuh terhadap Putusan MA No. 20P/HUM/2017 dan No. 38P/HUM/2017 tentang pembatalan tatib DPD No. 1 Tahun 2017 sebagai dasar hukum pemilihan dan pelantikan pimpinan DPD?” ujar Julius mempertanyakan. Baca Juga: MA Akui Temui Anggota DPD Sebelum Pelantikan

Senada, Pjs Direktur Asosiasi Pengajar APHTN-HAN Feri Amsari mengatakan persoalan ini merupakan hal serius ketika wakil ketua MA mengambil sumpah ketua DPD. “Kenapa ada persoalan serius? Pertama, MA sudah memutuskan bahwa tidak sah masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun yang sebelumnya dijabat Muhammad Saleh dan GKR Hemas.

Menurutnya, dalam kajian hukum tata negara tidak mungkin sebuah lembaga politis parlemen itu masa jabatan pimpinan dua setengah tahun. Kalau ini terjadi akan menimbulkan “keributan” dua kali untuk merebut kekuasaan sebagai pimpinan DPD. Baginya, tidak mungkin ada gagasan dalam sistem presidensial dimana masa jabatan pimpinan DPD itu dibagi dua.

“Kalau sistem parlementer yah boleh saja, tapi ini kita kan menggunakan sistem presidensial. Konsepnya Fix Term In Office, jadi fix terpilihnya ketua DPD sampai masa jabatan ketua DPD sebelunya berakhir. Jika tidak seperti itu pasti ribut menggunakan sistem parlementer,” kata Feri. Baca Juga: Catatan Asosiasi Pengajar Tata Negara Terkait Kisruh DPD

Menurutnya, konsep masa jabatan kepemimpinan sesuai UUD 1945 tradisinya per lima tahun. Lalu diperkuat oleh MA melalui putusannya. “Kan ini aneh, putusan MA merupakan marwah dari institusinya sendiri malah diabaikan oleh Wakil Ketua MA. Jangan-jangan ini ada manipulasi,” katanya menduga.

“Saya melihat ada etika yang tidak baik tergambar dari sikap kelembagaan MA ketika prosesi sumpah sudah menyalahi banyak hal. Yakni, mengabaikan Putusan MA dan Pasal 260 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. Dalam konteks ini, posisi ketua MA sebenarnya tidak dapat digantikan oleh siapapun ketika berhalangan hadir seperti tertuang dalam Pasal 260,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Dia menambahkan secara de jure jelas-jelas pimpinan DPD yang legal di bawah kepemimpinan M. Saleh dan GKR Hemas. Tetapi kemudian secara faktual politik menjadi terbalik luar biasa. “Jadi boleh dikatakan Oesman Sapta Odang tidak bisa dipanggil sebagai ketua DPD, karena fakta hukumnya tidak demikian,” katanya.

Komisioner KY Bidang Pengawasan dan Investigasi Hakim, Jaja Ahmad Jayus mengatakan proses alur pengaduan di KY ada proses verifikasi terlebih dahulu. Tim panel sudah terbentuk yang terdiri dari 3 Komisioner dan beberapa tim. Saat ini, tim tinggal bekerja. Dia juga berharap pengaduan ini secepat dapat diselesaikan karena mendapat perhatian publik.

“Mudah-mudahan minggu depan itu, pengaduan ini sudah masuk di tim panel. Jika tim panel menyatakan ada dugaan pelanggaran, kemungkinan hakim yang bersangkutan akan dipanggil. Pengaduan ini akhirnya diputus dalam rapat pleno,” kata Jaja.
Tags:

Berita Terkait