Konvensi Etika Bernegara Bakal Jadi Sistem Terpadu
Utama

Konvensi Etika Bernegara Bakal Jadi Sistem Terpadu

Penegakkan etika adalah sebuah keniscayaan kalau etika mau dijunjung tinggi dan diterapkan secara konsisten.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Diskusi Pra Konferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara bertajuk
Diskusi Pra Konferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara bertajuk
Tiga lembaga, Komisi Yudisial (KY), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kembali melakukan pertemuan guna mematangkan konsep Konvensi Etika Berbangsa dan Bernegara sesuai amanat TAP MPR No. VI/MPR/2001. Pertemuan ini dikemas dalam Pra Konferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara di Gedung KY Jakarta.

Dalam kesempatan ini, hadir pimpinan ketiga lembaga yang menggagas perlunya Konvensi Etika Berbangsa dan Bernegara yakni Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari. Acara Pra Konferensi II ini juga menggelar diskusi bertajuk “Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penegakkannya”. Tampil sebagai narasumber yakni mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, Mantan Ketua KY Busyro Muqoddas, akademisi Al Andang L. Binawan.

Sebagai pengantar dibukanya Pra Konferensi II ini, Jimly Asshiddiqie mengatakan puncak acara konferensi ini nanti akan digelar di gedung MPR dengan mengundang semua elemen lembaga. Hal ini semata-mata dalam rangka merencanakan dan mempromosikan sistem etika berbangsa dan bernegara yang sudah diamanatkan dalam TAP MPR No. VI/MPR/2001.

“Tiga lembaga ini memposisikan etika menjadi sistem terpadu (terintegrasi) ke depan. Sebab, selama ini masing-masing lembaga memiliki kode etik yang berbeda-beda dan bervariasi, belum ada lembaga yang mengambil tanggung jawab (etika) menyeluruh. Nantinya, etika berbangsa ini akan memiliki mekanisme pembinaan terpadu yang dipertanggungjawabkan satu lembaga,” kata Jimly dalam sambutannya di Gedung KY Jakarta, Kamis (4/5/2017).

Jimly mengaku konsep konvensi etika berbangsa dan bernegara belum final dan masih terus dirumuskan ketiga lembaga. Misalnya, konsep lembaganya seperti apa masih belum disepakati (final). Seperti KY, apabila disepakati sebagai lembaga yang bertanggung jawab melaksanakan etika berbangsa tentu perlu memperluas wewenang KY.  

“Pekerjaan KY menjadi bertambah, tidak hanya mengurusi dan menegakkan etika hakim saja, tetapi juga etika semua aparat penegak hukum. Bahkan, bisa saja termasuk semua penyelenggara negara dalam jabatan publik walaupun KY bukanlah (atasan) langsung secara teknis. Tetapi, nanti KY (hanya) melakukan fungsi pembinaan. (Baca Juga : Tiga Lembaga Ini Gagas Konvensi Etika Berbangsa dan Bernegara)

Aidul melanjutkan pentingnya etika berbangsa yang muncul sejak orde baru, reformasi hingga saat ini harus terus dibina. “Etika berbangsa dan bernegara ini semoga menjadi penyatu bagi keanekaragaman Indonesia,” Kata Aidul dalam sambutannya.

Dalam kesempatan diskusi, Busyro Muqqodas mengatakan nilai-nilai kemerdekaan, harkat martabat kemanusiaan, kebangsaan, keillahian seperti tercantum dalam Mukadimah UUD 1945 tidak terinternalisasi dan terintegrasi dalam proses perumusan legislasi, kebijakan public, dan proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, kehidupan berbangsa dan penegakan hukum lebih berwatak tektual, rigid (kaku), dan tercerabut dari nilai-nilai mukadimah UUD 1945.

“Proses pembentukan tabiat dan mindset aparat penegak hukum belum steril dari proses money yang transparan berbasis partisipasi publik sebagai standar akuntabilitas publik. Dan tidak terjangkaunya karakter kurikulum pendidikan pada semua jenjang lembaga penegak hukum oleh publik,” ujarnya. Baca Juga: Ingat! TAP MPR Tentang Etika Berbangsa Masih Berlaku

Menurutnya, selama ini tidak ditemukan konsep ideologi dan metodologi secara akademis dari lembaga penegak hukum tentang bagaimana konstruksi, sistematisasi, teorisasi dan regulasi yang bisa menjelmakan nilai keadilan berbasis Mukadimah UUD 1945 dan prinsip etik universal ke dalam proses penegakan hukum. Faktanya, tidak ada sistem kontrol yang efektif terhadap potensi pelanggaran integritas dan kode etik aparat penegak hukum sebagai akibat praktik pendanaan operasional di luar APBN.

Misalnya, tidak ada kesamaan persepsi dan pandangan tentang batasan teknis yudisial antara MA dengan KY, dan elemen civil society. Selama ini prinsip etika hakim yang termuat dalam Bangalore Principle menjadi dalil umum bagi kalangan hakim Indonesia. Akibatnya, terindikasi terjadinya invisible corruption of judicial.

Untuk itu, Busyro merekomendasikan perlu kajian evaluasi secara komprehensif terhadap penegakkan etik berbasis transparansi dan akuntanbilitas publik masing-masing lembaga aparat penegak hukum secara keseluruhan. “Kajian dan evaluasi dilakukan oleh Tim Profesional Independen yang mendapat legalitas dari pemerintah,” katanya.

Penegakkan etika keniscayaan
Akademisi Al Andang L. Binawan mengatakan mekanisme penegakkan etika adalah sebuah keniscayaan kalau etika mau dijunjung tinggi dan diterapkan secara konsisten. Etika dalam arti, suatu panduan baik atau buruk dari profesi tertentu. Namun, etika ini lebih dekat dengan tatanan nilai moral dalam arti sempit dan dalam arti luas ilmu kritis tentang nilai-nilai.

Secara sederhana, etika bersifat ideal dan hukum bersifat minimal. Jika tidak ada pegangan pasti nilai etika menjadi terlalu abstrak dan sangat ambigu. Menurut Cicero, semakin sempurna sebuah hukum semakin sempurna pula ketidakadilannya. “Adanya rumusan kode etik bahkan dijadikan hukum terkait tuntunan kepercayaan menjadi keniscayaan. Derajat kepastian moral yang (lebih) perlu dicapai, bukan kepastian hukum karena sifat moral lebih besar. Dilema ini tentu akan mempengaruhi mekanisme penegakkannya,” kata Andang dalam kesempatan yang sama.

“Kepastian hukum membutuhkan tuntutan bukti kuat dan otentik. Kepastian moral cukup sampai indikasi kuat dan pertimbangan lebih banyak pada majelis hakim meski tetap ada prosedur yang harus diikuti guna meminimalisir kesewenang-wenangan atau subyektivitas. Sebab, prosedur juga jalan untuk mencapai keadilan, sementara prosedur dari kacamata etika atau moral sebagai garis panduan, bukan garis batas.”

Menurut Al Andang, etika profesi senioritas menjadi penting diperhatikan karena tidak hanya terkait bidang keilmuan, tetapi juga pengalaman yang menempa dirinya untuk menciptakan kebijaksanaan. Selain itu, penegakkan etik juga perlu melibatkan masyarakat luas untuk menjadi tolok ukur sebuah etika. “Jangan lupa pula keseimbangan gender. Sebab, bagaimanapun pandangan dan keputusan seseorang akan terpengaruh bias gender.”
Tags:

Berita Terkait