'Simalakama' Rangkap Jabatan: Mengawal Kepentingan Pemerintah dan Potensi Korupsi
Berita

'Simalakama' Rangkap Jabatan: Mengawal Kepentingan Pemerintah dan Potensi Korupsi

Fenomena rangkap jabatan perlu perbaikan. Dua opsi bagi pemerintah. Hilangkan rangkap jabatan atau kalaupun harus rangkap jabatan untuk BUMN tertentu, harus ada standar etika yang jelas demi mencegah terjadinya conflict of interest.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Diskusi kanal KPK bertemakan
Diskusi kanal KPK bertemakan
KPK, Ombudsman, dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencoba memotret fenomena rangkap jabatan pejabat pemerintah di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan sejenis, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Banyak pejabat pemerintah yang merangkap jabatan menjadi Komisaris/Dewan Pengawas BUMN.

Ombudsman sendiri telah menerima sejumlah aduan terkait rangkap jabatan ini. Berdasarkan penelusuran sementara, dari 144 BUMN atau badan sejenis, terdapat 541 jabatan Komisaris/Dewan Pengawas. Dari 541 jabatan Komisaris, Ombudsman menemukan sekitar 41 persen atau 222 yang merangkap jabatan sebagai pejabat pemerintah.

"Misal, Dirjen (Direktur Jenderal) di Kementerian Keuangan, hampir semua (pejabat) eselon I-nya merangkap sebagai komisaris. Bahkan, ada yang lebih dari satu BUMN," kata Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih dalam Diskusi Kanal KPK bertema "Membedah Rangkap Jabatan Pejabat Pemerintah" beberapa waktu lalu.

Sesuai temuan sementara Ombudsman, rangkap jabatan terbanyak terjadi di dua kementerian, yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR). Akan tetapi, peringkat ini masih bisa berubah setelah Ombudsman melakukan verifikasi dan konfirmasi terhadap kementerian terkait.

Menilik ke belakang, fenomena rangkap jabatan sudah ada sejak era orde baru. Bisa jadi, dahulu salah satu alasan rangkap jabatan pejabat pemerintah adalah kurangnya gaji dari satu jabatan. Namun, apa alasan itu masih relevan? Sebab, seperti contoh yang disampaikan Alamsyah tadi, hampir semua eselon I Kemenkeu merangkap Komisaris BUMN.
Menurut Alamsyah, remunerasi pejabat Kemenkeu sudah tinggi, fasilitas pun terjamin.

Lantas, untuk apa lagi mereka merangkap jabatan sebagai Komisaris/Dewan Pengawas BUMN? Dengan rangkap jabatan, tentu "rangkap" penghasilan pula. Dan, asal tahu saja, penghasilan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN terbilang cukup besar.

Berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor : PER—04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor : PER-02/MBU/06/2016, penghasilan Dewan Komisaris BUMN tidak hanya bersumber dari gaji/honorarium.
BAB II
A. JENIS PENGHASILAN
2. Penghasilan anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN dapat terdiri dari :
a. Honorarium ;
b. Tunjangan, yang terdiri atas : 1) Tunjangan hari raya; 2) Tunjangan transportasi; 3) Asuransi purna jabatan.
c. Fasilitas, yang terdiri atas : 1) Fasilitas kesehatan; 2) Fasilitas bantuan hukum; dan
d. Tantiem/Insentif Kinerja, dimana di dalam Tantiem tersebut dapat diberikan tambahan berupa Penghargaan Jangka Panjang (Long Term Incentivel LTI)

Mengacu Peraturan Menteri BUMN tersebut, gaji/honorarium Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas sebesar 45 persen dari Direktur Utama. Sementara, gaji anggota Dewan Komisaris/anggota Dewan Pengawas adalah 90 persen dari Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas. Begitu pula dengan komposisi tantiem.
E. TANTIEM/INSENTIF KINERJA
4. Pemberian Tantiem/IK tidak boleh melebihi Anggaran Tantiem/IK yang telah ditetapkan dalam RKAP Komposisi besarnya Tantiem/IK bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN mengikuti Faktor Jabatan sebagai berikut :
a. Anggota Direksi : 90% dari Direktur Utama;
b. Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas : 45% dari Direktur Utama;
c. Anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas : 90% dari Komisaris Utama/ Ketua Dewan Pengawas.

Bayangkan, jika gaji Direktur Utama BUMN Rp271,26 juta per bulan. Gaji seorang Komisaris Utama bisa mencapai Rp122,067 per bulan. Itu baru gaji. Belum tunjangan, tantiem, bonus, dan lain-lain. Untuk melihat seberapa besar pengeluaran BUMN untuk membayar gaji dll Dewan Komisaris, kita dapat melihat pengeluaran Bank Mandiri pada tahun 2016.

Mengutip "Laporan Tahunan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Tahun 2016", gaji, tunjangan, bonus, tantiem, imbalan jangka panjang untuk Dewan Komisaris, Direksi, Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko, Dewan Pengawas Syariah serta Senior Executive Vice President dan Senior Vice President per 31 Desember 2016, seluruhnya Rp986.140.000.000.

Untuk Dewan Komisaris sendiri, pengeluaran Bank Mandiri per 31 Desember 2016 berjumlah Rp129.694.000.000 dengan rincian : gaji dan tunjangan Rp53.355.000.000, bonus dan tantiem Rp72.662.000.000, imbalan kerja jangka panjang Rp3.667.000.000. Jadi, dapat dibayangkan, berapa besarnya penghasilan pejabat pemerintah yang merangkap Komisaris BUMN.

Padahal, Alamsyah mengungkapkan, para pejabat pemerintah itu adalah pelaksana pelayanan publik. Pelaksana pelayanan publik dimaksud, antara lain Dirjen-Dirjen di Kementerian. Pasal 17 UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara jelas melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
UU Pelayanan Publik
Pasal 1
(5) Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Pasal 17
Pelaksana dilarang :
a. merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah;
Pasal 54
(7) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 15 huruf b, huruf e, huruf j, huruf k, dan huruf l, Pasal 16 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, Pasal 17 huruf a dan huruf d, Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22, Pasal 28 ayat (4), Pasal 33 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), Pasal 48 ayat (2), serta Pasal 50 ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi pembebasan dari jabatan.

Jika pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN, sambung Alamsyah, berarti dia telah melanggar UU Pelayanan Publik. Dalam hal ini, instansi terkait, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dan Kementerian BUMN dapat melakukan tindakan korektif.  

Conflict of interest vs interest pemerintah
Alamsyah berpendapat, rangkap jabatan pelaksana pelayanan publik sebagai Komisaris BUMN lebih banyak mudharat-nya ketimbang manfaatnya. Selain melanggar UU Pelayanan Publik, rangkap jabatan tersebut juga melanggar etika penyelenggaraan pemerintahan. Ia melihat sejumlah permasalahan.

Pertama, bahaya atau potensi conflict of interest (konflik kepentingan). Terkadang, jabatan itu justru menjadi tempat untuk mengusulkan sanak saudara menjadi staf di BUMN. Kedua, penempatan pejabat sebagai Komisaris BUMN yang tidak sesuai dengan kompetensi dan kapabilitasnya. Ketiga, penghasilan ganda.

Alamsyah melanjutkan rangkap jabatan bisa berujung pada tindakan maladministrasi. Meski sanksinya hanya administrasi, ia meminta persoalan ini tidak dipandang sepele. Sebab, bila Ombudsman mengeluarkan rekomendasi rangkap jabatan itu keliru secara administrasi, maka semua hak administratif, seperti gaji tidak sah alias "haram".

"BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bisa mencatatnya sebagai temuan, dan kemudian kalau dia nilainya sudah sampai miliar-miliar itu, KPK tidak boleh diam. Kira-kira begitu. Jadi, maksud saya, jangan dianggap enteng kekeliruan administratif, karena dia punya konsekuensi pidana di kemudian harinya," ujarnya.

Pandangan sedikit berbeda disampaikan Komisioner KASN Waluyo Martowiyoto. Walau sepakat rangkap jabatan dapat berpotensi menimbulkan conflict of interest yang merupakan akar dari korupsi, ia menilai sah-sah saja melakukan rangkap jabatan. Asal, kompetensi pejabat itu sesuai dan mampu mengelola kemungkinan terjadinya conflict of interest.

Menurutnya, apabila pejabat tersebut mampu mengelola kemungkinan conflict of interest, hal itu bentuk pencegahan korupsi yang paling baik. Di sisi lain, Waluyo berpendapat pemerintah memang perlu menempatkan pejabatnya sebagai Komisaris BUMN untuk merepresentasikan pemerintah dan mengawasi keberlangsungan program pemerintah.

"Kalau Dirjen di Kementerian ESDM jadi Komisarisnya Pertamina, memang ada interest pemerintah mengawasi supaya programnya pemerintah (jalan), umpamanya program Public Service Oblogation (PSO), BBM (bahan bakar minyak) satu harga untuk seluruh nusantara, program jaringan gas. Nah, itu kan pas (kompetensinya)," dalihnya.

Namun, ada satu permasalahan. Waluyo membeberkan, meski pejabat yang merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN itu sangat ahli/kompeten dalam bidangnya, seringkali mereka tidak memiliki banyak waktu. Mereka sering tidak dapat hadir dalam rapat dan untuk meminta persetujuan pun harus mengejar sampai ke kantor kementeriannya.

Idealnya, pejabat pemerintah yang merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN bertugas memberikan arahan dan pengawasan. Faktanya, berdasarkan pengalaman Waluyo, khusus rangkap jabatan dari pejabat/pimpinan tinggi, lebih banyak memberikan arahan ketimbang pengawasan. Pengawasan lebih banyak dilakukan unsur lain, seperti Komisaris Independen.

Terkait dengan penghasilan ganda, Waluyo mengatakan, sangat tergantung pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, prinsipnya, bila mengacu teori manajemen dan remunerasi, pemberian remunerasi harus sepadan dengan apa yang bisa dikontribusikan. "Orang ahli (kompeten) kalau tidak punya waktu, apa manfaatnya," ucapnya.

BUMN dalam pusaran Korupsi
Ketua KPK Agus Rahardjo berpendapat, rangkap jabatan pejabat pemerintah sebagai Komisaris BUMN memiliki potensi conflict of interest yang sangat besar. Ia termasuk orang yang menolak adanya praktik rangkap jabatan, meski sesuai pernyataan Waluyo sebelumnya, ada kepentingan pemerintah yang harus diawasi di BUMN.

"Arahan cukup sekali saja, guide line (cukup) dari pemerintah. Misal, harus menyelenggarakan harga ke seluruh Indonesia satu harga. itu cukup policy dari pemerintah saja, tapi kalau sampai orangnya masuk (ke BUMN), kemudian kenyataannya waktunya saja tidak ada, sering dicari-cari, kalau apa-apa, tanda tangan malah diburu ke kantornya," kritiknya.

Sekalipun pejabat yang merangkap jabatan memiliki kesesuaian kompetensi, Agus menilai, kesesuaian tersebut tidak menjamin si pejabat bebas dari conflict of interest dan korupsi. Justru, bisa jadi, benturan kepentingan itulah yang mempengaruhi atau bahkan "menjerumuskan" BUMN ke dalam pusaran korupsi.  

"Conflict of interest-nya sungguh sangat besar. Tapi, ini yang kemudian mempengaruhi tingkah laku dari BUMN itu tidak bisa lepas dari kasus korupsi tadi. Bayangkan saja, yang namanya Hutama Karya, Pembangunan Perumahan, Adhi Karya itu, sebagian besar komisarisnya orang (Kementerian) PU, bagaimana coba? Ini kan benturan kepentingannya nyata sekali," ujarnya.

Berikut sejumlah perkara yang pernah ditangani KPK yang berkaitan dengan BUMN :
Tags:

Berita Terkait