Ini Alasan Pemerintah Bubarkan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia
Berita

Ini Alasan Pemerintah Bubarkan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia

Dinilai bertentangan dengan undang-undang. Aktifitas yang dilakukan dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Menkopolhukam Wiranto didampingi Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna H Laoly, Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat memberi keterangan pers. Foto: RES
Menkopolhukam Wiranto didampingi Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna H Laoly, Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat memberi keterangan pers. Foto: RES
Pemerintah secara resmi membubarkan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemerintah memandang sebagai Ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

Seperti dilansir laman Setkab, pengumuman pembubaran HTI itu disampaikan oleh Menko Polhukam Wiranto dalam konperensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (8/5) siang. Saat menyampaikan pengumuman pembubaran itu, Menko Polhukam didampingi oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly.

Menko Polhukam menegaskan, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. (Baca Juga: PP Organisasi Kemasyarakatan Diteken Presiden, Begini Isinya)

“Aktifitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” kata Wiranto.

Dengan berbagai pertimbangan diatas, serta menyerap aspirasi masyarakat, lanjut Menko Polhukan, Pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI.

“Keputusan ini diambil bukan berarti Pemerintah anti terhadap ormas Islam, namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945,” kata Wiranto. (Baca Juga: Begini Isi PP tentang Ormas yang Didirikan WNA)

Sekadar catatan, dalam sebuah tulisannya terkait pembubaran Ormas, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri berpendapat, Pemerintah perlu berpedoman pada peraturan perundang-undangan, terutama UU Ormas.   

Bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, keputusan membubarkan ormas dianggap sebagai salah satu bentuk sanksi. Sanksi terhadap ormas diatur dalam Pasal 60 sampai Pasal 80 UU Ormas. Secara eksplisit, tidak akan ditemukan jenis sanksi dalam format pembubaran.

Menurut Ronald, sekalipun ormas penolak Pancasila bisa dijerat karena melanggar UU Ormas Pasal 21 huruf b “menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” dan Pasal 59 ayat (4) “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”, namun sanksi pembubaran tidak dapat diberlakukan.

Pasal 61 UU Ormas hanya menyebutkan sanksi administrasi yang terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atau status badan hukum. “Jadi, ormas penolak Pancasila bisa dikenakan sanksi administrasi, mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan SKT atau status badan hukum, bukan pembubaran,” tulis Ronald.

Jika diasumsikan ormas penolak Pancasila sudah lebih dulu diberi peringatan tertulis hingga tiga kali sesuai Pasal 62 ayat (1), maka langkah selanjutnya adalah menghentikan bantuan dan/atau hibah. Bagaimana jika ormas (penolak Pancasila) tidak menerima bantuan dan/atau hibah dari Pemerintah? Begitu pula jika ormas penolak Pancasila sejak awal memilih tidak mendaftarkan diri dan memiliki SKT, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 jelas menegaskan bahwa SKT tidak lagi bersifat wajib. Tentu saja, kata Ronald, sanksi pencabutan SKT menjadi tidak relevan.

Ketika ormas penolak Pancasila tidak berwujud badan hukum seperti yayasan atau perkumpulan, maka sanksi pencabutan status badan hukum tidak cocok pula. Andaikata berbadan hukum (yayasan atau perkumpulan), maka ketika melanggar ketentuan Pasal 21 huruf b dan Pasal 59 ayat (4) UU Ormas, status badan hukum ormas penolak Pancasila akan dicabut. Eksistensi secara organisasi tetap akan ada, hanya tidak berbadan hukum dan bukan lantas dipahami bubar.

“Sekali lagi, dari jenjang pemberian sanksi sesuai Pasal 61 UU Ormas, tidak ada nomenklatur sanksi berjenis pembubaran,” tulis Ronald.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, bahwa pemerintah dapat membubarkan Ormas anti Pancasila untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Pembubaran ormas-ormas anti Pancasila, tegas Presiden, bukan untuk menghambat proses demokrasi di Indonesia.

“Kita berada di negara yang berdemokrasi. Di negara demokratis ini silakan sampaikan pendapat, silakan bila ingin berdemo. Tapi ada aturan yang harus diikuti, yakni tidak mengganggu yang lain dan bisa menjaga ketertiban keamanan kota maupun negara,” kata Jokowi. (Baca Juga: Antisipasi Ormas Anti Pancasila, UU Ormas Bakal Direvisi)

Kalau sudah mengganggu, lanjut Presiden, itu yang hendak dilakukan sesuatu oleh Menko Polhukam. Presiden berharap agar permasalahan ini tidak sampai menghabiskan energi yang semestinya dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif. Namun, ia memastikan bahwa rencana Menko Polhukam itu murni untuk penegakan keamanan dan ketertiban.

“Jangan sampai energi kita habis untuk urusan-urusan yang tidak produktif. Apa akan terus kita ulang-ulang seperti ini? Tidak! Saya sampaikan ini, tidak!,” tegas Presiden.

Karena itu, Presiden Jokowi menegaskan kalau ada gerakan yang berpotensi mengganggu keamanan, itulah yang akan dilakukan nantinya oleh Menko Polhukam.

Tags:

Berita Terkait