Tersangka Korupsi BLBI Praperadilankan KPK
Utama

Tersangka Korupsi BLBI Praperadilankan KPK

KPK siap hadapi praperadilan mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 ini mendaftarkan permohonannya pada Kamis, 4 Mei 2017. Praperadilan Syafruddin teregister dengan normor perkara 49/Pid.Pra/2017/PNJKT.SEL. Ada sejumlah permohonan yang dimintakan Syafruddin kepada pengadilan.

Berdasarkan unggahan petitum permohonan yang dikutip hukumonline dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, Syafruddin meminta pengadilan menyatakan penyelidikan dan penyidikan perkaranya yang dilakukan KPK tidak sah. Ia juga meminta pengadilan menyatakan tidak sah seluruh administrasi dan tindakan yang menyertai penyidikan perkaranya.

"Menyatakan tidak sah seluruh administrasi penyidikan yang terkait dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Dik-19/01/03/2017 tanggal 20 Maret 2017 yang diterbitkan oleh Termohon dalam perkara a quo, tindakan-tindakan lain selama perkara a quo berlangsung, dan penyidikan-penyidikan lanjutan terkait dengan perkara tersebut yang dilakukan oleh Termohon dengan melibatkan Pemohon terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim," demikian salah satu petitum permohonan Syafruddin.

Adapun alasan Syafruddin meminta pengadilan menyatakan tidak sah penyidikan dan penyelidikan perkaranya. Pertama, KPK dianggap tidak memiliki dua alat bukti yang cukup sesuai Pasal 184 KUHAP untuk menerbitkan Sprindik dan menetapkan Syafruddin sebagai tersangka. Kedua, penyelidikan yang dilakukan KPK tidak berdasarkan hukum, karena pengangkatan penyelidik KPK tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 4 KUHAP dan Pasal 39 ayat (3) UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK.

Masih dalam unggahan petitum permohonan praperadian Syafruddin. Mantan Ketua BPPN ini meminta agar pengadilan menyatakan KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pemberian SKL kepada Sjamsul. Sebab, perkara itu dinilai sebagai perdata yang harus diselesaikan pengadilan umum dalam lingkup hukum perdata pula.

Kemudian, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 28I UUD 1945, UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dinilai tidak dapat berlaku surut terhadap perbuatan hukum pemberian SKL kepada Sjamsul yang didasarkan pada Perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) tanggal 21 September 1998.

Selain itu, perkara pemberian SKL yang didasarkan pada perjanjian MSAA tersebut dianggap Syafruddin telah daluwarsa. Pemberian SKL pada 26 April 2004 kepada Sjamsul juga disebut sebagai pelaksanaan perintah jabatan (ambtelijk bevel) yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, sehingga berdasarkan Pasal 51 ayat (1) KUHP tidak dapat dipidana. Baca Juga: Presiden Jokowi: Bedakan Kebijakan dan Pelaksanaan BLBI


Dengan demikian, Syafruddin meminta pengadilan untuk mengabulkan seluruh permohonan praperadilannya, termasuk menyatakan tidak sah pencegahan bepergian ke luar negeri yang diajukan KPK, serta mengembalikan harkat dan martabatnya seperti semula.

Terkait permohonan praperadilan yang diajukan Syafruddin, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Biro Hukum KPK telah menerima panggilan sidang dari PN Jakarta Selatan. Sidang pertama akan dilaksanakan pada 15 Mei 2017. "Kami akan hadapi dengan argumentasi lebih lanjut," katanya, Selasa (9/5/2017).

Tentu, KPK akan menjawab secara rinci dalam sidang praperadilan. Meski begitu, Febri menegaskan, ruang lingkup penyidikan yang dilakukan KPK terjadi dalam rentang waktu 2002-2004. Objek perkara yang disidik KPK pun bukan perjanjian perdata (MSAA) yang diteken pemerintah dan Sjamsul.

Menurutnya, objek perkara yang disidik KPK adalah dugaan korupsi terkait penerbitan SKL terhadap obligor BLBI, Sjamsul yang diduga dilakukan SAT bersama-sama pihak lain. SAT diduga menerbitkan SKL sebelum Sjamsul melunasi kewajibannya. Alhasil, KPK menduga negara dirugikan setidaknya Rp3,7 triliun.

Mengenai dalil SAT yang menganggap UU Tipikor tidak dapat berlaku surut dan pemberian SKL kepada Sjamsul sebagai pelaksanaan perintah jabatan, KPK juga akan mempelajarinya. Febri menyatakan, sebagai pejabat, SAT memiliki kewenangan. "Namun, apakah kewenangannya itu dilaksanakan secara benar atau sewenang-wenang," imbuhnya.

Dalam sidang praperadilan, sambung Febri, KPK akan memperkuat argumennya dengan menunjukan sejumlah bukti. Secara formil KPK akan menunjukan bukti-bukti yang menjadi dasar untuk meningkatkan suatu perkara ke tahap penyidikan. Syarat penetapan tersangka adalah memiliki bukti permulaan yang cukup.

Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor : Sprin.Dik-19/01/03/2017 tanggal 20 Maret 2017. Syafruddin diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait pemberian SKL kepada Sjamsul selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004.

Penerbitan SKL berkaitan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI, Sjamsul kepada BPPN. Sebelum menerbitkan SKL, pada Mei 2002, Syafruddin mengusulkan agar Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui perubahan proses litigasi menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset obligor Sjamsul kepada BPPN senilai Rp4,8 triliun.

Berdasarkan hasil restrukturisasi terhadap Rp4,8 triliun itu, disimpulkan hanya Rp1,1 triliun yang suistanable dan dapat ditagihkan kepada petani tambak. Sementara, Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Syafruddin diduga menerbitkan SKL, meski Sjamsul belum melunasi kewajibannya.

Akibatnya perbuatan Syafruddin, KPK menduga negara dirugikan setidaknya Rp3,7 triliun. Syafruddin disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Baca Juga: Babak Baru Penanganan Korupsi BLBI VS Klaim Lunas Sjamsul Nursalim
Tags:

Berita Terkait