Eksekusi Tak Semudah Membalik Telapak Tangan
Edsus Sengketa Informasi:

Eksekusi Tak Semudah Membalik Telapak Tangan

Badan publik belum sukarela membuka dokumen publik yang diperintahkan pengadilan.

Oleh:
ADY/NEE
Bacaan 2 Menit
Salah satu diskusi mengenai badan publik yang diselenggarakan Komisi Informasi Pusat. Foto: NNP
Salah satu diskusi mengenai badan publik yang diselenggarakan Komisi Informasi Pusat. Foto: NNP
Amanah UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik  (UU KIP) sangat jelas, setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana. Ia menjadi asas dalam rezim keterbukaan informasi publik, termasuk ketika terjadi sengketa.

Tampaknya asas itu belum sepenuhnya dijalankan dan terwujud dalam penyelesaian sengketa informasi publik. Selama tujuh tahun berlakunya UU KIP, tak mudah meyakinkan badan publik untuk memberikan informasi yang diminta pemohon meskipun sudah melalui proses panjang. (Baca juga: Putusan Kasasi: Dari Jawaban Ujian Mata Kuliah Hukum Hingga Dokumen Kontrak).

Setidaknya, begitulah pandangan Linda Rosalina dalam perbincangan dengan Hukumonline, pertengahan April lalu. Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) ini melihat belum semua badan publik menjalankan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik itu, baik di tingkat pusat dan daerah. Masih ada informasi publik yang belum dibuka oleh badan publik sehingga pemohon harus menggunakan mekanisme sengketa informasi. Sialnya, proses sengketa tidak sebentar, butuh waktu sampai 100 hari kerja, bahkan lebih. Sekalipun sengketa itu dimenangkan pemohon sampai tingkat kasasi, belum tentu informasi yang dimaksud itu bisa langsung diberikan oleh badan publik.

Linda menceritakan pengalaman FWI bersengketa informasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). FWI meminta dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. Kementerian ogah memberikan hingga akhirnya timbul sengketa informasi. Penyelesaian lewat Komisi Informasi Pusat pun tak cukup. Kementerian ATR/BPN mengajukan keberatan ke PTUN Jakarta, bahkan sampai kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya? Dokumen HGU adalah informasi publik yang data diakses.

Sejak 10 April 2017 FWI telah menerima salinan putusan dari kepaniteraan PTUN Jakarta tentang putusan kasasi itu. Tapi hingga wawancara dengan Linda, BPN belum menyerahkan dokumen yang dimaksud. “Menurut aturan kan mestinya dokumen itu segera diserahkan paling lambat 14 hari setelah putusan, tapi sekarang sudah lewat dan dokumen itu belum dibuka,” katanya.

Walau sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap, ternyata tidak memberikan jaminan bagi pemohon untuk dapat menerima dokumen yang disasar secara cepat dan tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana sebagaimana mandat UU Keterbukaan Informasi Publik. Linda mengatakan FW bukan kali ini saja sulit melakukan eksekusi terhadap putusan sengketa informasi.

Sebelumnya, hal serupa pernah dialami FWI ketika bersengketa informasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Walau prosesnya tidak sampai tingkat kasasi, tapi proses eksekusi juga sulit dijalankan. Butuh waktu sekitar 6 bulan setelah terbit putusan banding PTUN Jakarta sampai akhirnya FWI mendapat dokumen yang diminta. Dokumen itu diantaranya Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) dan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) di atas 6 ribu meter kubik serta izin pemanfaatan kayu (IPK). “Itu pun proses eksekusinya dilakukan FWI tanpa bantuan pengadilan. FWI melakukan lobi-lobi dan menggalang dukungan publik,” ujar Linda.

Untungnya, setelah perkara itu KLHK menerbitkan surat edaran sampai ke tingkat daerah yang intinya berbagai dokumen yang sempat disengketakan itu bersifat terbuka. Bagi Linda hal ini patut dilakukan oleh badan publik sehingga ke depan masyarakat mudah mengakses dokumen itu karena pengadilan sudah memutuskan sifatnya terbuka untuk publik. Dia berharap hal yang sama juga dilakukan BPN, menerbitkan surat edaran sampai ke daerah untuk menegaskan HGU merupakan dokumen terbuka.

Sulitnya mengeksekusi putusan sengketa informasi juga dirasakan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Koordinator JATAM, Merah Johansyah, mengatakan ada satu perkara sengketa informasi yang dimohonkan JATAM berproses sampai tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Perkaranya mengenai permohonan informasi tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara kepada dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).

Butuh waktu lama
Pasal 2 ayat (3) UU KIP jelas menyebutkan “setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana”. Tepat waktu mengandung arti pemenuhan atas permintaan informasi dilakukan sesuai jangka waktu yang sudah ditentukan dalam UU KIP dan peraturan pelaksanaannya. Sederhana berarti informasi yang diminta dapat diakses dengan mudah dalam hal prosedur dan mudah juga untuk dipahami. Biaya ringan bermakna biaya yang dikenakan secara proporsional berdasarkan standar biaya pada umumnya.

Berdasarkan pengalaman FWI, Jatam, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) ternyata tak mudah ‘memaksa’ agar termohon menyerahkan informasi yang diminta. Badan publik enggan menjalankan putusan sengketa informasi secara sukarela. “Jalannya panjang dan berliku, dan berbiaya tinggi,” kata peneliti ICW yang selama ini konsen pada isu keterbukaan informasi, Febri Hendri.

ICW punya pengalaman panjang menangani sengketa informasi, antara lain tentang rekening gendut dan penggunaan dana BOS. Lembaga advokasi gerakan antikorupsi ini bahkan sampai merogoh kocek untuk mengajukan permohonan eksekusi ke PN Jakarta Selatan. Padahal tak ada pasal mengenai eksekusi itu dalam UU KIP. (Baca juga: ICW Daftarkan Permohonan Eksekusi Sengketa Informasi).

Jatam juga pengalaman yang kurang lebih sama. Merah menghitung butuh waktu 3 tahun mulai dari awal proses sengketa sampai berhasil mengeksekusi suatu putusan. Untuk mengeksekusi putusan kasasi, Jatam melayangkan surat ke pengadilan untuk permohonan eksekusi. Setelah itu pengadilan menerbitkan surat eksekusi yang menjadi pegangan Jatam untuk meminta dokumen IUP kepada dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kukar.

Untungnya, proses eksekusi itu berjalan lancar. Merah menyebut dokumen yang diperintahkan pengadilan untuk dibuka kepada publik itu diberikan termohon kepada Jatam sebelum putusan PK. Tapi ke depan perlu diatur agar ada petugas pengadilan yang mendampingi proses eksekusi sehingga posisi pemohon lebih kuat. Selain itu untuk mencegah upaya rekayasa, manipulasi, dan penyelewengan di lapangan. Misalnya, termohon tidak memberikan informasi yang sebenarnya.

“Butuh peraturan apapun bentuknya baik itu Peraturan Komisi Informasi atau Peraturan Mahkamah Agung untuk membantu proses eksekusi agar lebih efektif,” usul Merah.
Tags:

Berita Terkait