Regulasi Hambat Pengembangan Penelitian
Berita

Regulasi Hambat Pengembangan Penelitian

Hasil penelitian di bidang hukum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
talkshow dan diskusi buku 25 Kisah Ilmuwan Indonesia yang Mendunia di Depok, Minggu (14/5). Foto: MYS
talkshow dan diskusi buku 25 Kisah Ilmuwan Indonesia yang Mendunia di Depok, Minggu (14/5). Foto: MYS
Banyak ilmuan asal Indonesia berkiprah di luar negeri sebagai peneliti. Selain mendapatkan honorarium yang lebih tinggi, para peneliti mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan badan usaha. Di Indonesia, pengembangan penelitian masih terkendala regulasi.

Demikian antara lain masalah yang mengemuka dalam acara talkshow dan bedah buku ’25 Kisah Ilmuwan Indonesia yang Mendunia’, di Depok, Minggu (14/5). Buku ini adalah edisi awal dari rencana menerbitkan kisah para peneliti asal Indonesia yang berkiprah dan menunjukkan prestasi sebagai peneliti di negara lain.

Buku ini berisi kisah 25 orang ilmuan Indonesia yang sukses di luar negeri, termasuk memiliki sejumlah paten atas penemuan-penemuan mereka di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, kisah tentang Dessy Irawati, perempuan ilmuan pertama yang memimpin Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional; Etin Anwar, anak pesantren yang mengajar di Amerika Serikat; Herawati Sudoyo, ilmuan DNA forensik Indonesia yang mendunia; dan Irwandi Jaswir, si pelopor Halal Science Dunia. Masih banyak tokoh lain yang disinggung dalam buku ini.

Tak ada jumlah pasti berapa ilmuan Indonesia yang memilih jadi peneliti di luar negeri. Sebagian bermukim dan bekerja di Jepang, Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia. Sebagian dari para peneliti itu ingin datang dan mengembangkan ilmunya di Indonesia, tetapi mereka terkendala sejumlah regulasi baik menyangkut keimigrasian maupun ketentuan importasi barang-barang yang dibutuhkan untuk penelitian. “Regulasi juga penting menurut saya,” kata Irawan Satriotomo, peneliti senior Universitas Florida Amerika Serikat.

Irawan, peneliti bidang neuroscience, mencontohkan regulasi yang menghambat pengiriman alat-alat kesehatan ke Indonesia. Selain sulit akibat banyaknya pintu birokrasi, mendatangkan alat-alat kesehatan membutuhkan biaya tinggi. Akibatnya, pasien harus membayar mahal di fasilitas kesehatan. “Padahal jika biaya masuk dikurangi, akan sangat membantu dan kualitas pelayanan kesehatan kita bisa semakin baik,” kata lulusan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta itu.

Dari sisi hukum, Indonesia memang punya UU No. 18 Tahun 2002  tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Di hampir setiap lembaga pemerintah ada divisi khusus penelitian dan pengembangan. Tetapi penelitian tak berkembang sebagaimana halnya di banyak negara, terutama pemanfaatan hasil penelitian. Pemanfaatan itu seharusnya mengarah pada research based-policy. (Baca juga: Sejumlah Masukan Peneliti Terkait Revisi UU Migas).

Kehadiran Undang-Undang itu saja ternyata tidak cukup. Regulasi, seperti kata Irawan, justru menjadi penghambat. Mendatangkan peneliti yang mumpuni ke Indonesia dalam rangka mengembangkan lembaga-lembaga penelitian juga dihadapkan pada persoalan keimigrasian. Jika peneliti berkewarganegaraan asing, ia harus kembali ke Singapura untuk mengurus dokumen keimigrasian dalam waktu tertentu sebelum kembali lagi ke Indonesia. Irawan berharap Pemerintah menaruh perhatian terhadap masalah ini. “Seharusnya Pemerintah memberikan perhatian dan kemudahan,” ujarnya dalam talkshow itu.

Pemerintah sebenarnya bukan tak perduli sama sekali. Besaran tunjangan peneliti telah diperhatikan. Pada era Presiden SBY terbit Perpres No. 100 Tahun 2012 tentang Tunjangan Fungsional Peneliti. Cuma, kalau dibandingkan dengan yang diperoleh peneliti di luar negeri, selisihnya sangat signifikan. (Baca juga: Wajib Dibaca! 6 Tips Dasar Peneliti Hukum).

Pemanfaatan hasil penelitian juga masih kurang. Padahal, selain aparat pemerintah, masyarakat juga berhak menggunakan dan seharusnya mengakses hasil penelitian yang didanai Pemerintah. Akses masyarakat terhadap hasil penelitian hukum, misalnya, disinggung dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 44 Tahun 2016  tentang Pemanfaatan Hasil Penelitian dan Pengembangan di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil penelitian itu dapat berupa laporan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang), buku hasil litbang, risalah kebijakan (policy brief), memorandum kebijakan (policy memo), dan tulisan dalam jurnal. (Baca juga: Teknologi Jadi Tantangan Profesi Hukum di Masa Mendatang).

Pasal 3 Permenkumham tadi mewajibkan setiap unit utama di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM untuk memanfaatkan hasil penelitian. Selain itu, instansi pemerintah pusat dan daerah dapat memanfaatkannya. Demikian pula anggota masyarakat. Hasil penelitian dimaksud dimanfaatkan sebagai bahan pembangunan hukum nasional dan rekomendasi kebijakan.
Tags:

Berita Terkait