Ahli Ini Sebut Pasal Penggusuran Masih Diperlukan
Berita

Ahli Ini Sebut Pasal Penggusuran Masih Diperlukan

Pihak Terkait, Aktivis Ciliwung Merdeka akan menghadirkan LBH Jakarta dan 5 ahli, seperti ahli arsitek tata ruang, keuangan negara, ahli sosial dan psikologi.

Oleh:
AID
Bacaan 2 Menit
Beberapa bocah Luar Batang mengumpulkan barang-barang dari kumpulan sampah pasca penggusuran. Foto: RES
Beberapa bocah Luar Batang mengumpulkan barang-barang dari kumpulan sampah pasca penggusuran. Foto: RES
Sidang uji materi beberapa pasal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Prp Tahun 1960  tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Kini, sidang dengan perkara No. Perkara 96/PUU-XIV/2016, giliran mendengarkan keterangan ahli dari pihak DPR dan saksi dari Pemohon.

Dalam keterangannya, Ahli DPR Nurhasan Ismail mengatakan UU ini masih diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak dan kepentingan publik atas bagian-bagian tanah yang langsung dikuasai negara terutama berfungsi untuk mencegah terjadinya bencana banjir dan longsor.

“Untuk tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara UU ini masih diperlukan untuk mencegah penggunaan, pemakaian tanah yang bisa berdampak terjadinya bencana dan mengancam hak-hak warga masyarakat yang lebih luas lagi serta memberikan ruang terbuka hijau perkotaan,” kata Nurhasan dalam sidang kesembilan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Tentu, kalau ini bisa dilakukan lebih tepat pemerintah mampu melakukan cadangan-cadangan atau objek reformasi agraria, sehingga dapat digunakan untuk menciptakan pemerataan dalam pemilikan dan penggunaan tanah. “Kalau saya baca pasal-pasal dan penjelasan umum UU No. 51 PRP Tahun 1960 dalam penyelesaian yang diharapkan bukan sifatnya hitam-putih, tetapi ada yang kalah dan menang,” ujarnya. (Baca juga: Begini Keluhan Korban Penggusuran di Sidang MK)

Menurut Nurhasan, UU No. 51 PRP Tahun 1960 bukan hanya sekadar untuk mengatasi persoalan darurat pemakaian tanah tanpa izin yang begitu sangat masif saat itu. Namun, juga dimaksudkan sebagai instrumen untuk mencegah dan mengatasi pemakaian-pemakaian tanah tanpa izin yang berhak yang berpotensi terjadi di masa-masa yang akan datang.

Merujuk UU Nomor 51 PRP Tahun 1960 yang ditujukan mencegah, mengatasi terjadinya tindakan-tindakan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, maka pasal-pasal itu masih relevan untuk diberlakukan pada kondisi sekarang dan akan datang. “Kenapa begitu? Saya ingin katakan UU ini masih diperlukan untuk memberikan perlindungan atau dukungan perlindungan terhadap hak-hak atau kepentingan perseorangan atau badan hukum, pemegang hak atas tanah yang tidak menelantarkan tanah.”

Dalam beberapa kasus, Hasanudin mengungkapkan ada tindakan-tindakan pemakaian tanah yang berpola mafia. Jadi pola-pola mafia dalam pemakaian tanah tanpa izin yang berhak terjadi. Bahkan, sekelompok orang yang dengan sangat sistematis melakukan tindakan-tindakan menjual secara informal tanah-tanah ini kepada siapapun yang berminat.

“UU ini masih diperlukan untuk memberikan perlindungan atau dukungan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan warga masyarakat hukum adat dari tindakan pemakaian tanpa izin. Dari masyarakat hukum adat atas bagian-bagian tanah atau bagian-bagian dari hutan adat,” tegasnya.

Tidak relevan
Usai persidangan, pihak terkait Sandiyawan Sumardi mengatakan sebaliknya bahwa UU ini sudah tidak relevan. Prinsip domein verklaring  (hak menguasai negara) yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda sudah tidak tepat. (Baca juga: Sejarawan Sebut Pasal Penggusuran Berjiwa Kolonialisme)

“Tadi menurut ahli DPR dikatakan harus ada syarat musyawarah dalam melakukan penggusuran. Tapi praktiknya tidak ada sama sekali, sementara banyak warga yang belum mempunyai sertifikat,” kata Sandiyawan yang mengatasnamakan Aktivis Ciliwung Merdeka.

Faktanya, banyak warga baik yang sudah memiliki sertifikat ataupun yang tidak memiliki digusur secara paksa. “Karena sejak awal menggunakan konsep tanah negara itu milik negara. Padahal tanah negara milik negara itu tidak ada,” dalihnya.

Sesuai Pasal 33 UUD 1945 negara menguasai tanah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Sandiyawan menyebut penggusuran pasar ikan Luar Batang itu untuk kepentingan penyanggah reklamasi jika dilihat peruntukannya. “Tapi yang diungkapkan ahli DPR tadi menggunakan asas kekeluargaan bukan asas keadilan. Yang penting menurut kami adalah asas keadilan karena dalam praktiknya tidak ada keadilan itu,” ujarnya.

Menanggapi ahli yang menyebut UU ini jika tidak diterapkan timbul mafia-mafia tanah, menurut Sandiyawan, justru yang berpraktik mafia tanah itu adalah pengembang. Buktinya dimana-mana tanah rakyat diambil oleh pengembang. “De facto-nya begitu,” katanya. (Baca Juga: Begini Bantahan Pemerintah Soal Uji Pasal Penggusuran)

Menurutnya, adanya UU Pokok-Pokok Agraria (UU PA) sebenarnya otomatis menghapuskan UU No. 51 Tahun 1960. “Bukan seperti yang dikatakan keterangan ahli tadi transisi dari zaman penjajahan ke zaman kemerdekaan. Transisi itu hanya di dalam pikiran. Bagaimana bisa memahami transisi pemikiran di kepala dan hati orang lain? Intinya, UU ini tidak mengikuti UU PA sama sekali,” tegasnya.

Dia menambahkan sidang berikutnya akan menghadirkan keterangan dari pihak LBH Jakarta dan ahli. Pihaknya, akan mengajukan lima ahli berdasarkan keahlian berbeda-beda. Seperti, ahli arsitek tata ruang, keuangan negara, ahli sosial dan psikologi.
Tags:

Berita Terkait