4 Faktor Wajib Pajak Simpan Dana di Tax Heaven
Berita

4 Faktor Wajib Pajak Simpan Dana di Tax Heaven

Salah satunya adalah rendahnya kepastian hukum.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi publik dengan tema
Suasana diskusi publik dengan tema " Menguak Tabir Kejahatan Pajak di Indonesia, Jakarta (15/5). Foto: RES
Negara-negara dengan tarif pajak yang rendah atau lebih dikenal dengan tax heaven memang menjadi sasaran orang-orang berduit untuk menyimpan dananya. Namun, apakah benar tarif pajak yang rendah menjadi satu-satunya alasan Wajib Pajak (WP) khususnya Indonesia menyimpan dananya di Negara tax heaven?

Direktur Eksekutif Katadata Metta Dharmasaputra menyampaikan bahwa pertimbangan WP yang memilih untuk memarkirkan sejumlah dananya di Negara tax heaven bukan karena semata karena tarif yang rendah. Ia menilai ada empat hal yang melatarbelakangi WP lebih memilih Negara tax heaven.

Pertama, mengenai tax rate. Metta membenarkan bahwa persoalan tax rate cukup mempengaruhi seseorang untuk menyimpan dana atau membeli uang di Singapura ketimbang di dalam negeri. Hal tersebut dinilai wajar karena uang akan mengikuti arah yang lebih menguntungkan. Tetapi, menyimpan dana di Negara semacam Singapura tak bisa langsung dikategorikan sebagai kejahatan pajak. (Baca Juga: Tax Heaven Countries Mulai Disasar)

“Tapi saya kira ada masalah di negara kita. Kenapa orang beli uang di luar negeri, dan itu tak bisa dikaitkan orang itu sebagai penjahat, karena dia pertimbangkan tax rate,” kata Metta dalam diskusi mengenai perpajakan di Jakarta, Selasa (16/5).

Kedua, mengenai kepastian hukum. Kondisi penegak hukum di Indonesia yang rentan akan suap menyebabkan WP memilih menyimpan dana di Negara tax heaven atau menggunakan badan hukum luar negeri.

Mengapa? Karena dengan demikian, ketika konflik bisnis terjadi, maka jalur arbitrase menjadi pilihan. Ini menjadi fakta pahit yang harus diterima, apalagi, lanjutnya, selama ini kasus perkara perpajakan jarang disorot. Situasi ini menyebabkan perusahaan skala multinasional lebih memilih badan hukum internasional. (Baca Juga: Semoga Penerimaan Pajak Sebanding dengan Penyelesaian Kasus)

Ketiga, persoalan perizinan. Perizinan merupakan proses yang harus dilalui oleh investor untuk membentuk badan hukum di Indonesia. Dalam proses perizinan tersebut, kata Metta, tak jarang investor dihadapkan pada proses yang bertele-tele dan lama. Akibatnya, ketika bisnis opportunity dihadapkan pada proses perizinan yang lama bahkan bisa memakan waktu 15 tahun, maka investor memilih tax heaven yang bisa langung mengekseskusi bisnis opportunity.

“Kami pernah lihat, perusahaan migas dari hulu, dari dia datang sampai eksplorasi ada 360 izin dan rentang waktunya bisa 15 thn. Ketika bisnis opportunity dihadapkan pada izin yg lama yaa dia buat tax haven, bisa langsung eksekusi bisnis opportunity,” jelasnya.

Keempat, manajemen risiko. Untuk perusahaan yang memiliki skala global, biasanya risiko tidak hanya diletakkan pada satu wadah. Risiko perusahaan dipisahkan dengan membuat perusahaan cangkang di Negara tax heaven. (Baca Juga: Tiga Sumber Risiko Kebocoran Penerimaan Pajak)

“Misalnya Ketika BCA dijual oleh BPPN, raksasa-raksasa itu bertarung dan dimenangkan oleh Djarum yang bekerja sama dengan Varalog dan kemudian membentuk konsorsium Varido Investment yang adanya di Mauritius. Transaksi itu legal. Maka kalau ada investasi Djarum dan Varalog ada apa-apa, dengan BCA tidak langsung membakar induk perusahaannya,” tegasnya.

Sementara itu Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Awan Nurmawan Nuh menyampaikan bahwa terkait perusahaan multinasional yang menggunakan tarif tax heaven, saat ini masih dikaji oleh pemerintah di UU PPH. Yang terpenting saat ini, lanjutnya, pemerintah Indonesia harus meningkatkan operasi dan kerjasama Negara, memperluas bilateral channeling, automatic exchange of information (AEoI) dan saling bertukar informasi antar Negara.

“Ini semua menjadi isu dan konsen bersama. Tapi memang ada syaratnya. Secondary role kita sudah bekerjasama dengan OJK, tak hanya mengenai peraturan saja namun termasuk data security juga. Untuk skala multnasional, obatnya tak hanya tarif, tetapi lebih menguasai data, dan operasi antar Negara supaya bisa saling membantu dan mengawasi,” ungkapnya.

Sementara itu Manajer Riset ICW Firdaus Ilyas melihat perpajakan dari sisi pertambangan. Pajak pertambangan yang masuk berasal sumber daya alam, namun Ia melihat kontribusi terhadap penerimaan pajaknya tidak begitu signifikan. Bahkan jika melihat trend pajak sektor pertambangan beberapa tahun terakhir, kontribusinya justru menurun. Misalnya saja, di 2016 kontribusi pajak sektor pertambangan tak sampai Rp25 triliun. Padahal, polemik perebutan di sektor tersebut begitu besar.

"Konflik (pertambangan) besar, tapi penerimaan pajaknya tak begitu besar," katanya.

Jika merujuk pada data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, kepatuhan pelaporan SPT Tahunan di sektor pertambangan terutama minerba cenderung naik turun.  Untuk tahun 2011, perbandingngan yang lapor dan tidak lapor yakni 3.955 : 4.148, tahun 2012 4.055 : 4.048, tahun 2013 3.943 : 4.160, tahun 2014 3.795 : 4.308 dan 2015 3.580 : 4.523.

Sementara tax ratio pertambangan minerba yakni 2011 mencapai 12,09 persen, 2012 mencapai 8,49 persen, 2013 mencapai 4,94 persen, 2014 mencapai 4,43 persen, dan pada 2015 mencapai 4,72 persen.

Tags:

Berita Terkait