Buruh Perkebunan Butuh Perlindungan Khusus
Berita

Buruh Perkebunan Butuh Perlindungan Khusus

UU Ketenagakerjaan dinilai tidak mampu memberi perlindungan bagi buruh perkebunan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perkebunan. Foto: lcdc.law.ugm.ac.id
Ilustrasi perkebunan. Foto: lcdc.law.ugm.ac.id
Kritik parlemen Eropa terhadap industri kelapa sawit di Indonesia beberapa waktu lalu mendapat respon keras pemerintah. Intinya kritik itu menuding industri kelapa sawit di Indonesia bersinggungan dengan berbagai persoalan seperti deforestasi hutan dan HAM. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit mengamini sebagian kritik itu.

Direktur Eksekutif Organisasi Perjuangan dan Penguatan untuk Kerakyatan (OPPUK), Herwin Nasution, mengatakan ada persoalan HAM yang menimpa buruh perkebunan khususnya industri kelapa sawit. Dari penelitian yang dilakukan terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di Sumatera Utara sekitar tahun 2015, Herwin mendapat beberapa temuan mengenai kondisi buruh perkebunan.

Herwin mencatat hampir setengah buruh perkebunan di perusahaan itu berstatus tetap. Sisanya berstatus kontrak, harian lepas dan kernet (tidak mendapat upah dari perusahaan). Fasilitas kerja yang diberikan perusahaan sangat minim, bahkan buruh harus menyediakan peralatannya sendiri seperti masker, sarung tangan dan sepatu. Padahal pekerjaan yang dijalankan sifatnya manual, buruh perlu peralatan yang menunjang sekaligus melindungi dirinya dari resiko kerja.

Hampir sama seperti pelanggaran praktik ketenagakerjaan di industri manufaktur, Herwin mengatakan ada buruh kontrak dan harian lepas yang dipekerjakan secara terus-menerus sampai bertahun-tahun. Jarang dari mereka yang diangkat statusnya menjadi buruh tetap. Lebih ironis lagi buruh yang statusnya kernet, dia membantu pekerjaan yang dikerjakan buruh bagian penanaman tapi tidak mendapat upah dari perusahaan. Padahal peran kernet sangat penting guna menunjang buruh penanam untuk mencapai target memetik 2 ton kelapa sawit per hari setiap orang.

“Belum lagi buruh perempuan yang statusnya kontrak atau harian lepas, tidak mendapat hak normatif seperti cuti haid dan melahirkan. Padahal itu dijamin UU Ketenagakerjaan,” kata Herwin dalam diskusi di Jakarta, Kamis (18/5).

Ada juga persoalan kebebasan berserikat, Herwin mencatat buruh perkebunan yang berserikat sangat rentan dimutasi, diputus hubungan kerja dan diintimidasi. Kemudian ada pula masalah buruh anak. Sayangnya, dinas tenaga kerja tidak mampu bertindak sesuai kewenangannya. Dengan alasan keterbatasan SDM dan anggaran, berbagai kasus yang menimpa buruh perkebunan banyak yang tidak ditangani. Mengadukan perkara itu kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) butuh waktu panjang dan saat ini aduan mereka masih berproses.

Persoalan serupa juga dihadapi buruh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Direktur Eksekutif Lingkar Borneo, Agus Utomo, mengatakan upah buruh perkebunan kelapa sawit sangat rendah, besaran paling bawah tidak mengikuti ketentuan upah minimum. Itu sebagian temuan dari hasil investigasi Lingkar Borneo terhadap perkebunan kelapa sawit terbesar di Kalimantan Barat.

Bahkan tahun 2013 Agus menemukan dugaan perdagangan orang ketika ada sekitar 200 orang buruh dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, dijanjikan fasilitas dan tunjangan yang memadai. Tapi janji itu tak kunjung dipenuhi walau mereka sudah bekerja di perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, peraturan ketenagakerjaan yang ada saat ini belum mampu menyentuh kondisi buruh perkebunan. Dia berharap pemerintah punya aturan khusus yang memberi perlindungan menyeluruh terhadap buruh perkebunan. “Sampai saat ini pemerintah belum meratifikasi konvensi ILO No.110 Tahun 1958 tentang Perkebunan,” ujarnya.

Advokat publik YLBHI, Jane Tedjasaputra, menilai ada berbagai macam pelanggaran yang dialami buruh perkebunan. Misalnya, dalam peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan ada batasan untuk mempekerjakan buruh kontrak dan harian lepas, diantaranya tidak boleh mengerjakan pekerjaan yang sifatnya ada terus-menerus. “Untuk meningkatkan perlindungan bagi buruh perkebunan pemerintah perlu melakukan perbaikan legislasi dan ratifikasi konvensi ILO No.110 Tahun 1958,” usul Jane.

Program Officer ILO Indonesia dan Timor Leste, Irham Ali Saifuddin, berpendapat UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih berdekatan dengan kondisi ketenagakerjaan di industri manufaktur. Tapi bukan berarti pemerintah Indonesia kekurangan aturan untuk melindungi buruh perkebunan. Tercatat ada 8 konvensi pokok ILO yang sudah diratifikasi pemerintah antara lain mengenai anti diskriminasi, kebebasan berserikat, anti kerja paksa dan usia minimum bekerja.

“Kalau ada kemauan politik yang kuat, tanpa meratifikasi konvensi ILO No.110 Tahun 1958 pemerintah Indonesia bisa melakukan perlindungan terhadap buruh perkebunan,” urai Irham.

Irham menjelaskan ILO tidak bisa menekan negara anggota untuk meratifikasi sebuah konvensi. Ratifikasi itu bisa didorong oleh tripartit yang terdiri dari pemerintah, buruh dan pengusaha. Jika para pihak sepakat untuk melakukan ratifikasi, biasanya akan terbit amanat presiden (ampres) yang memerintahkan kementerian dan lembaga terkait untuk membahas konvensi itu bersama parlemen. Setelah diratifikasi, pemerintah Indonesia harus membuat laporan tahunan dan peraturan teknis untuk menjalankan konvensi.
Tags:

Berita Terkait