4 Tantangan Pemerintah Usai Terbitkan Perppu Akses Informasi Pajak
Berita

4 Tantangan Pemerintah Usai Terbitkan Perppu Akses Informasi Pajak

Mulai membuat ketentuan perlindungan data nasabah, hingga membangun sistem IT yang kuat.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
4 Tantangan Pemerintah Usai Terbitkan Perppu Akses Informasi Pajak
Hukumonline
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Sejatinya, Perppu ini diterbitkan demi keikutsertaan Indonesia dalam era pertukaran informasi secara otomatis terkait perpajakan atau yang dikenal Automatic Exchange of Information (AEoI). Pemerintah diberikan tenggat waktu hingga akhir Juni mendatang sedangkan UU KUP masih dalam pembahasan oleh DPR.

Namun selain persiapan AEoI, isi Perppu turut mengatur kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengakses data nasabah domestik, bukan hanya kepentingan perjanjian internasional di bidang perpajakan saja. Dalam Pasal 2 Perppu disebutkan bahwa akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Sebelum Perppu ini diterbitkan, DJP memang sudah meminta kepada DPR untuk diberikan akses terhadap data nasabah. Menurut DJP, akses data nasabah perlu dilakukan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan melalui profiling rekening nasabah. UU Perbankan yang memberikan batasan atas informasi nasabah terhadap pihak ketiga menjadi ganjalan utama atas masukan DJP. Hingga saat ini, revisi UU Perbankan yang dilakukan sejak 2010 lalu masih dibahas oleh DPR.

(Baca Juga: Aturan Turunan Perppu Akses Informasi Pajak Akan Atur Sanksi Penyalahgunaan Data Keuangan)

Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menilai bahwa keberadaan Perppu dinilai tepat dan sejalan dengan tujuan reformasi perpajakan di Indonesia. Selain karena pelaksanaan AEoI, Yustinus melihat kondisi domestik Indonesia pasca pelaksanaan amnesty pajak juga menjadi salah satu alasan pemerintah  turut mengatur keterbukaan data informasi perbankan domestik.

“Kondisi domestik amnesti pajak mengkonfirmasi tinggingnya angka penghindaran pajak dari sektor finansial, banyak aset keuangan yang tidak dilaporkan dalam SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) sebelumnya dan baru dilaporkan amnesty. Itu menjadi jawaban mengapa penerimaan pajak selama ini stagnan. Sehingga nasabah domestik ikut dalam skema ini terutama dalam penerbitan Perppu,” kata Yustinus kepada Hukumonline, Jumat (19/5).

Namun ia mengingatkan, pentingnya proteksi data atas keterbukaan informasi ini. Tujuannya agar tidak terjadi capital outflow dan distrust. Sejauh ini, lanjutnya, proteksi data belum diatur di dalam Perpu karena Perppu hanya merevisi pasal kerahasiaan yang ada di dalam UU Perbankan. Untuk ke depannya, skema proteksi data harus dimasukkan ke dalam revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan UU Perbankan yang mengatur kerahasiaan data nasabah.

(Baca Ulasan Menarik tentang Persiapan Indonesia Jelang AEoI: Regulasi yang Harus Dipersiapkan Jelang Implementasi Automatic Exchange of Information)

Beberapa hal yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah untuk menjaga kepercayaan nasabah atas kebijakan tersebut. Pertama, pemerintah harus membuat ketentuan perlindungan data nasabah secara normatif. Kedua, harus dibangun sistem IT yang menjamin pengawasan dan kontrol perlindungan misalnya SOP yang transparan. Ketiga adalah penunjukan pejabat yang berwenang dengan memberikan password secara berlapis. Keempat, memberikan sanksi yang berat bagi yang terbukti melakukan penyalahgunaan data dan memperkuat whistleblowing system.

“Memang ini saya kira salah satu cara efektif karena sebenarnya data keuangan ini menjadi data awal yang akan diolah oleh DJP, jadi nasabah tidak perlu khawatir sebenarnya karena ini sifatnya bukan DJP mengecek rekening tetapi DJP menerima laporan lalu akan diolah ke dalam suatu sistem dan nanti akan menghasilan klasifikasi WP resiko tinggi dan rendah dan risiko tinggi itu yang baru ditindaklanjuti dengan pembukaan rekening tapi yang dengan risiko rendah akan diperiksa. Jadi kepentingan data ini adalah untuk profiling apakah kekayaan mereka itu sama dengan yang dilaporkan SPT,” jelasnya.

Selain itu, beberapa catatan buruk dari DJP yakni korupsi sektor perpajakan menjadi tantangan tersendiri bagi DJP untuk menjawab keraguan masyarakat dengan adanya akses informasi perbankan ini. DJP harus memperkuat kontrol internal dan meningkatkan integritas dengan berbagai cara termasuk punishment, kerjasama dengan penegak hukum KPK, termasuk memperkuat whistleblowing system.

Di samping itu, jika dilihat dari sisi penerimaan pajak, keterbukaan informasi keuangan dinilai akan berdampak signifikan dan menjadi momentum transparansi dari sisi WP yang disertai dengan akuntabilitas DJP dan bertujuan mendorong kepatuhan sukarela. (Baca Juga: Pemerintah Terbitkan Perppu Akses Informasi untuk Perpajakan)

Ketua Umum Persatuan Bank Perkreditan Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan bahwa keterbukaan informasi keuangan yang diatur dalam Perppu merupakan bagian dari kesepakatan perjanjian internasional yang harus diikuti oleh Indonesia. Sepanjang penerapannya bertujuan untuk membangun ekonomi yang lebih baik, maka keberadaan Perppu tersebut tidak menjadi persoalan.

Tetapi, Joko mengingatkan bahwa keterbukaan informasi dalam Perppu menyangkut UU Perbankan yang mengatur kerahasiaan data nasabah. Ia meminta DJP dapat mengedepankan transparasi data nasabah, dan bagaimana cara pemerintah untuk mengatur persoalan di hilir hingga bermuara ke OJK dan pajak.

“Kemudian yang perlu dipikirkan bagaimana ada ketentuan atau peraturan agar informasi ini tidak disalahgunakan. Nah intinya disitu sehingga nasabah merasa aman,” katanya.

Pelaksanaan Perppu ini, lanjut Joko, juga harus diikuti dengan kesiapan yang baik, sosialisasi yang baik, dan harus dikuti dengan menerbitkan beberapa peraturan yang mendukung. Misalnya, adanya pengecualian sanksi pidana bagi perbankan yang memberikan informasi nasabah kepada DJP dan OJK agar pelaksanaannya tak menimbulkan kekhawatiran dari perbankan. Dan, Pemerintah juga perlu menyiapkan tahapan monitoring evaluasi untuk meminimalisir keraguan dari publik.

Bagaimana efek Perpu terhadap industri perbankan? Joko berpendapat, perlu adanya aturan pendukung atas Perpu ini agar tidak menimbulkan kekhawatiran bagi pihak yang bersangkutan. Misalnya, lanjutnya, adanya aturan nominal nasabah yang harus dilaporkan kepada DJP, apakah dalam jumlah tertentu atau keseluruhan data nasabah.

“Cluster layernya memang harus ada peraturan apakah seluruhnya, apakah dalam jumlah tertentu saja. Menurut saya begitu karena artinya ini menyangkut banyak pihak. Sebenarnya industri maupun pelaku usaha, yang terpenting kebijakan dilakukan secara baik dan rigit mengenai hak dan kewajiban dan semua stakeholder melakukan dengan baik dan selaras dengan program pemerintah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait