Akademisi dan Praktisi Kritik RUU Persaingan Usaha
Utama

Akademisi dan Praktisi Kritik RUU Persaingan Usaha

RUU belum memasukkan sejumlah evaluasi penting dalam 16 tahun UU Larangan Praktik Monopoli dijalankan.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Peran KPPU termasuk yang akan diperkuat dalam RUU Persaingan Usaha. Foto: RES
Peran KPPU termasuk yang akan diperkuat dalam RUU Persaingan Usaha. Foto: RES
Dalam konsep ilmu hukum dikenal tiga kesatuan konsep yang menjadi tugas dari hukum yaitu menjamin adanya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Tidak hanya menjamin kejelasan aturan main yang harus dipatuhi oleh subjek hukum, hukum haruslah berhasil mengatur bagian hak masing-masing pihak secara proporsional. Dalam praktik, penegakan hukum juga harus dapat mendatangkan kemanfaatan.   Perdebatan mengenai ketiga konsep hukum itu nampak mewarnai proses amandemen  tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha) yang telah memasuki tahap pembahasan tingkat pertama antara DPR dan  Pemerintah. Kalangan praktisi hukum yang tergabung dalam (ICLA), Guru Besar, dan mantan komisioner KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) memberikan sejumlah catatan penting untuk dipertimbangkan.   Ningrum Natasya Sirait, Guru Besar Ilmu Hukum USU, Medan berpendapat amandemen undang-undang harus diartikan mengubah undang-undang yang ada menjadi lebih baik dengan mengubah atau menambah pasal-pasal yang ada, atau menyempurnakan rumusan pasal yang sudah ada, baik dari segi maksud/tujuan maupun tata bahasa.  Menurut dia, RUU Persaingan Usaha belum memenuhi maksud amandemen tersebut.   “Saya cuma punya satu pertanyaan, apakah usulan itu sudah didasarkan kepada evaluasi selama 16 tahun undang-undang itu ditegakkan?” ujarnya pada usai diskusi terarah ICLA yang membahas RUU Persaingan Usaha. (Baca juga: ).   Menurut Prof. Ningrum, RUU Persaingan Usaha yang saat ini tengah dibahas DPR bersama Pemerintah terlihat belum menyempurnakan UU Persaingan Usaha dari segi implikasinya, konsekuensi eksekusinya, dan kesiapan KPPU sebagai lembaga yang diamanatkan khusus untuk menegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. (Baca juga: ).   UU Persaingan Usaha diundangkan pada 5 Maret 1999 dan baru efektif berlaku satu tahun sejak diundangkan pada 5 Maret 2000. Sebagaimana  ditelusuri oleh Pusat Studi Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) bahwa pada masa sebelumnya, aturan mengenai persaingan usaha terserak pada beberapa undang-undang yang menjadi rambu-rambu bagi pelaku usaha. Perangkat aturan itu antara lain pasal 382 KUHP, pasal 1365 KUHPerdata, UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, tentang Pasar Modal, UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek Dagang, UU No. 13 Tahun 1997 tentang Hak Paten, dan UU No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta. Lantaran belum ada aturan komprehensif, akhirnya  diterbitkan UU Persaingan Usaha.   Disahkan dalam euforia reformasi, UU Persaingan usaha adalah salah satu dari puluhan undang-undang yang dihasilkan pada periode singkat Presiden BJ.Habibie. Akibatnya, sejumlah kalangan praktisi berpendapat UU ini memang dipersiapkan dalam waktu singkat sehingga terasa mengandung banyak ketidaksempurnaan dalam prakteknya.   “Itu undang-undang dibuat tahun 1999, dibuat dalam suasana euforia, tidak hati-hati dalam waktu singkat dibuat puluhan undang-undang. Secara ide bagus, secara aplikatif banyak masalah,” kata advokat yang pernah menjabat Komisioner KPK, Chandra Hamzah, kepada .    Ketua KPPU periode pertama, Sutrisno Iwantono, menjelaskan masih banyak persoalan dalam rumusan UU Persaingan Usaha itu sendiri yang tidak diubah dalam RUU Persaingan Usaha. “Banyaknya ketentuan yang bersifat karet, nanti menimbulkan ketidakpastian hukum di sana, pengertian praktek monopoli, pengertian persaingan usaha tidak sehat, definisi soal itu tidak jelas,” katanya.   Dari segi substansi ekonomi, Guru Besar Ilmu Ekonomi UI Ine Minara S. Ruky, menilai RUU Persaingan Usaha belum memperbaiki hal mendasar dari kepentingan UU Persaingan Usaha. “Substansi ekonominya tidak diperbaiki, padahal di situ kelemahannya substantif,” ujarnya.   Penjelasan UU Persaingan Usaha menguraikan bahwa kebijakan hukum itu lahir dalam rangka memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Harapannya, dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tidak lagi terjadi pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat.   Ketua ICLA, Asep Ridwan, menilai alih-alih merevisi sejumlah kekurangan yang ditemukan dalam praktek penegakan hukum persaingan usaha selama 16 tahun belakangan itu, ini justru menambahkan hal-hal baru yang juga berpotensi menjadi masalah baru. Pertama, perluasan definisi pelaku usaha yang bersifat extra territorial (Pasal 1 angka 5 RUU). , perubahan pengaturan sanksi administrasi denda menjadi paling rendah 5 % dan paling tinggi 30% dari nilai penjualan atau transaksi dalam kurun waktu pelanggaran. , perubahan notifikasi merger dari menjadi (Pasal 31). , ketentuan mengenai kode etik, namun pengaturan lebih lanjut diserahkan ke KPPU (Pasal 56 RUU).   , tata cara penanganan perkara yang pada pokoknya mengadopsi sebagian Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 dan pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada KPPU (Pasal 87 RUU). , Program pengampunan dan pengurangan hukuman atau (Pasal 71 RUU). , perubahan perilaku (Pasal 78-79 RUU). , kewajiban pembayaran denda minimal 10 % dari nilai denda yang dijatuhkan apabila akan mengajukan upaya hukum terhadap putusan KPPU (Pasal 87). , pengenaan denda pidana bagi pihak yang mencegah, menghalangi, dan menggagalkan secara langsung atau tidak langsung KPPU dalam melaksanakan tugas dan wewenang (Pasal 90). , pasal-pasal pengecualian (Pasal 91 RUU).   Aturan mengkhawatirkan lainnya yang mengemuka dalam pandangan praktisi di ICLA adalah dalam RUU Persaingan Usaha ada terlalu banyak ketentuan yang memberikan kewenangan kepada KPPU untuk mengatur lebih lanjut. Setidaknya ada 17 pasal yang dicatat ICLA dalam RUU ini memberikan  delegasi pengaturan lanjutan pada KPPU.   Contohnya Pasal 70 ayat (2) RUU menyebutkan “. Lalu, Pasal 85 RUU menyebutkan “  
Evaluasi ICLA atas UU Persaingan Usaha
·        Peran KPPU yang masih bersifat multifungsi(memeriksa  dan sekaligus memutus perkara dengan peran pengadilan tingkat pertama)
·        Pengaturan Hukum Acara yang sangat minim dan tidak mencerminkan fair trial process, bahkan lebih banyak diserahkan kepada KPPU untuk mengatur sendiri.
·        Tidak adanya Dewan Pengawas yang bersifat permanen.
·        Upaya hukum terhadap putusan KPPU di Pengadilan sangat sempit
·        Hak-hak terlapor tidak diatur dalam UU.
·        Kewajiban pembayaran denda di awal yang dijatuhkan KPPU bisa sangat besar hingga mematikan usaha terlapor dan tidak sesuai asas praduga tidak bersalah.
  Ningrum berpendapat kedua pasal tadi dapat dimaknai bahwa telah terjadi perluasan kewenangan KPPU tanpa perbaikan hukum acara. Ia khawatir kedua pasal ini menimbulkan peluang ketidakpastian.   Demikian pula rancangan besaran denda administratif yang dapat dijatuhkan KPPU dimana sebelumnya pada pasal 47 ayat (2) huruf UU Persaingan Usaha ditetapkan bahwa akan diubah menjadi (Pasal 19, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 34 RUU). Belum lagi dengan kewajiban (Pasal 87 RUU).

Mengenai peran KPPU yang masih bersifat multifungsi dalam memeriksa  dan sekaligus memutus perkara dengan peran pengadilan tingkat pertama, Iwantono selaku mantan Pimpinan KPPU sendiri masih meresahkan mengenai status Kelembagaan KPPU, “Jenis kelamin dari KPPU, ini sebenarnya apa sih? Lembaga administratif atau bagian dari sistem peradilan.”

Dalam pandangan profesional Chandra Hamzah yang duduk dalam Dewan Pengawas ICLA, sebenarnya UU Persaingan Usaha telah membatasi peran KPPU sebagai lembaga administratif. Hal ini jelas dalam batasan kewenangan KPPU di pasal 47 (1): “Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini”.

Bahkan menurut Chandra telah terjadi kesalahan konsep ketika putusan KPPU diajukan upaya hukum ke Pangadilan Negeri. “Seharusnya (pengadilan) TUN (Tata Usaha Negara),” tegasnya.

Ia menilai bahwa ada salah kaprah dalam memahami kedudukan KPPU sebagai lembaga penegak hukum. Seharusnya KPPU tidak lebih semacam Kantor Pajak yang berwenang menjatuhkan sanksi administratif bagi pengemplang pajak. Putusannya pun bernilai sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi objek sengketa Pengadilan TUN. Namun dengan peraturan-peraturan KPPU yang dibuat dalam praktik 16 tahun belakangan telah membuat seolah KPPU berperan sebagai pengadilan tingkat pertama.

Dampaknya adalah pengaturan Hukum Acara yang lebih banyak diserahkan kepada KPPU untuk mengatur sendiri tidak mencerminkan fair trial process karena anggota KPPU yang menyusun peraturan KPPU tidak berpengalaman sebagai hakim yang memahami prinsip hukum acara.

Majelis KPPU yang memeriksa dan memutus perkara juga terlibat dalam menentukan masuknya perkara ke tingkat pemeriksaan. Bahkan para terlapor juga tidak berhak mendapatkan informasi saksi yang diajukan KPPU. Padahal terlapor juga berhak untuk melakukan upaya pembelaan diri dengan mengetahui siapa saksi yang menjadi dasar KPPU memeriksa perkaranya. Hak-hak telapor sama sekali belum disentuh dalam RUU Persaingan Usaha yang telah diajukan DPR saat ini.

Demikian pula upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU yang diatur dalam RUU Persaingan Usaha masih tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam UU Persaingan Usaha saat ini. Jangka waktu dalam RUU memang ditambahkan menjadi 45 hari kerja untuk Pengadilan Negeri memutus keberatan terlapor. Dalam UU Persaingan Usaha sebelumnya diberikan jangka waktu 30 hari kerja untuk memutus keberatan terlapor. Akan tetapi, penambahan waktu ini dinilai ICLA tidak akan cukup untuk membuktikan perkara persaingan usaha yang sifatnya kompleks dengan analisis hukum dan ekonomi secara lengkap.


UU No. 5 Tahun 1999Indonesian Competition Lawyers Association



hukumonlineSejumlah Evaluasi dan Masukan ICLA Terkait Revisi UU Persaingan Usaha

Begini Penguatan KPPU Versi Komisi VI DPR

UU No. 8 Tahun 1995



hukumonline







Evaluasi ICLA
RUU inisiatif DPRKeduaKetigapost-notificationpre-notificationKeempat

KelimaKeenamleniency programKetujuhKedelapanKesembilanKesepuluh



Ketentuan mengenai pengampunan dan/atau pengurangan hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan KPPU”Ketentuan mengenai tata cara penanganan perkara diatur dengan Peraturan KPUU”.



gpengenaan denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah)paling rendah 5% dan paling tinggi 30% dari nilai penjualan atau transaksi dalam kurun waktu pelanggaran pembayaran denda minimal 10% dari nilai denda yang dijatuhkan apabila akan mengajukan upaya hukum terhadap putusan KPPU
Tags:

Berita Terkait