POJK Sustainable Finance Hampir Rampung
Berita

POJK Sustainable Finance Hampir Rampung

OJK juga tengah mempersiapkan aturan yang lebih spesifik ke masing-masing sektor mulai dari perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan non Bank melalui Surat Edaran OJK (SEOJK).

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menerbitkan aturan tentang keuangan berkelanjutan atau yang lebih dikenal dengan Sustainable Finance. Aturan yang nantinya dituangkan melalui Peraturan OJK (POJK) ini pada intinya akan mengatur pembangunan ekonomi yang selaras antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, isu mengenai keuangan berkelanjutan sebetulnya telah diinisiasi semenjak kewenangan OJK sendiri belum terbentuk. Waktu itu, BI punya gagasan agar proses pengucuran pembiayaan oleh lembaga jasa keuangan memperhatikan aspek lingkungan hidup perusahaan yang mengajukan permohonan pembiayaan. Prinsipnya, bila aspek lingkungan dari suatu perusahaan menyalahi aturan, maka perbankan mesti menolak permohonan kreditnya.

“Itu sudah dimulai tetapi belum diartikulasikan dengan baik,” kata Muliaman saat menjadi pembicara kunci di “Forum Multi Pihak Kelapa Sawit Berkelanjutan” di Jakarta pada Selasa (23/5).

Muliaman melanjutkan, dorongan mengenai keuangan berkelanjutan pada saat itu memang tidak begitu berdampak, sampai akhirnya OJK berdiri. Selang setahun OJK terbentuk, tepatnya 14 Desember 2014, diluncurkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan. Penerbitan peta jalan itu dilatarbelakangi urgensi strategis dan sistematis dalam mengarahkan sektor jasa keuangan untuk berperan aktif dalam proses pembangunan berkelanjutan yang mana telah dimandatkan sebelumnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Tindak lanjutnya, kata Muliaman, OJK menggandeng 10 perbankan kemudian ditunjuk sebagai pioneer (first mover) dalam penerapan prinsip keuangan berkelanjutan. Mereka diminta untuk membuat produk serta paling tidak memberikan perspektif ke internal bank itu sendiri tentang pentingnya penerapan prinsip keuangan berkelanjutan. Prinsip-prinsip itu diantaranya, prinsip pengelolaan risiko, prinsip pengembangan sektor ekonomi prioritas berkelanjutan yang bersifat inklusif, prinsip tata kelola pada aspek lingkungan hidup dan tanggung jawab sosial, dan prinsip peningkatan kapasitas dan kemitraan kolaboratif.

“Tetapi belum ada hingga saat ini peraturan terkait sustainable finance ini. Tetapi OJK akan terbitkan POJK Sustainable Finance,” kata Muliaman. (Baca Juga: Sustainable Finance, Mengubah Paradigma Serakah Menjadi Hijau)

Dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan, peraturan merupakan salah satu target yang mesti diselesaikan OJK tahun ini. Kira-kira sejak dua tahun belakangan ini, OJK tengah intens menyusun aturan ini dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari pelaku industri jasa keuangan, kementerian atau lembaga pemerintah terkait, serta dengan beberapa Lemaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kata Muliaman, proses penyusunan aturan ini sudah masuk pada tataran penyusunan substansi ke dalam pasal-pasal (rule making rule).

“Tahun ini (2017), sebelum Juli,” kata Muliaman.

Muliaman menambahkan, POJK tentang Sustainable Finance ini masih mengatur sangat umum. Aturan ini nantinya berusaha menjabarkan delapan prinsip umum pembiayaan keuangan berkelanjutan, antara lain prinsip investasi bertanggungjawab; prinsip strategi dan praktek bisnis berkelanjutan; prinsip pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup; prinsip tata kelola yang baik; prinsip komunikasi yang informatif; prinsip inklusif; prinsip pengembangan sektor ekonomi prioritas berkelanjutan; dan prinsip koordinasi dan kolaborasi.

Ditekankan Muliaman, penerapan prinsip tersebut tak terbatas pada sektor perbankan, tetapi juga didorong ke sektor lainnya seperti pasar modal, asuransi, dana pensiun, serta industri keuangan non bank lainnya. Oleh karena masing-masing industri itu punya karakterisitik yang sangat berbeda, rencananya juga akan diterbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) ke masing-masing sektor sebagai aturan yang lebih teknis. Diharapkan dengan adanya aturan itu, nantinya pelaku di sektor jasa keuangan dapat mempersiapan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk menilai suatu perusahaan apakah layak mendapatkan dana pinjaman dari sektor jasa keuangan.

“Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) harus siapkan teknologi dan SDM. Kalau SDM tidak ada yang paham, industri akan menghindar nanti. Kalau knowledge terbatas, nanti sedikit yang terapkan (konsep Sustainable Finance),” kata Muliaman. (Baca Juga: OJK dan KLHK Luncurkan Roadmap Sustainable Finance)

Setahun belakangan, masih kata Muliaman, OJK juga telah menggelar capacity building yang melibatkan para bankir untuk memberikan pemahaman tentang konsep keuangan berkelanjutan. Paling tidak telah digelar sebanyak 20 angkatan (batch) atau kira-kira telah diikuti kira-kira hampir 1.000 bankir. Pemberian peningkatan pemahaman itu sangat penting dan mendorong industri atau pelaku jasa keuangan untuk terus melakukan inovasi dalam membuat produk-produk dan penerapan prinsip yang sesuai dengan keuangan berkelanjutan.

Lending model ini harus disiapkan baik individual atau untuk kelompok. Ini supaya bisa kelola risiko,” kata Muliaman.

Pilot Project
Satu daerah dicoba untuk menerapkan prinsip sustainbale finance. Provinsi Sumatera Selatan, khususnya Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Kecamatan Lalan berkomitmen menjalankan inisiatif pertumbuhan hijau (Green Growth Initiative) dengan berfokus ke strategi pembangunan rendah emisi. Muba merupakan kabupaten penghasil kelapa sawit terbesar dengan lebih dari 17 pabrik penggiling sawit dan 442,000 Ha lahan perkebunan yang berpotensi menghasilkan 1,8 juta ton Crude Palm Oil (CPO) dan 20,000 ton PKO (Palm Kernel Oil/Minyak Inti Kelapa Sawit) per tahun. Tahun 2013, Muba menghasilkan 67,000 ton minyak kepala sawit. 

Sementara itu, Kecamatan Lalan yang merupakan satu dari 14 kecamatan di Kabupaten Muba juga punya produksi kelapa sawit yang besar. Di desa ini punya dua pabrik penggiling sawit dan potensi produksi tahunan sebesar 133,000 ton CPO dan 33,000 PKO. Kedua wilayah itu punya kendala yang sama, yakni akses keuangan yang terbatas terutama di Kecamatan Lalan di mana baru dalam enam bulan terakhir sebuah bank lokal membuka cabang di kecamatan Lalan. (Baca Juga: Penerapan Konsep Green Banking Diperluas)

“Saya kira quick wins ya dari pertemuan ini. bank tinggal action saja,” kata Muliaman.

Muliaman menambahkan, total luas kebun kelapa sawit terus mengalami peningkatan. Total pengelolaan kebun kelapa sawit yang dikelola petani kecil mempunyai luas sekitar 3,125 Ha pada tahun 1979 menjadi 4,166,778 Ha pada tahun 2014. Dengan demikian diperlukan pembiayaan yang menyasar pada petani kelapa sawit yang menerapkan konsep keberlanjutan. Saat ini terdapat beberapa inisiatif pendanaan dan proyek percontohan yang bernilai tinggi untuk mendukung petani kecil, yaitu dengan memberikan akses terhadap modal bagi yang membutuhkan.

Skema-skema tersebut, lanjut Muliaman, termasuk dalam tanggung jawab sosial perusahaan swasta (Corporate Social Responsibility/CSR) secara individu, serta merupakan perbaikan regulasi pemerintah dalam pengembangan program petani plasma. Di samping itu, bank-bank nasional dan lembaga penyedia pinjaman swasta memainkan peranan penting dalam keuangan kelapa sawit. Sekitar 20 manager investasi mengendalikan 80% pendanaan ekuitas yang diinvestasikan ke dalam sektor kelapa sawit .

Di samping pendanaan swasta, dukungan pendanaan juga diperlukan bagi pengembangan pembiayaan yang inovatif dengan disesuaikan dengan kebutuhan agrobisnis kecil yang rentan. Selain itu, petani kelapa sawit bersifat padat karya, perkebunan merupakan pemberi kerja utama yang dapat membantu mendorong stabilitas sosial. Petani kecil juga merupakan pendorong keberlanjutan lingkungan hidup.

Uji Tuntas Tambahan
Direktur Bidang Sustainable Finance pada Grup Dukungan Strategis Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Edi Setijawan, dalam kesempatan sebelumnya, mengatakan regulator terus mendorong lembaga jasa keuangan untuk melalukan uji tuntas (due diligence) tambahan sebelum mengucurkan kreditnya terhadap perusahaan yang bergerak di sektor non-green project. Kata Edi, dua tahun pertama yakni 2015 hingga 2016, OJK fokus melakukan capacity building terhadap berbagai pihak terkait agar pemahaman soal keuangan berkelanjutan ini lebih mendalam.

“Kalau mereka (perusahaan) dapat proper yang dikeluarkan KLHK merah, itu bank ngga akan ambil. Bank-bank sudah mulai peduli sejak kita meng-announce kebijakan sustainable finance mereka sudah (berdasarkan pemantauan OJK) memperhatikan banget. Kalau proper merah mereka ngga akan kasih, apalagi hitam,” kata Edi awal Maret lalu kepada Hukumonline.

Kriteria proper  yang dinilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdiri dari dua kategori, yaitu kriteria penilaian ketaatan dan kriteria penilaian lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance). Kriteria penilaian ketaatan menjawab pertanyaan sederhana apakah perusahaan sudah taat terhadap peraturan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan yang digunakan sebagai dasar penilaian saat ini adalah peraturan yang berkaitan dengan persyaratan dokumen lingkungan dan pelaporannya berupa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dokumen pengelolaan dan pemantauan kualitas lingkungan ((UKL/UPL).

Lalu, peraturan mengenai pengendalian mengenai pencemaran air, di mana air limbah yang dibuang ke lingkungan harus melalui titik penaatan yang telah ditetapkan. Pada titik penaatan tersebut berlaku baku mutu kualitas air limbah yang diizinkan untuk dibuang ke lingkungan. Selanjutnya, mengenai pencemaran udara, pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan aspek regulasi lainnya. Teknisnya, proper diawali dengan pemilihan perusahaan peserta, di mana perusahaan yangmenjadi target peserta PROPER adalah perusahaan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, tercatat di pasar bursa, mempunyai produk yang beorientasi ekspor atau digunakan oleh masyarakat luas.

“AMDAL sendiri dipikir orang sebagai KTP. Kalau sudah dikasih AMDAL berarti ramah lingkungan. Padahal tidak, AMDAL itu janji bahwa kalau perusahaan dikasih proyek itu akan lakukan A,B,C,D,F dan lapor ke LHK. Ini juga kita dorong ke lembaga jasa keuangan, agar saat lihat AMDAL tidak hanya ada AMDAL nya valid tidak, itu up to date atau tidak,” kata Edi.

Tags:

Berita Terkait