Advokat Usulkan Perubahan Irah-Irah Putusan Pengadilan
Utama

Advokat Usulkan Perubahan Irah-Irah Putusan Pengadilan

Penyimpangan dan penyalahgunaan dalam praktek bukan karena kesalahan irah-irah, melainkan karena moralitas aparat penegak hukum.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi yang digelar PERADI Luhut MP Pangaribuan. Foto: NEE
Suasana diskusi yang digelar PERADI Luhut MP Pangaribuan. Foto: NEE
Puluhan tahun kalimat ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ terpampang di setiap kepala putusan pengadilan. Kalimat itulah yang disebut dengan irah-irah. Tanpa irah-irah itu, suatu putusan tidak sah menurut hukum.

Kini, ada gagasan agar kalimat dalam irah-irah putusan diganti. Usul mengganti irah-irah itu muncul dalam diskusi kelompok terarah yang digelar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pimpinan Luhut MP Pangaribuan di Jakarta, Jum;at (19/5). Kalimat irah-irah putusan, sesuai usulan itu, menjadi Demi Keadilan Berdasarkan Pancasila. “Kelihatannya barangkali kecil, tapi menurut saya ini mendasar dan juga serius di tengah-tengah situasi politik yang sekarang ini mulai tersegmentasi dengan kelompok-kelompok tertentu,” kata Luhut.

Menurut advokat senior itu, para advokat memiliki tanggung jawab moral dan formal sebagai penegak hukum untuk ikut membangun peradilan yang lebih baik.

Gagasan perubahan irah-irah dilatarbelakangi oleh apa yang dirasakan  sebagian praktisi hukum bahwa irah-irah dalam kepala putusan turut mempengaruhi jati diri bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara. “Negara ini adalah negara hukum. Kita ini bukan negara sekuler, bukan negara ketuhanan. Konstitusinya jelas, Pasal 1 ayat (3),” ujar Saor Siagian, advokat yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi terarah.

Maksud Saor adalah Pasal 1 yat (3) UUD 1945 yang menyebutkan Indonesia adalah negara hukum. Saor merasa bahwa menyandarkan putusan pada kalimat ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ tanpa disadari menjadikan Pancasila yang secara utuh terdiri dari lima sila tereduksi menjadi satu, yaitu nilai Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Ia juga menilai putusan pengadilan yang tidak berkualitas seolah bisa berlindung atas nama Tuhan Yang Maha Esa dalam legalitasnya. Padahal, kata dia, grundnorm dari hirarki hukum nasional adalah Pancasila secara utuh, bukan hanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Gagasan tentang perubahan rumusan irah-irah mendapat tanggapan beragam dari peserta diskusi terarah. Ada yang menganggap penghayatan orang yang berkaitan dengan pengadilan terhadap Pancasila makin berkurang karena selama ini hanya bersandar pada Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum bernegara. Dalam skala terbatas, hakim seharusnya mendasarkan putusannya pada nilai-nilai Pancasila secara utuh.

Namun, advokat sekaligus pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fikar Hadjar, tak setuju gagasan perubahan irah-irah itu. Ia menganggap rumusan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ pada dasarnya sudah memuat substansi nilai-nilai Pancasila. Menurut Fikar, perlu dilihat kembali bahwa Pancasila adalah nilai-nilai abstrak yang telah dielaborasi menjadi konstitusi (UUD 1945). Oleh karenanya, selama tidak bertentangan dengan konstitusi, putusan pengadilan sudah mencerminkan dimensi Pancasila.

Fikar menambahkan irah-irah yang selama ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa sudah mencakup kesepakatan ideologi negara yang berdasarkan lima prinsip luhur dalam sila-sila Pancasila. Yang menjadi persoalan dalam praktek bukanlah kesalahan rumusan kalimat irah-irah putusan, melainkan lebih pada moralitas hakim dalam menghayati Pancasila. Penghayatan hakim terhadap Pancasila tercermin dalam isi putusannya.

Karena itu, menurut Fikar, ketimbang  mempermasalahkan irah-irah putusan, lebih baik para advokat mendorong penggunaan parameter untuk menilai apakah suatu putusan mencerminkan nilai-nilai Pancasila atau tidak. Pertama, apakah suatu hakim dalam putusannya telah mengikuti prosedur hukum acara dengan benar. Kedua, apakah putusan hakim telah menjelaskan dengan benar bahwa setiap unsur dalam pasal yang didakwakan sungguh terbukti. Ketiga, apakah penalaran hukum yang logis telah digunakan dalam pertimbangan-pertimbangan dalam putusan hakim. Keempat, apakah hakim telah menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (mempertimbangkan aspek non yuridis) untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Saya nggak setuju, karena Ketuhanan itu sendiri adalah substansi Pancasila,” tegasnya.

Sejarah irah-irah
Hukumonlinepernah melakukan penelusuran terhadap sejarah orah-irah putusan pengadilan. Terungkap bahwa di Indonesia, kalimat irah-irah digunakan pada kepala putusan sejak lama dengan beberapa kali perubahan. Hakim Bismar Siregar dalam buku karyanya Hukum Acara Pidana, yang diterbitkan Binacipta Bandung (1983), mencatat bahwa kepala putusan di pengadilan Indonesia sejak masa pra-kemerdekaan hingga kemerdekaan pernah menggunakan ‘Atas Nama Ratu/Raja’, lalu ‘Atas Nama Negara’, kemudian ‘Atas Nama Keadilan’, dan berubah menjadi  ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seperti yang berlaku sekarang.

Bismar Siregar berpendapat kalimat yang dipakai dalam irah-irah menunjukkan kepada siapa putusan pengadilan dipertanggungjawabkan. Jika ‘Atas Nama Keadilan’ maka kepada keadilanlah putusan dipertanggungjawabkan. Jika ‘Atas Nama Tuhan’, maka kepada Tuhan-lah pertanggungjawaban hakim ditujukan. ‘Atas nama’, kata Bismar, membawa kewajiban dan tanggung jawab moral yang sangat besar. Dengan menyandarkan putusan kepada Tuhan maka seorang hakim telah mengupayakan kebijaksanaan terbaiknya atas nama Tuhan dalam mengadili dan memutus perkara.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Sudikno Mertokusumo dalam disertasinya berjudul Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak 1942 juga menyinggung irah-irah tersebut. Kata ‘demi’ dalam irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, dimaknai sebagai ‘untuk kepentingan’. Bagi Sudikno, tujuan peradilan adalah untuk mencapai keadilan. Sehingga bukanlah “keadilan” itu yang mewakilkan pada salah satu badan untuk melaksanakan peradilan, namun “keadilan” itu sendiri yang menjadi kepentingan dalam suatu proses hukum di peradilan.
Tags:

Berita Terkait