Pro Kontra Kewenangan TNI di RUU Anti Terorisme
Berita

Pro Kontra Kewenangan TNI di RUU Anti Terorisme

Penanganan terorisme harus dalam koridor criminal justice system.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan jajarannya terkait rasa aman masyarakat harus ada pada saat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Atas dasar itu, Jokowi mengingatkan pentingnya berhati-hati terhadap ancaman terutama terorisme.

Terkait ancaman-ancaman itu, Jokowi meminta agar penyelesaian RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Anti Terorisme) segera dikejar ke DPR. “Ini pak Menko Polhukam agar bisa segera diselesaikan secepat-cepatnya, karena ini sangat-sangat kita perlukan dalam rangka payung hukum untuk memudahkan, untuk memperkuat aparat-aparat kita bertindak di lapangan,” ujar Jokowi sebagaimana dikutip dari laman resmi Setkab.

Atas dasar itu, ia menekankan, perlunya memberikan kewenangan TNI untuk masuk di dalam RUU Anti Terorisme. Jokowi meyakini, Menko Polhukam sudah mempersiapkan alasan-alasan mengenai perlunya TNI masuk dalam RUU Anti Terorisme. Selain itu, ia juga meminta agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus melaksanakan program pencegahan penyebaran paham-paham terorisme melalui sekolah-sekolah, tempat-tempat ibadah dan juga di dalam penjara.

“Kemudian juga di media sosial, karena ini juga akan sangat mengurangi aksi-aksi terorisme yang hampir semua negara sekarang ini mengalami,” tutur Jokowi. (Baca: Cegah Aksi Teror, Presiden Minta Revisi UU Terorisme Segera Rampung)

Terpisah, Anggota Panitia Khusus RUU Anti Terorisme, Muhammad Nasir Djamil, menilai keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme patut dipertimbangkan. Apalagi, sejak awal pemerintah telah memberikan perhatian khusus dengan melibatkan TNI dalam penanganan aksi terorisme seperti terlihat dalam Pasal43B RUUAnti Terorisme. 

“Namun persoalan ini masih debatable karena peran TNI dikhawatirkan justru menegasikan sistem peradilan pidana yang berjalan selama ini," ungkap Nasir dalam siaran persnya yang diterima Hukumonline

Lebih dari itu, Nasir melihat sekian rangkaian kejadian ledakan bom dan aksi teroris yang tak pernah tuntas diberantas selama ini menunjukan adanya kelemahan Polri dalam hal ini Densus 88 dalam menangani aksi teror di Indonesia. "Publik mulai jenuh melihat aksi teror yang terus muncul dan tidak terselesaikan, ditambah lagi dengan drama salah tangkap yang kerap dilakukan Densus 88 bahkan kejadian extra judicial killing yang tak pernah bisa dipertanggungjawabkan," ungkapnya. 

Meski begitu,Nasir melihat, peran penanganan terorisme tentu sudah tidak bisa lagi jika hanya dilakukan oleh Polri saja. Menurutnya, modus kejahatan dan jaringan yang berkembang sampai di level keamananan nasional mutlak akan berimbas pada pertahanan negara ke depan.

(Baca Juga: Pelibatan TNI Tangani Teroris Tak Perlu Diatur dalam Revisi UU Anti Teroris)

"Teror yang dihadapi saat ini bukan tidak mungkin akan berimbas pada pertahanan nasional, apalagi untuk mengungkap sel-sel tidur yang dikhawatirkan Indonesia akan mengalami kejadian seperti yang terjadi di kota Marawi Filipina, sehingga peran intelejen dan TNI perlu dilibatkan," ungkap Nasir. 

Ia menuturkan, salah satu pola penanganan terorisme yang dipelajari Pansus adalah Inggris. "Saat tim Pansus melakukan kunjungan kerja ke Inggris, kami melihat keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme itu sudah lazim dilakukan oleh negara berkembang, namun hal ini tergantung dengan peningkatan eskalasi ancaman di negara tersebut," ujar Nasir. 

Untuk itu, Nasir berpendapat, selama ini Indonesia belum mempunyai penilaian terhadap tingkatan eskalasi tersebut. Misalnya, seperti suatu situasi tanggap bencana, ada tingkat merah, kuning, hijau dan biru. Pelibatan TNI bisa saja dilakukan pada tingkat eskalasi merah atau kuning, yang berpotensi teroris dapat mengancam pertahanan negara.

Kedepan, Nasir berharap, garis komando keterlibatan TNI dalam penangananterorisme bisa dilakukan melalu Menkopolhukam atau dengan memperkuat BNPT. "Koordinasi BNPT masih lemah,  penentuan eskalasi dan keterlibatan TNI bisa ditarik keatas yakni Menkopolhukam," pungkasnya.

Criminal Justice System
Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf menegaskan, RUU Anti Terorisme harus dalam koridor criminal justice system, sesuai sistem negara demokrasi serta penghormatan pada negara hukum dan HAM. “Karena itu, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik negara dengan mempertimbangkan eskalasi ancaman yang berkembang dan merupakan pilihan yang terkahir,” katanya, Selasa (30/5).

Selama ini, model pendekatan criminal justice system yang digunakan dalam penanganan terorisme di Indonesia sudah tepat. Meski begitu, masih terdapat catatan khususnya berkaitan dengan hak asasi manusia. Atas dasar itu, ia berharap, RUU Anti Terorisme yang tengah dibahas DPR dan pemerintah perlu memastikanagar prinsip-prinsip HAM dijamin dan diperkuat dalam penegakan hukum mengatasi terorisme.

(Baca: Koalisi LSM Warning RUU Anti Teoris Mesti dalam Koridor Criminal Justice System)

Al Araf mengatakan, pelibatan militer dalam menangani teroris sudah disebutkan pada Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Atas dasar itu, Presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara.

“Dalam praktiknya selama inipun, militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana terjadi dalam operasi perbantuan di Poso,” katanya.

Menurutnya, jika pelibatan militer dalam RUU Anti Terorisme tanpa melalui keputusan politik negara akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara aktor pertahanan dan keamanan, mengancam kehidupan demokrasi dan HAM, melanggar prinsip supremasi sipil dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum. Sehingga, dapat merusak mekanisme criminal justice system dan akan berlawanan dengan arus reformasi yang sudah menghasilkan capaian positif meletakkan militer sebagai alat pertahanan negara demi terciptanya tentara yang profesional.

Permasalahan lain terkait pengaturan keterlibatan TNI dalam UUAnti Terorisme adalah minimnya mekanisme hukum yang akuntabel untuk menguji (hebeas corpus) terhadap setiap upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dll) yang dilakukan oleh aparat TNI untuk menjamin terpenuhinya HAM para tersangka. Terlebih, anggota TNI juga belum tunduk pada peradilan umum bila terjadi kesalahan dalam penanganan teroris dan hanya diadili melalui peradilan militer yang diragukan independensinya untuk menyelenggarakan peradilan yang adil.

Al Araf menegaskan, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tersebut merupakan bentuk tugas perbantuan untuk menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Atas dasar itu, pelibatan militer seharusnya menjadi pilihan terakhir (last resort) yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme.

Sehingga, lanjut Al Araf, lebih tepat jika pelibatan militer itu cukup mengacu pada UU TNI. “Seharusnya lebih tepat jika pemerintah dan DPR segera membentuk UU perbantuan sebagai aturan main lebih lanjut untuk menjabarkan seberapa jauh dan dalam situasi apa militer dapat terlibat dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme.”
Tags:

Berita Terkait