Kewenangan Geledah dan Sita Tak Masuk Revisi UU Persaingan Usaha
Berita

Kewenangan Geledah dan Sita Tak Masuk Revisi UU Persaingan Usaha

KPPU akan segera melakukan kerjasama dengan Kepolisian terkait penggeledahan dan penyitaan setelah Revisi UU Persaingan Usaha disahkan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: SGP
Gedung KPPU. Foto: SGP
Pada April lalu, dalam rapat paripurna DPR menyepakati Revisi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat masuk ke dalam prolegnas 2017. Revisi UU ini merupakan inisiatif dari DPR. Jauh sebelum Revisi UU Persaingan Usaha ini disepakati DPR, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf sudah menjelaskan poin-poin krusial yang akan dibahas dalam revisi.

Saat itu, Syarkawi menyebutkan lima poin krusial yang menjadi fokus dari KPPU yakni penguatan kelembagaan, menyoal denda, merubah rezim merger, liniensi program, dan perluasan defenisi pelaku usaha.

Namun belakangan, isu yang mendapatkan sorotan dari pelaku usaha adalah menyoal kewenangan KPPU untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terkait data dan barang bukti, yang akan diakomodasi di dalam Revisi UU Persaingan Usaha.

Syarkawi mengakui bahwa klausul penyitaan dan penggeledahan yang dimasukkan kedalam Revisi UU Persaingan Usaha tersebut memang mengundang kontroversi dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang menolak klausul tersebut menilai kewenangan tersebut justru menjadikan KPPU sebagai lembaga super power. Apalagi selama ini, KPPU memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan memberikan putusan terhadap perkara yang ada di KPPU.

Menyikapi hal tersebut, Syarkawi menegaskan bahwa klausul tersebut tidak disepakati dalam Revisi UU Persaingan Usaha. Artinya, KPPU tidak diberikan kewenangan untuk menyita, menggeledah, dan menyadap. (Baca Juga: Akademisi dan Praktisi Kritik RUU Persaingan Usaha)

“Kalau kewenangan sudah selesai, jadi KPPU tidak diberikan kewenangan untuk menyita, menggeledah, apalagi menyadap, sehingga seharusnya tidak ada lagi kontroversi karena yang paling banyak dipersoalkan di poin itu. Ya tidak relevan lagi dengan kewenangan yang begitu lemah, tidak ada kewenangan menyita, menggeledah, bagaimana caranya mau memperoleh alat bukti. Nah makanya ini yang akan kita diskusikan dengan pemerintah ke depan. Apakah nanti pemerintah akan mencoba memasukkan kalusul itu kembali, tergantung pemerintah sebagai pihak yang membahas revisi (UU Persaingan Usaha),” kata Syarkawi dalam konferensi pers di Kantor KPPU, Jakarta, Selasa (30/5).

Mengingat kewenangan penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan ada di tangan pihak Kepolisian, maka Syarkawi mengatakan bukan tak mungkin KPPU akan menjalin kerjasama dengan Kepolisian terkait tiga hal tersebut. KPPU, lanjutnya, bisa berkoordinasi dan meminta kepolisian untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan jika ada dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat. Jika UU ini nantinya disetujui, maka membuat kerjasama dengan kepolisian adalah langkah awal yang akan dilakukan KPPU.

Sejauh ini, KPPU memang sudah melakukan kerjasama dengan KPK, Kejaksaan, termasuk kepolisian. Tetapi kerjasama dengan kepolisian ini belumlah mencakup tentang penggeledahan dan penyitaan. Beberapa waktu lalu, ungkap Syarkawi, bentuk kerjasama yang dijalin antara KPPU-Kepolisian adalah menyoal satgas pangan. Dan bentuk kerjasama yang dilakukan pun adalah saling bertukar informasi.(Baca juga: Sejumlah Evaluasi dan Masukan ICLA Terkait Revisi UU Persaingan Usaha)

“Sudah kerjasama dengan kepolisian, MoU dengan kepolisian, KPK, dan kejaksaan, kejaksaan kita akan segera perpanjang. Dengan Kepolisian, sejauh ini yang kami lakukan sharing data belum ada tindakan yang untuk menggeledah bersama dan menyita bersama-sama. Mudah-mudahan ke depan UU baru ini disahkan dan payung hukum sudah ada, kami akan bersama-sama dengan Polri,” tambahnya.

Terlepas dari klausul kewenangan penggeledahan dan penyitaan yang tidak masuk ke dalam Revisi UU Persaingan Usaha, Syarkawi menegaskan bahwa lima fokus revisi UU Antimonopoli sudah disepakati masuk ke dalam revisi. Dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) ditunjuk sebagai leading sector yang akan membahas RUU Antimonopoli bersama DPR.

Sebelumnya, Ketua Panja RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Azam Azman Natawijana menilai setidaknya terdapat tujuh substansi baru dalam RUU tersebut sebagai perubahan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Baca juga: Begini Penguatan KPPU Versi Komisi VI DPR)

Pertama, memperluas cakupan definisi pelaku usaha. Artinya, perluasan tersebut dapat menjangkau pelaku usaha yang berdomisili di luar wilayah Indonesia. Kedua, mengubah notifikasi merger dari kewajiban untuk memberitahukan setelah merger menjadi kewajiban pemberitahuan sebelum merger alias pre merger notification.

Ketiga, mengubah besaran sanksi. Menurutnya, selama ini sanksi yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1999 hanya menggunakan nilai nominal besaran tertinggi dalam rupiah. Tetapi RUU ini sanksinya sekurang-kurangnya hanya 5 persen, sedangkan setinggi-tingginya 30 persen dari nilai penjualan dalam kurun waktu pelanggaran terjadi.

Keempat, terkait dengan mekanisme pengaturan pengampunan dan/atau pengurangan hukuman atau lazim disebut leniency program. Menurutnya aturan tersebut sebagai strategi efektif dalam membongkar kartel dan persaingan usaha yang tidak sehat dalam kurun waktu jangka panjang.

Kelima, membuat aturan pasal yang mengatur penyalahgunaan posisi tawar yang dominan terhadap penjanjian kemitraan. Menurutnya, pengaturan itu sebagai instrumen hukum terhadap perlindungan pelaksanaan kemitraan yang melibatkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah(UMKM).

Keenam, peningkatan pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Menurutnya, dalam RUU tersebut mengatur ketentuan yang memungkinkan KPPU meminta bantuan pihak kepolisian. Tujuannya, dalam rangka menghadirkan pelaku usaha yang dinilai tidak kooperatif dalam persidangan di KPPU.

Sedangkan terhadap putusan KPPU berupa denda yang telah berkekuatan hukum tetap, namun tak diindahkan para pihak menjadi piutang negara. Dalam RUU tersebut mengatur pula ketentuan lembaga piutang negara berkewajiban menyelesaikan pelaksanaan putusan KPPU tersebut.

Ketujuh, dalam rangka berbagai tugas dan kewenangan KPPU ke depannya, maka diperlukan penguatan terhadap lembaga KPPU. Selain itu, mesti menempatkan KPPU dalam sistem ketatanegaraan yang sejajar dengan lembaga negara lain. Menurutnya, penguatan KPPU mesti didukung pula dengan kesekretariatan jenderal (Kesekjenan) yang terintegrasi dengan tata kelola pemerintahan. 

Tags:

Berita Terkait